Langsung ke konten utama

Dinner di Tempat Langganan Biasa


Ketika malam telah menggati siang, kegelapan pun menjadi kawan yang real menghiasi keadaan. Dalam keheningan malam (yang mendeskripsikan keadaan ke-natural-an) secara tiba-tiba terdengar suara nada dering. Entah dari mana sumber suara nada dering tersebut, akhirnya dengan serentak saya pun mencari sumber yang bersangkutan. Eh... ternyata yang berdering tersebut berasal dari perut yang menandakan, mengisyaratkan bahwa rasa lapar telah menghampiri diri saya. Hehe.. Tatkala itu rasa lapar telah merenggut, mengacaukan dan membuyarkan segala aktivitas saya. Tatkala itu rasa lapar telah mengalihkan fokus perhatian saya. Dan tatkala itu rasa lapar telah menuntun kedua langkah kaki saya menuju tempat pemuas hasrat kebutuhan primer sebagaimana mestinya.
Tempat yang menjadi tujuan saya pun bukan restoran megah ternama, bukan restoran berbintang lima, bukan warteg yang terkenal karena menu andalan termahalnya, dan bukan pula rumah makan favorit yang terkenal karena kelezatan dan kenikmatannya. Melainkan warung nasi malam sederhana yang terkenal karena harga murah yang ditawarkannya dan sikap ramah tamah yang dimiliki penjualnya. Keadaan warung nasi malam tersebut pun tidak semewah, semegah dan sebagus fasilitas yang ditawarkan restoran, warteg atau pun rumah makan pada umumnya. Melainkan hanya terdekor oleh fasilitas yang sederhana, yang diantaranya beralaskan tikar seadanya, beratapkan tenda biru, meja makan sederhana dan sebuah roda sebagai tempat menyimpan menu andalan yang disediakannya.
Tapi meskipun demikian, rasa nyaman dan kepuasan pelanggan pun tentu masih menjadi hal yang diperhatikan, didahulukan dan dinomor satukan. Selain itu, disatu sisi warung nasi malam sederhana tersebut pun memiliki satu keunikan dan keistimewaan yang ditawarkan. Suatu hal yang tidak akan pernah ditemukan ditempat makan yang lainnya. Di mana tatkala kita menyantap, menikmati hidangan yang disuguhkan, lalu lalang kendaraan di jalan raya (baik mobil atau pun motor) menjadi pemandangan natural  yang dapat kita saksikan.
Seingat saya malam itu adalah malam juma’at. Setelah beberapa menit mengatur langkah dengan mengarah, akhirnya saya pun sampai di tempat tersebut. Memang harus diakui bahwa warung nasi malam tersebut tidaklah memiliki jarak yang jauh. Sehingga dengan jalan kaki pun tidak akan menghabiskan waktu berpuluh-puluh menit apalagi berjam-jam. Sesampainya di sana, ternyata telah ada dua pelanggan pria yang sedang asyik menikmati hidangan sambil diselai dengan obrolan. Dari arah belakang saya pun melirik, memfokuskan pandangan kepada kedua pelanggan tersebut. Dalam diri saya pun terbesit keingintahuan tentang siapa mereka itu. Melihat style-nya saya berprasangka mereka adalah Maba (mahasiswa basi) kampus tercinta. Mendengar suara salah seorang pelanggan pria tersebut, seakan-akan ketidak asingan pun menghampiri diri, mengakar kuat yang menimbulkan prasangka keyakinan diri saya, bahwa saya mengenal salah seorang pelanggan tersebut. Style rambutnya yang nyentrik pun menjadi penguat dari prasangka saya. Tapi tidak lama kemudian semua prasangka saya pun terjawab puas tatkala orang yang duduk disebelah timur tersebut menengok kearah saya. Dengan serentak ia pun menyodorkan tangan kanannya (sembari berkata “hei”), saya pun dengan reflek membalasnya. Ketidak sungkanan salah seorang teman ospek saya pun tergambar jelas dari mimik yang terdeskripsikan dari wajahnya. Namun sayang, keadaan yang demikian tidaklah menjadi penghalang untuk melanjutkan pembicaraan dengan seorang temannya (mungkin sahabatnya) yang sedang saling berhadapan. Tatkala melihat keadaan yang demikian saya pun menjadi agak sungkan untuk menyodorkan beberapa pertanyaan. Padahal dalam benak saya ada beberapa pertanyaan yang ingin saya utarakan.
Secara jelas dan tegas ia pun mengemukakan kepada temannya bahwa saya adalah teman pada saat ospeknya, (saya yang berada tepat disamping paling kanannya mendengar langsung). Beberapa saat kemudian, makanan yang saya pesan pun telah terhidang dan siap untuk dinikmati. Dengan teratur dan lahap, saya pun mulai mengisi perut yang keroncongan. Dengan tidak ada maksud untuk menguping ataupun tajassus sedikit pun, saya mendengar apa yang sedang diperbincangkan oleh pelanggan pria tadi (salah seorang teman saya dan kawannya). Mereka sedang membicarakan tentang bagaimana pengalamannya ketika mengikuti jalannya kegiatan “OPAK” di tahun ini. Tapi tatkala ditengah pembicaraan mereka, ada dua nama orang teman saya (sefakultas) yang disebut-sebut dan ikut sertakan. Di mana salah seorang dari mereka berusaha menilai dua teman saya (sefakultas) tersebut ketika mengikuti kegiatan “OPAK” kemarin, berusaha menilai kearah negatif.
Entah sengaja atau tidak, padahal saya sendiri selaku temannya berada tepat disampingnya. Dalam akal pikiran pun saya berusaha memahami, menghayati dan merenungi apa yang mereka lakukan. Dengan jelas ketara, bahwa mereka sedikit pun tidak mengenali siapa saya, walau itu sekadar nama. Padahal saya kenal betul siapa salah seorang teman ospek saya, saya tahu betul apa jurusannya, dan bahkan saya sering berkomunikasi lewat medsos (media sosial). Tapi biarlah (gimam saya dalam hati). Saya pun bungkam seribu kata hingga keduanya pulang, dan salah seorang teman ospek saya pun berpamitan (kembali menyodorkan tangan sebagai tanda perpisahan).  

Dengan penuh kehati-hatian, kesadaran dan kepedulian tidak ada maksud untuk namimah, menyebarkan duri atau pun memancing api bagi mereka yang bersangkutan. Dengan perantara tulisan ini saya hanya bermaksud untuk menceritakan bagaimana berlangsungnya aktivitas realita kehidupan keseharian saya.     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal