Ketika rencana yang telah ditentukan
datang menghampiri diri, perputaran waktu pun seakan-akan terhenti. Suasana
natural yang tercipta menghiasi keadan diri, kini telah berubah menjadi
perasaan yang kontradiksi dan abstraksi. Pancaran dan raut muka (mimik) yang
mengekspresikan kebahagian, kecerian dan tawa pun kini berganti menjadi haru,
pilu, dan hening. Entah apa yang terjadi, kesadaran diri pun seakan-akan larut,
campur marut dengan keadaan rasa yang tak menentu. Tatkala itu yang saya lihat
hanya rasa sayang yang terdeskripsikan dari pancaran muka yang diselimuti mimik
haru dan pilu. Tatkala itu yang saya dengar hanya getaran hati yang mengejawantah
dalam bisikan, tercover dalam suatu ikatan kekeluargaan yang sangat kuat
mengikat.
Namun dengan segera kesadaran saya
pun kembali normal. Saya pun mulai menarik nafas dengan perlahan (suatu upaya
untuk menenangkan diri, siap untuk menerima keadaan yang sedang dihadapi). Akal
pikiran saya pun berusaha menghibur diri dengan mengingat rencana atas tujuan
yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Lantas usaha yang saya lakukan pun
tidak membawa hasil maksimal. Sebab beberapa saat kemudian saya masih merasa
larut, carut marut dalam keadaan rasa yang tak menentu.
Saya pun berusaha memposisikan diri
dalam keadaan kokoh, teguh, tenang dan tegar dalam menghadapi realitas
kehidupan yang demikian. Disatu sisi diri pribadi saya seakan-akan sudah tidak
asing lagi dengan perasaan dan keadaan yang demikian. Sehingga saya pun
berusaha membentuk dan menyelimuti diri dalam sikap dan rasa keegoisan (acuh-tak
acuh terhadap keadaan). Begitu pula dengan akal pikiran saya, yang rasa-rasanya
tidak perlu mencuatkan banyak pertanyaan. Tapi disatu sisi yang lain tidaklah
demikian, melainkan diri saya diselimuti rasa kegelisahan, sehingga
merekontruksi banyak pertanyaan yang mengarah pada sikap kekritisan terhadap
realita kehidupan. Banyak rasa yang perlu saya pertimbangkan untuk pantas
ditanamkan dalam hati seiring dengan keadaan yang demikian. Banyak kesempatan
yang seyogyanya saya manfaatkan secara maksimal. Banyak momen kebahagian,
keceriaan dan tawa yang tersia-siakan yang selayaknya saya berikan. Banyak
momen kebersamaan yang belum sempat saya abadikan.
Tapi meskipun demikian, semua
keabstraksian sirna, lenyap dalam sekejap tatkala kedua tangan ini bersalaman,
saling bersentuhan, tatkala bibir ini mengecup tangan yang penuh dengan
kemuliaan sebagai tanda salam perpisahan.
Bunyi kelakson yang bersumber dari
kendaraan dengan roda besi tanpa kulit pun kian memperjelas akan adanya perjalan
panjang yang harus ditempuh. Tatkala itu perasaan yang bergejolak dalam diri
saya pun terrenggut oleh bisingnya gesekan yang timbul karena adanya pergerakan
linier di atas rel. Dengan penuh kesadaran, kesabaran dan kejenuhan akan nyatanya
keadaan, saya pun berusaha untuk memposisikan diri duduk manis, tenang dan
menikmati perjalanan. Meskipun pada realitanya ketika itu keadaan diri terselimuti
oleh kegaduhan dan kebisingan.
Rasa dingin yang berasal dari AC mulai
menjalar kesemua bagian tubuh, mengingatkan saya pada nikmatnya, nyamannya dan
hangatnya tempat tidur yang terpampang dikamar rumah kampung halaman yang telah
ditinggalkan. Tapi sayang dikereta tatkala itu tidak ada selimut ataupun selembar kain sedikitpun yang
mampu menutupi sekujur tubuh yang sedang merasakan kedinginan.
Akhirnya rasa bosan, jenuh dan sabar
pun sedikit terobati tatkala perjalan panjang telah sampai distasiun Kediri.
Kedua langkah kaki pun berusaha saya fokuskan mengarah pada ruang tunggu yang
terletak distasiun. Tapi sayang untuk benar-benar sampai ditempat tujuan, saya
harus berjalan menuju loket tempat pembelian tiket untuk tujuan pemberhentian distasiun sumber gempol. Tatkala
itu kesabaran saya pun kembali diuji, ketika diri harus sedia menunggu beberapa
jam demi pemberangkatan menuju tempat tujuan.
Tapi semua rasa yang telah
menghamiri diri pun dengan seketika sirna, tatkala hidung menghirup udara yang
berada ditempat tujuan pengembaraan, tatkala mata melihat keadaan tempat tujuan
pengembaraan dan tatkala telinga kembali mendengar hiruk-pikuk suasana yang ada
ditempat tujuan pengembaraan. Seakan-akan sampainya diri ditempat tujuan pengembaraan
menjadi obat yang ampuh untuk semua kejenuhan, kebosanan, kesabaran dan semua
kegelisahan.
Kini dalam setiap gerak-gerik, langkah dan
ayunan kaki pun saya merasakan do’a yang engkau panjatkan. Dalam sanubari yang
terdalam, kini saya hanya mampu mengucapkan banyak terima kasih (bu, pak...
tidak ada balasan kebahagiaan yang setimpal atas semua kebaikan, kasih sayang
dan cinta yang telah engkau berikan. Dengan penuh kesadaran, ketawadhuan,
kesabaran dan ketawakalan saya pun kini mengakui bahwa yang sekarang bisa saya
lakukan hanya mampu mendo’akan dan menjanjikan sedikit kebahagiaan yang sedang diusahakan
untuk di masa depan).
Komentar
Posting Komentar