Langsung ke konten utama

Abstraksi Diri Tatkala Kembali Menuju Pengembaraan


Ketika rencana yang telah ditentukan datang menghampiri diri, perputaran waktu pun seakan-akan terhenti. Suasana natural yang tercipta menghiasi keadan diri, kini telah berubah menjadi perasaan yang kontradiksi dan abstraksi. Pancaran dan raut muka (mimik) yang mengekspresikan kebahagian, kecerian dan tawa pun kini berganti menjadi haru, pilu, dan hening. Entah apa yang terjadi, kesadaran diri pun seakan-akan larut, campur marut dengan keadaan rasa yang tak menentu. Tatkala itu yang saya lihat hanya rasa sayang yang terdeskripsikan dari pancaran muka yang diselimuti mimik haru dan pilu. Tatkala itu yang saya dengar hanya getaran hati yang mengejawantah dalam bisikan, tercover dalam suatu ikatan kekeluargaan yang sangat kuat mengikat.  
Namun dengan segera kesadaran saya pun kembali normal. Saya pun mulai menarik nafas dengan perlahan (suatu upaya untuk menenangkan diri, siap untuk menerima keadaan yang sedang dihadapi). Akal pikiran saya pun berusaha menghibur diri dengan mengingat rencana atas tujuan yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Lantas usaha yang saya lakukan pun tidak membawa hasil maksimal. Sebab beberapa saat kemudian saya masih merasa larut, carut marut dalam keadaan rasa yang tak menentu.
Saya pun berusaha memposisikan diri dalam keadaan kokoh, teguh, tenang dan tegar dalam menghadapi realitas kehidupan yang demikian. Disatu sisi diri pribadi saya seakan-akan sudah tidak asing lagi dengan perasaan dan keadaan yang demikian. Sehingga saya pun berusaha membentuk dan menyelimuti diri dalam sikap dan rasa keegoisan (acuh-tak acuh terhadap keadaan). Begitu pula dengan akal pikiran saya, yang rasa-rasanya tidak perlu mencuatkan banyak pertanyaan. Tapi disatu sisi yang lain tidaklah demikian, melainkan diri saya diselimuti rasa kegelisahan, sehingga merekontruksi banyak pertanyaan yang mengarah pada sikap kekritisan terhadap realita kehidupan. Banyak rasa yang perlu saya pertimbangkan untuk pantas ditanamkan dalam hati seiring dengan keadaan yang demikian. Banyak kesempatan yang seyogyanya saya manfaatkan secara maksimal. Banyak momen kebahagian, keceriaan dan tawa yang tersia-siakan yang selayaknya saya berikan. Banyak momen kebersamaan yang belum sempat saya abadikan.
Tapi meskipun demikian, semua keabstraksian sirna, lenyap dalam sekejap tatkala kedua tangan ini bersalaman, saling bersentuhan, tatkala bibir ini mengecup tangan yang penuh dengan kemuliaan sebagai tanda salam perpisahan.
Bunyi kelakson yang bersumber dari kendaraan dengan roda besi tanpa kulit  pun kian memperjelas akan adanya perjalan panjang yang harus ditempuh. Tatkala itu perasaan yang bergejolak dalam diri saya pun terrenggut oleh bisingnya gesekan yang timbul karena adanya pergerakan linier di atas rel. Dengan penuh kesadaran, kesabaran dan kejenuhan akan nyatanya keadaan, saya pun berusaha untuk memposisikan diri duduk manis, tenang dan menikmati perjalanan. Meskipun pada realitanya ketika itu keadaan diri terselimuti oleh kegaduhan dan kebisingan.
Rasa dingin yang berasal dari AC mulai menjalar kesemua bagian tubuh, mengingatkan saya pada nikmatnya, nyamannya dan hangatnya tempat tidur yang terpampang dikamar rumah kampung halaman yang telah ditinggalkan. Tapi sayang dikereta tatkala itu tidak ada  selimut ataupun selembar kain sedikitpun yang mampu menutupi sekujur tubuh yang sedang merasakan kedinginan.
Akhirnya rasa bosan, jenuh dan sabar pun sedikit terobati tatkala perjalan panjang telah sampai distasiun Kediri. Kedua langkah kaki pun berusaha saya fokuskan mengarah pada ruang tunggu yang terletak distasiun. Tapi sayang untuk benar-benar sampai ditempat tujuan, saya harus berjalan menuju loket tempat pembelian tiket untuk  tujuan pemberhentian distasiun sumber gempol. Tatkala itu kesabaran saya pun kembali diuji, ketika diri harus sedia menunggu beberapa jam demi pemberangkatan menuju tempat tujuan.         
Tapi semua rasa yang telah menghamiri diri pun dengan seketika sirna, tatkala hidung menghirup udara yang berada ditempat tujuan pengembaraan, tatkala mata melihat keadaan tempat tujuan pengembaraan dan tatkala telinga kembali mendengar hiruk-pikuk suasana yang ada ditempat tujuan pengembaraan. Seakan-akan sampainya diri ditempat tujuan pengembaraan menjadi obat yang ampuh untuk semua kejenuhan, kebosanan, kesabaran dan semua kegelisahan.
 Kini dalam setiap gerak-gerik, langkah dan ayunan kaki pun saya merasakan do’a yang engkau panjatkan. Dalam sanubari yang terdalam, kini saya hanya mampu mengucapkan banyak terima kasih (bu, pak... tidak ada balasan kebahagiaan yang setimpal atas semua kebaikan, kasih sayang dan cinta yang telah engkau berikan. Dengan penuh kesadaran, ketawadhuan, kesabaran dan ketawakalan saya pun kini mengakui bahwa yang sekarang bisa saya lakukan hanya mampu mendo’akan dan menjanjikan sedikit kebahagiaan yang sedang diusahakan untuk di masa depan).      


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal