Dokpri Sowan ke dalem Prof. Ngainun Naim
Tulisan ini adalah lanjutan dari postingan sebelumnya: Motivasi Komunal, The Secret of Creation, Komunitas sebagai Support System dan Pendamping Kelompok sebagai Poros Tengah. Saran saya, untuk mendapatkan alur pembahasan yang genap, silakan baca terlebih dahulu posting sebelumnya.
***
Dari pemaparan tugas dan peran kakak pendamping (PJ) di kelompok menulis online tersebut kita bisa menuai hikmah tentang pentingnya manajemen waktu. Utamanya bagi seseorang yang mendapuk peran sebagai penulis. Pengarusutamaan pradigma yang hendak ditampilkan ke muka--terlebih dalam konteks produktivitas menulis--bukan tentang menunggu waktu luang atau pun menunggu mood yang terkondisikan, melainkan meluangkan waktu di tengah kesibukan.
Ya, meluangkan waktu di tengah kesibukan. Meluangkan waktu di tengah kesibukan sendiri secara ontologis bukan hadir dalam dunia imajinasi. Hidup berkeliaran dalam pikiran seseorang yang idealis. Bebas membayangkan konsepsi, citra dan gagasan yang diasumsikan mendekati sempurna namun nihil akan aksi nyata. Bukan, bukan seperti itu yang dimaksud. Dalam konteks ini, meluangkan waktu di tengah kesibukan itu dimulai dengan mempersepsikan diri dan mengontrol pikiran kita untuk terbiasa dalam aktsi nyata. Aksi nyata yang konsistensi.
Dalam prakteknya, meluangkan waktu secara konsisten itu tidaklah mudah. Ada distraksi antara keinginan dan apa yang harus dilakukan; antara dasein dan das solen. Ada ruang lingkup tantangan yang harus ditaklukkan. Entah itu tantangan internal maupun eksternal. Tantangan internal murni muncul dari dalam diri. Misalnya terbelenggu rasa malas, telanjur tersugesti bahwa menulis adalah aktivitas yang sulit, kegiatan menulis adalah hal yang sia-sia dan lain sebagainya. Jika diamati lebih jauh, memang tantangan internal ini lebih banyak berpusat pada pijakan paradigma dan keyakinan diri.
Maka tak heran jika kemudian master Emcho dalam Writing Is Selling (2018) menyebutkan upaya membangkitkan gairah (motivasi) menulis di dalam diri dimulai dengan menata mindset. Hanya mindset yang sudah terkondisikan dengan baik yang mampu menuntun semua indera untuk mewujudkan aksi nyata. Tanpa mindset yang sudah tertata dan terkondisikan sedemikian rupa, seberapa banyak waktu luang yang tersedia hanya berujung sia-sia. Tak sedikit, niat bertindak mulia gugur karena pikiran tidak tertata dengan baik. Pikiran tidak mau menerka konsekuensi logis yang akan diterima.
Sedangkan tantangan eksternal dapat dipahami sebagai pengaruh atau dorongan yang berasal dari luar diri yang bersangkutan. Modus operandi yang berlaku dalam tantangan eksternal umumnya seseorang terjebak dalam keadaan yang tak mampu dikendalikan. Sebagai contoh kongkret, tatkala ada ajakan dari teman untuk melakukan hal yang sebenarnya tidak penting dan genting sama sekali: Ngopi plus ghibah di salah satu warung kopi misalnya. Dalam hal ini terkadang kita seakan susah menolak mentah-mentah karena meninjau keharmonisan relasi pertemanan yang telah lama terbangun.
Selain itu tentu masih banyak kasus lain yang hadir dengan tiba-tiba dan memaksa kita untuk tunduk atas keadaan tersebut. Memang tantangan eksternal ini memiliki karakter kuat untuk mengendalikan subjek yang terlilit. Bahkan di satu waktu yang mendesak bisa saja tantangan eksternal menjadikan sang subjek sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menggunakan akal sehatnya. Tatkala sakit menyerang, tertimpa musibah dan pemenuhan kebutuhan yang sangat genting adalah contoh yang relevansi dalam konteks ini.
Master Emcho dalam SOS Sapa Ora Sibuk (2020) menegaskan bahwa, seorang penulis selaiknya menyikapi kesibukan dengan bijak. Cerdas mengelola kesempatan di celah-celah kesibukan yang mendera. Penulis produktif, profesional dan kreatif selalu berusaha adaptatif dalam keadaan apa pun. Bukan terlena dalam buaian kilah atas nama kesibukan. Tak sedikit orang--utamanya yang bertitel penulis pemula--yang lambat laun tenggelam dalam zona nyaman kesibukan, (hal. 1-6). Mulanya coba-coba; menunda untuk menulis hanya sekali namun lama-kelamaan menjadi candu. Terbiasa melupakan, menganggap remeh temeh dan berakhir menghindari budaya menulis.
Poin penting yang harus digarisbawahi adalah tingkat kecerdasan seseorang dalam memanfaatkan kesempatan itu berbeda-beda. Di tangan orang yang cerdas memanfaatkan waktu, kesempatan sekecil apa pun adalah peluang. Peluang berharga untuk meng-upgrade diri. Baik itu dalam hal yang berhubungan dengan kognitif atau pun soft skill. Maka, khusus bagi orang yang cerdas memanfaatkan waktu dosa (sangat merugi) hukumnya menyia-nyiakan kesempatan. Sebaliknya, bagi orang yang bebal dihadapan keadaan, menjadikan kesibukan sebagai kambing hitam adalah pilihan.
Pilihannya sekarang ada dua: tenggelam di zona nyaman yang dikonstruksi kesibukan atau terus berjuang meningkatkan kualitas kemampuan di tengah himpitan berbagai keadaan. Tentu, diri Anda sendiri lebih mafhum tentang opsi mana yang lebih baik. Lagian, bukankah kesibukan itu kita ciptakan sendiri? Bahkan setiap saat kita senantiasa mencari kesibukan apa pun yang kita inginkan. Akan tetapi setelah mendapatkan dan menjalankan kesibukan yang diidam-idamkan itu mengapa kita malah terlena? Latah membudakkan diri pada berhala yang kita sebut kesibukan.
Memang aneh subjek yang disebut manusia. Mencari, menginginkan dan menjalankan segala bentuk kegiatan yang dapat menyibukkan diri. Akan tetapi dampaknya setelah itu, pelan-pelan tapi pasti menghilangkan kesempatan mengasah potensi dan meredupkan hakikat diri sebagai manusia. Ia lebih memilih diobjektifikasikan oleh sistem yang bernama kesibukan.
Tulungagung, 7 Oktober 2023
Komentar
Posting Komentar