Langsung ke konten utama

Selayang Pandang Tentang Buku Metamorfosis Literasi Diri

Ada dua macam orang yang ditakdirkan berumur panjang di dunia: Orang yang berjasa dan mereka yang memiliki karya. Menurut Al-Ghazali, jika engkau bukan anak seorang raja atau keturunan ulama maka menulislah. Oleh karena itu, karena saya tidak terlahir dari trah keluarga raja dan bernasabiah ulama maka saya memutuskan diri untuk memilih jalan asketis dengan berkarya. Berkarya sebenarnya memiliki makna yang luas dan tak terhingga, akan tetapi dalam konteks ini mari secara saksama kita sepakati dengan arti menulis.

Menulis ditinjau dari historisitas adalah aktivitas yang mewah dan "wah". Kenapa demikian? Sebab tidak sembarangan orang yang memiliki kehendak dan kemampuan untuk menekuni dunia literasi, utamanya menulis. Pada masa kerajaan di tanah Nusantara, menulis dilakukan oleh seseorang yang dianggap suci, pelaku spiritualitas (resi) dan ditokohkan, dilakukan oleh seorang empu misalnya. Yang demikian itu dibuktikan dengan adanya penulisan prasasti di lontar atau ditemukannya kitab Nagara Kertagama sebagai contohnya.

Jika kita menilik tradisi menulis dalam sejarah peradaban Islam, mungkin kita masih ingat dengan tindakan para sahabat Nabi tatkala Nabi menyampaikan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang kemudian dituliskan di pelepah kurma yang kering, di permukaan batu yang halus, di kulit unta yang kering, di belulang sampai dengan di bantalan kayu yang biasanya digunakan di atas punggung unta. Kemudian proses kodifikasi Al-Qur'an dilakukan pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq terjadi perang Yamamah yang dimotori oleh Musailamah al-Khadzdzab mewafatkan banyak sahabat dan para penghafal Al-Qur'an. Dari sanalah Umar bin Khattab dengan tegas mengusulkan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk menuliskan Al-Qur'an menjadi mushaf. Lantas Abu Bakar Ash-Shiddiq menunjuk Zaid bin Tsabit untuk menuliskan Al-Qur'an hingga menjadi mushaf. Selanjutnya, tradisi menulis dalam peradaban Islam di lanjutkan oleh para alim-ulama intelektual; Mutakalimin, Fuqaha, Muhadissin, Filosof, Sufi dan cendekiawan lainnya. 

Sedang di dunia Barat yang dalam intelektualitas terkenal sebagai kiblatnya ilmu, menggeluti dunia literasi telah menjadi kebudayaan massif. Hal itu dibuktikan dengan budaya literasi yang baik, banyaknya kampus top rujukan dunia dan perpustakaan megah yang ada di sana. Tidak hanya itu, bahkan sebagian intelektualitas Barat dengan senang hati bersedia mengabdikan dan menghabiskan jatah hidupnya hanya untuk fokus meneliti. Mengabdikan diri semata-mata untuk peradaban ilmu. 

Historisitas tradisi intelektualitas tersebut sedang menunjukkan satu titik terang kepada kita semua, bahwa puncak keberhasilan menggeluti dunia literasi--utamanya menulis--tidak lain didasarkan pada adanya kebulatan tekad, komitmen, motif yang kuat dan proses yang berkelanjutan. 

Prof. Ngainun Naim dalam pengantarnya yang berjudul Meraih Kenikmatan Menulis yang termuat dalam buku Jalan Terjal Menulis Buku (2021: iii) menegaskan bahwa terus berproses adalah salah satu kunci dalam menulis. Jika proses menulis itu terhenti, maka hilang pula esensi seorang penulis yang melekat dalam dirinya. Dengan demikian, hakikat dari menulis adalah kesadaran untuk menjadi pembelajar sejati sehingga kemampuannya meningkat dan terus berkembang. Proses itu berjalan seumur hidup. 

Hal itu menunjukkan bahwa membangun tradisi menulis yang mendarah daging tidak dapat dilakukan secara instan. Melainkan membutuhkan proses panjang dan berkelanjutan. Adanya kesabaran dan ketekunan yang terbenam di dalam diri menjadi kunci penting terbangunnya tradisi menulis, (Ngainun Naim, 2017: iv). Mungkin karena alasan ini pula kenapa khalayak ramai lebih suka menyibukkan diri--memilih tenggelam sekaligus bersikap alergi literasi--pada aktivitas yang bersifat praktis. Sehingga penulis digolongkan sebagai makhluk langka. 

