Langsung ke konten utama

Berkomunitas sebagai Jalan Transformasi Karya

Dokpri Ilustrasi Pembuatan Kata Pengantar 

Saya menyambut baik permintaan kata pengantar untuk buku solo perdana yang disampaikan oleh Mbak Rodiah (sapaan akrab Siti Rodiah; penulis). Permintaan itu ia sampaikan via chat WhatsApp. Mbak Rodiah merupakan salah seorang anggota Sahabat Pena Kita  (SPK) Tulungagung. Belakangan, tepatnya di pertengahan Oktober 2023, ia dipercaya sebagai wakil bendahara di SPK Tulungagung.

Senang rasanya saya menyaksikan--menjadi saksi hidup-- perkembangan geliat literasi para anggota SPK Tulungagung. Termasuk di dalamnya perkembangan berkarya yang tumbuh dalam diri Mbak Rodiah. Sejauh pengamatan saya, intensitas menulis yang dilakoni Mbak Rodiah di tahun-tahun sebelumnya tampak fluktuatif. Meski demikian di lain sisi harus diakui pula ia begitu bersemangat untuk mengikuti acara-acara besar yang dihelat oleh SPK. 

Berkat keaktifannya dalam mengikuti berbagai acara besar SPK itu pula saya mulai mengenal baik Mbak Rodiah. Padahal sebelumnya saya hanya sekadar tahu melalui postingan tulisan yang diunggah di  blog pribadinya. Tidak serta-merta tahu seperti apa wujud asli orangnya. Namun teka-teki itu pecah tatkala kami terlibat sebagai partisipan dalam menyemarakkan kopdar SPK pusat ke-9 yang dihelat di Pondok Pesantren Al-Islah Bondowoso. 

Selanjutnya, jejaring pertemanan itu terbangun melalui saling komentar di postingan blog. Terakhir, relasi itu terkondisikan dengan baik manakala saya mengemban tugas sebagai panitia--mewakili pengurus SPK Tulungagung--mengondisikan partisipan penyemarak kopdar SPK pusat ke-10 yang diselenggarakan di universitas negeri Sunan Ampel Surabaya. 

Selepas mengikuti kopdar SPK di Surabaya itu pula saya mendapat sinyalemen bahwa intensitas menulis Mbak Rodiah mendadak meroket. Ia dengan cermat dan penuh semangat mulai mendokumentasikan setiap  jengkal perhelatan kopdar melalui tulisan. Mulai dari persiapan keberangkatan, cerita selama dalam perjalanan, khidmat menengguk ilmu dari narasumber kawakan: Ning Khilma Anis dan master Emcho sampai dengan perjalanan pulang. Berbagai hikmah yang terdulang melalui pengalaman ia abadikan dalam tulisan. 

Tulisan demi tulisan itu mulanya diposting di blog pribadi. Dengan telaten, Mbak Rodiah setiap hari mengunggah di blog. Persis seperti halnya apa yang dianjurkan Omjay (sapaan akrab Wijaya Kusumah, M.Pd.; guru blogger Indonesia) dalam buku Menulislah Setiap Hari dan Buktikan Apa yang Terjadi (2012). Setelah dirasa cukup, lantas kompilasi catatan perjalan itu dihimpun dalam satu naskah. Naskah itulah yang kemudian dinisiasi menjadi buku solo perdana dengan judul Jejak Perjalanan Kopdar SPK ke-10. 

Setelah saya membaca dan mencermati tulisan demi tulisan yang tertuang di dalam duku ini, setidaknya terdapat beberapa poin penting yang dapat kita petik bersama dari proses kreatif menulis mbak Rodiah. Utamanya tentang ketekunan, manajemen waktu, support system dan keberanian mewujudkan mimpi. 

Pertama, ketekunan. 17 tulisan yang terhimpun di dalam buku ini tampaknya tidak akan pernah tuntas didedahkan manakala tidak berlambar pada kesungguhan hati. Kesungguhan hati adalah kunci penting yang menggerakkan penulis untuk terus berproses. Tanpa adanya kesungguhan hati saya kira penulis akan tetap berada dalam zona nyaman sebagai penikmat karya orang lain saja. 

Kesungguhan hati tersebut penulis tampilkan dalam aktivitas menulis setiap hari. Sudah menjadi rahasia umum, jika belakangan tajuk tulisan yang disuguhkan mbak Rodiah ke grup SPK Tulungagung adalah tentang seputar kopdar SPK. Pengalaman mengikuti kopdar itu berusaha penulis benturkan dan padu padankan dengan ragam cerita yang telah dilaluinya selama ini. 

Kedua, manajemen waktu. Sebagai istri sekaligus ibu rumah tangga saya kira mbak Rodiah tampil luar biasa dalam hal mengatur waktu untuk menulis. Segenap kesibukan yang dijalani lantas tidak dijadikan sebagai kambing hitam untuk tidak menulis. Penghayatan atas peran domestik tidak menjadikannya lupa akan pentingnya mengembangkan potensi dan kapasitas diri. Dalam hal ini melalui jalur kesuyian seorang penulis. 

Padahal sudah menjadi rahasia umum, jikalau mayoritas manusia--utamanya yang sudah terjerat beban ganda kehidupan--lebih menyukai menggenggam erat-erat berbagai macam alasan untuk tidak menulis. Bahkan jikalau kita meminjam istilah master Emcho dalam buku SOS (Sopo Ora Sibuk) Menulis dalam Kesibukan (2020: 3-5), terlalu banyak manusia yang telanjur menuhankan diri pada kesibukan. Saking sibuknya tidak ada (tidak mampu meluangkan) waktu untuk menulis. Meski itu 5 paragraf setiap hari. 

Ketiga, support system. Terlahirnya buku ini tidak terlepas dari di mana mbak Rodiah tumbuh. Latar belakang organisasi atau komunitas literasi--dalam konteks ini SPK Tulungagung--yang diikuti sekaligus tempat bernaung mbak Rodiah saya kira berpengaruh dan berperan penting sebagai jembatan penghubung antara idealitas dengan aksiologis. Energi positif yang dibangun dan diberdayakan oleh setiap anggota di dalam grup memotivasi mbak Rodiah untuk banyak menyeimbangkan antara teori dan praktek secara kontinuitas.

Saya sepakat dengan pendapat Prof. Ngainun Naim (2023: 77-78) yang menandaskan, bahwa dunia menulis itu bersifat dinamis. Harus ada keseimbangan antara teori dan praktek. Sebab keduanya merupakan satu kesatuan (integral) atau dua sisi mata koin yang beririsan di antara satu sama lain. Dialektika di antara keduanya sangat penting dalam membumikan menulis sebagai habituasi. Tanpa teori tulisan akan kering akan makna dan susah dimengerti. Tanpa praktek, menulis tak akan pernah terealisasi. Sehingga yang menjadi sentralistik dari keduanya adalah produktivitas dan proses kreatif pelakunya sendiri, penulis.

Pendek kata, produktivitas dalam berkarya anggota lain turut memantik antusiasme dan kedisiplinan diri mbak Rodiah. Sehingga sangat dimungkinkan tercipta sinergitas di antara sesama anggota komunitas. Proses saling bertukar pikiran, amati tiru modifikasi (ATM) dan memposisikan diri sebagai pembelajar sepanjang hidup menjadikan masing-masing mau saling berpacu dalam berkarya. Tampaknya bukan sesuatu hal yang tabu, sinisme dan fatalistik jika kita iri dalam bentuk kebaikan. Termasuk di dalamnya kita merasa terpancing untuk melahirkan karya demi karya karena melihat kolega sibuk berkarya.

Baik itu melahirkan karya demi karya dalam bentuk jurnal, buku atau pun artikel; karya dengan genre fiksi atau pun non fiksi; buku solo atau pun antologi; karya yang fokus menggaungkan gagasan corak pemikiran atau malah dalam kepentingan menggugat karya yang telah ada sebelumnya. Semuanya hadir karena konstruksi lingkungan di mana ia tumbuh dan berkembang. Support system yang positif inilah yang seharusnya kita lestarikan secara saksama. 

Sedangkan yang terakhir, keberanian mewujudkan mimpi. Memiliki buku solo adalah salah satu mimpi yang diidamkan seseorang yang belajar menulis. Hal yang sama saya kira juga berlaku bagi semua orang yang mendapuk titel sebagai penulis pemula. Utamanya mereka yang tergabung dalam suatu komunitas menulis. Sebagai latihan, membuat buku antologi adalah salah satu anak tangga untuk mewujudkan mimpi itu.

Keberanian untuk mewujudkan mimpi sebenarnya kultuminasi dari tiga proses sebelumnya. Utamanya berkolerasi banyak dengan status mbak Rodiah sebagai bagian dari komunitas SPK Tulungagung. Alhasil, adalah fakta jika kemudian selepas mengikuti kopdar SPK pusat spirit literasi di dalam diri mbak Rodiah kian membuncah; menggebu-gebu. Energi yang membuncah di ubun itu akan tersalurkan dengan baik manakala dikelola dengan baik. 

Dengan sikap yang kebelet akhirnya mbak Rodiah menumpahkan energi itu melalui buku ini. Fakta ini menunjukkan bahwa energi kopdar SPK pada kenyataannya mampu menjadi pendorong transformasi karya. Spirit literasi yang menggebu-gebu itu ia kelola menjadi energi positif untuk menulis. Mengabadikan pengalaman yang dirasakan dan dilalui dengan melahirkan buku solo. 

Mungkin akan berbeda-beda cerita dan muara nasibnya jika pengalaman itu dibiarkan usang begitu saja. Berbeda takdir pula jika pengalaman itu determinasi ditulis dalam rangka kepentingan karya bersama dalam bentuk antologi. Tentu kenikmatan dan kepuasan atas penyelesaian naskah itu akan terasa berbeda levelnya. 

Terakhir, besar harapan saya, dengan terbitnya buku solo perdana ini semoga mampu memantik lahirnya buku solo berikutnya. Selamat atas terbitnya buku Catatan Perjalanan Kopdar SPK ke-10. Jenengan sudah naik level. Semoga berkah dan menjadi jalan untuk meningkatkan produktivitas dalam berkarya.

Tulungagung, 31 Oktober 2023




Komentar

  1. Terimakasih banyak Mas Roni atas support dan keluangan waktu untuk memberikan kata pengantar pada buku solo saya yang pertama😊

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal