Langsung ke konten utama

Novel Sebagai Media Penyalur Kritik

 

(Dokpri Flyer Ngaji Literasi Edisi 8)

Adalah novel Anak Angkot yang didedah pada perhelatan ngaji literasi edisi 8. Novel karya habib Ludfi (sapaan akrab Muhammad Mustofa Ludfi yang merupakan dosen UIN SATU Tulungagung dan direktur Klinik Abjad) terlahir tidak jauh dari kelahiran novel Siluet.

Disebutkan oleh penulis, penyusunan naskah novel itu masih dalam nuansa gejolak ide yang bersanad dengan karya sebelumnya. Statemen yang mengamini bahwa ari-ari yang mengiringi kelahiran sang bayi tidak pernah terpisahkan satu sama lain. Keduanya saling terikat dan ketergantungan.

Novel ini mengambil setting tempat cerita di Malang. Di mana ketimpangan sosial dan budaya masyarakat sekitar menjadi bahan bakar gagasan alur cerita itu untuk dituangkan. Tidak cukup sampai di sana, penulis juga berusaha mendokumentasikan potret kejahatan seksual, ingar-bingar dunia perpolitikan dan wacana mafia migas yang sempat booming pada masanya menjadi amunisi utama dalam menentukan karakter dan watak tokoh. 

Agaknya tidak salah jika saya menyebutkan bahwa penulisan buku dengan genre fiksi ini sebagai media penyaluran berahi kritik penulis yang terpendam sangat lama. Tidak hanya menggambarkan namun juga menjentrekan cara kerjanya seperti apa. Semacam pelampiasan dari ketakutan atas akibat yang akan dituai jika menuangkan kritik secara frontal. 

Latar belakang penulis yang merupakan keturunan Jawa tulen secara eksplisit juga tampak tatkala menyinggung kearifan lokal--jawa sentris--melalui nama-nama tokoh yang terlibat di dalamnya. Seperti Mukhtar, Cokro, Dawan, Klompen, Sobreng, dan lain sebagainya. Sedangkan citra negatif dilekatkan kuat-kuat terhadap nama-nama yang identik western. Seperti Jhon dan Alex. Ada kemungkinan nama Jhon Key sempat menjadi ilham tatkala penulis menggarap alur cerita. Atau memang terinspirasi dari aktor-aktor pemeran antagonis film barat.

Yang demikian menegaskan bahwa penamaan tokoh memiliki filosofi mendalam. Bahkan perubahan nama tokoh utama: Mukhtar menjadi Rampal bermuara pada filosofi hidup kaum proletar yang mengalami penderitaan secara berlapis. Baik secara biologis atau pun psikis. 

Sosok Rampal yang terdeskripsikan seakan-akan sedang mendekonstruksi tatanan objektivitas sistemik yang digadang-gadang Herbert Mind dalam memandang kemapanan polarisasi masyarakat. Sistem yang dibuat oleh  penguasa tidak lain sebagai lingkaran setan yang menjelma harapan palsu. Tak terkecuali dengan menyematkan istilah-istilah baru bagi kalangan marjinal. Seperti keluarga harapan, masyarakat pra sejahtera dan lain sebagainya. 

Satu istilah yang tampak berorientasi membawa angin segar: Harapan baru dan transformasi parsial yang mengakar rumput padahal tidak. Sebab program tersebut pada kenyataannya hanya menjadi ajang lobi proyek dan monopoli persunatan aliran dana di berbagai jenjang birokrasi. Sementara yang disalurkan hanya seujung kuku saja. Para mafia sibuk membuncitkan rekening-rekening bank mereka sedang rakyat jelata sibuk mengganjal perut yang setiap hari diisi ribuan cacing yang huru-hara. 

Objektivitas sistemik itulah yang dipahami Rampal sebagai kejahatan yang benar-benar gila. Kegilaan yang harus dijeda dan dibumihanguskan di atas Mayapada. Kenyataan itu pula yang menjadikan Rampal kerasukan peran Robin Hood. Sosok yang kemudian diagungkan para preman krucu dan membentuk dinasti bernama zirah. Nama yang dielu-elukan akan memberi kekuatan kepada seluruh anggotanya sekaligus memberi kesejahteraan khalayak mustadafin. 

Kisah heroik yang termuat dalam novel tersebut setidaknya kita bisa mendapatkan  pesan moral dan sosial untuk menjadi pribadi yang menjunjung tinggi dan menginternalisasikan nilai-nilai profetis: Siddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah. Kiranya Rampal dan kawan-kawan zirah tidak akan membuat kegaduhan dan menjarah harta Borjuis manakala keadilan sosial bagi seluruh rakyat ditegakkan. Kiranya Rampal yang malang tidak akan dirundung gelisah yang tak berkesudahan manakala harapan-harapan perubahan atas dirinya dan khalayak tidak dikebiri dan dibungkam nafas-nafas kerakusan penguasa. 

Tulungagung, 7 Juni 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Koleksi Buku sebagai Pemantik

Dokpri buku solo ke-10 Saya kira transaksi literasi saya dengan Qadira akan usai seiring tuntasnya koleksi komik yang dibaca namun ternyata tidak. Di luar prediksi, transaksi literasi itu terus berlangsung hingga kini. Kini dalam konteks ini berarti berlangsung hingga detik-detik akhir pelaksanaan Sumatif Akhir Semester genap.  Keberlangsungan ini, jika boleh menerka, hemat saya tak lain karena provokasi dan motivasi yang saya berikan. Tepatnya saat mengembalikan buku terakhir yang saya pinjam. "Besok, koleksi komiknya ditambah ya. Nanti ustadz pinjam lagi. Bilang sama ibu, mau beli komik lagi supaya bisa dipinjamkan ke teman-teman sekolah", seloroh saya setelah menyerahkan komik. Qadira menganggukan kepala pertanda memahami apa yang saya katakan.  Motivasi itu saya berikan bukan karena saya ketagihan membaca komik gratisan, sungguh bukan seperti itu, melainkan dalam rangka memantik geliat memiliki koleksi buku mandiri. Motifnya sederhana, dengan memiliki koleksi buku mandiri...