Bagi saya pribadi, menjadi seorang penulis adalah salah satu mimpi yang sesegera mungkin harus diwujudkan. Bukan mimpi yang hanya tumbuh besar dalam angan. Mimpi yang tampak mustahil tatkala saya belum memahami seluk-beluk menulis, editing, membuat outline buku, menyusun bongkahan tulisan menjadi naskah utuh hingga prosedur menawarkan naskah untuk diterbitkan menjadi buku. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu kemustahilan itu ternyata terpatahkan dengan sendirinya tatkala saya bergabung dengan Arabic and Rethoric Club di masa putih abu-abu. Lantaran bergabung dengan kegiatan ekstrakurikuler itulah buku antologi pertama saya terbit. Seingat saya, buku antologi perdana itu berisikan serial pidato.

Selanjutnya, geliat literasi yang ada di dalam diri saya semakin terpantik tatkala bertemu dengan mata kuliah yang diampu Prof. Naim di semester dua. Di tahun 2014 itu pula saya memutuskan untuk membuat blog atas dasar arahan Prof. Naim. Blog gratisan milik saya dengan domain www.dewaralhafiz.blogspot.com akhirnya terlahir juga. 

Jika boleh jujur, awalnya saya sempat kebingungan untuk mengelola tampilan utama blog. Karena memang kala itu adalah kali pertama saya memiliki blog. Kali pertama pula saya memiliki laptop sendiri. Belum lagi ditambah dengan pengetahuan tentang fitur-fitur tersembunyi yang dimiliki oleh blog masih saja bebal untuk saya pahami sepenuhnya. 

Semenjak memiliki blog gratisan itulah beberapa waktu luang saya isi dengan aktivitas menulis. Menulis apapun itu topiknya. Mulai dari rutinitas kegiatan tatkala berstatus sebagai seorang mahasiswa, anak kos atau memang catatan refleksi perkuliahan. Utamanya, kala itu ada satu dua mata kuliah yang memang mewajibkan setiap mahasiswanya untuk membuat catatan refleksi setiap sesi pertemuan kuliah. Mata kuliah kepenulisan salah satunya.

Aktivis menulis itu sendiri kerap saya lakukan melalui dua media: diketik di Ms. Word atau di aplikasi note pada smartphone. Entah kenapa rasanya saya tidak begitu nyaman untuk menulis langsung pada wall postingan yang disediakan blog. Sehingga tatkala saya hendak mengunggah tulisan terbaru di blog, saya harus kerja dua kali: mencari file yang bersangkutan terlebih dahulu lantas mengcopy paste ke wall postingan yang disediakan blog. Jika format tulisan sebelumnya menjadi berantakan maka saya belajar melayoutnya tipis-tipis. Barulah setelah itu dipublikasi.

Tiga tahun berjalan, saya jatuh bangun berusaha mengelola blog gratisan milik saya. Itu pun lebih banyak alpha-nya daripada konsistensi memposting catatan. Di tahun 2017 saya benar-benar tidak sempat mengunggah satu pun postingan di blog. Hal itu dikarenakan beberapa hal: status sebagai mahasiswa semester akhir mendikte saya harus fokus menyelesaikan skripsi sebagai tugas akhir akademik. Sedang alasan yang kedua, tepat di tahun 2017 blog saya sempat diblokir oleh pihak google. Entah apa alasannya, yang jelas kemungkinannya itu salah satu imbas persaingan ketat dari gencarnya perkembangan teknologi. Terlebih kala itu saya menggunakan smartphone besutan Microsoft. Belakangan saya tahu, bahwa tahun itu adalah masa tenggang perpanjangan kontrak antara pihak google dan Microsoft. 

Menginjak tahun 2018, akhirnya blog gratisan milik saya bisa kembali diakses meskipun dengan catatan semua koneksi pertemanan--termasuk langganan pembaca blog-- telah terputus. Di tahun itu pula statistik viewer blog saya menurun drastis. Bukan hanya menurun drastis, lebih tepatnya saya harus kembali merintis. Upaya pengelolaan itu terus berlanjut sampai detik nafas ini. Selain mengelola blog pribadi, saya juga berusaha bergabung dan berkontribusi karya di blog keroyokan seperti Kompasiana, Qurreta.id, Artikula.id, Kaskus.co.id, Rahma.id dan Pronesiata.id. Dari sana pula saya mulai berinteraksi dengan penulis lain, berjejaring dan saling menilai-menikmati masing-masing karya. 

Tidak hanya membuat jejak di media sosial, akan tetapi semenjak duduk di bangku kuliah saya juga sempat menempa potensi literasi dengan bergabung menjadi anggota dari organisasi intra maupun ekstra kampus. HMJ dan Dema-F adalah organisasi intra yang sempat memberikan peluang besar kepada saya untuk mendalami bidang kejurnalistikan. Bahkan selama menjadi bagian dari organisasi intra lingkup fakultas itu sempat pula saya diamanahi jabatan sebagai pimpinan redaksi (baca: pimred) buletin Al-Irfan. Selama menjadi pimred, Alhamdulillah masih bisa menerbitkan buletin. Meski itu hanya satu kali. 

Pada kesempatan dan waktu yang sama, di organisasi ekstra kampus saya juga mendapuk jabatan sebagai koordinator divisi Jurnalistik di Forum Mahasiswa Bidikmisi (ForMaSi). Fakta yang menarik, pada kenyataannya amanah itu juga secara otomatis merangkap menjadi pimpinan redaksi untuk buletin Hasil Karya Mahasiswa Bidikmisi (HaKaSi). Selama menjabat, kurang-lebih empat kali buletin HaKaSi terbit. Meski kala itu saya sempat mendapat kopi pahit dari warek tiga karena setiap buletin terbit tidak selembar pun sampai di atas meja kerjanya. 

Selain itu, saya juga sempat aktif berkecimpung di beberapa grup literasi berbasis WhatsApp, seperti ForMaSi Menulis, Komunitas Menulis Tulungagung, Sahabat Pena Lentera, Komunitas Menulis Online Indonesia (KMOI) dan Sahabat Pena Kita cabang Tulungagung (SPK-TA). Kendati demikian, sekarang saya hanya aktif di satu grup, SPK-TA. Kebetulan juga di sana saya diamanahi jabatan sebagai Ketua II. 

Perjalanan terjal menyelami dunia literasi yang saya alami kemudian menggerakkan semangat saya untuk mengabadikan sebagian proses panjang itu menjadi buku. Tentu saja insiatif ini muncul atas dasar beberapa pertimbangan penting menyangkut kemaslahatan bersama: baik bagi saya pribadi maupun bagi Anda selaku pembaca. Pertama, pendokumentasian ini penting sebagai bahan introspeksi diri, utamanya untuk mengukur kemampuan menulis dari waktu ke waktu. 

Kedua, setelah buku ini terbit setidaknya mampu menjadi anak tangga (baca: motivasi, batu loncatan) untuk lebih produktif dalam berkarya. Ketiga, dari sekian banyak topik yang disodorkan dalam buku ini setidaknya dapat diperas sari patinya. Sehingga jika pembaca yang budiman merasa tidak mendapatkan poin penting pada satu topik tertentu, sangat dimungkinkan--semoga--mampu memetik hikmah dan semangat positif pada topik pembahasan selanjutnya. 

Sedangkan yang terakhir, secara tersurat buku ini bertujuan mengajak pembaca yang budiman untuk menumbuhkan spirit literasi di dalam diri. Sebagaimana pesan literasi Buya Syafii Maarif, sebaik-baiknya aktivitas yang penting dilakukan sepanjang hayat adalah membaca, berpikir, meneliti dan menulis. Sebab hanya dengan kerangka ilmiah yang demikian manusia mampu memberi kemanfaatan jangka panjang. Kendati penuangan gagasan pemikiran itu akan sangat mungkin disalahpahami dan multi tafsir. Akan tetapi, karena saya menyadari bahwa hidup di dunia hanya sekali, maka alangkah baiknya yang sekali itu diberi makna yang berarti. 

Buku Metamorfosis Literasi Diri ini secara umum berisikan tiga bab utama. Bab pertama menyodorkan pembahasan tentang menapaki proses dan menajamkan potensi. Bab ini mencakup sebelas topik persoalan yang umumnya akan dihadapi oleh seseorang tatkala memutuskan diri bergabung menjadi anggota komunitas menulis. Bab kedua mempersoalkan keintiman antara aku dan buku. Korelasi yang kuat antara aktivitas membaca, berpikir, meneliti dan menulis yang selaiknya dimiliki oleh seorang penulis terhimpun dalam tiga belas topik. Sedang pada bab terakhir, yakni ketiga, delapan topik pilihan fokus membahas tantangan dalam menulis. 

Terselesaikannya penulisan buku ini sejatinya tidak terlepas dari dorongan berbagai pihak. Kedua orangtua saya: Bapak Eman dan Ibu Juarsih yang senantiasa mendoakan anak keduanya ini untuk lekas menjadi "someone" yang mampu memberi kemanfaatan. Para guru saya yang telah mencurahkan ilmunya. Utamanya, Prof. Naim yang telah meletakkan batu pondasi tertanamnya spirit literasi dalam diri saya. Serta para teman-teman sahabat pena kita (SPK) cabang Tulungagung yang senantiasa memberikan inspirasi dan motivasi. Dengan hati yang tulus, kepada semuanya saya mengucapkan terima kasih. 

Tulungagung, 09 Juni 2022

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal