Langsung ke konten utama

Bagian dua: Poin-poin Penting Hasil Sowan

Perjalanan sowan yang telah diulas pada tulisan sebelumnya yang berjudul Catatan Perjalanan Sowan, pada kenyataannya menghasilkan empat hikmah utama. Pertama, saya bisa mengetahui persis letak rumah Prof. Naim. Sehingga jika di lain waktu hendak sowan tidak perlu lagi khawatir dan tersesat. Terlebih, sampai salah masuk gang dan harus bertanya terlebih dahulu seperti pada kejadian sebelumnya. 

Kedua, ternyata jalur Parakan menuju rumah Prof. Naim pernah saya lalui sebelumnya. Kala itu saya sempat melalui jalur Parakan setelah memperpanjang masa aktif STNK motor di Kapolsek Trenggalek. Padahal beberapa kali berkunjung ke Trenggalek lebih sering melalui jalur utama. Melewati jalan utama menuju alun-alun kota. Termasuk tatkala saya mudik dengan mengendarai sepeda motor.

Ketiga, setidaknya apa yang menjadi tanggung jawab dan tugas saya selaku orang yang membuat perjanjian pertemuan dengan maksud kepentingan mempersiapkan Kopdar SPK Tulungagung telah terwujudkan. Sehingga tidak ada lagi beban mental yang merasa mengganjal di hati saya. Entah karena rasa sungkan, atau apapun itu bentuk dan namanya.

Sedang yang terakhir, petuah-petuah bijak dan pencerahan yang disampaikan oleh Prof. Naim pada kenyataannya membuat diri saya lebih plong dan terarah untuk menyongsong pelaksanaan kegiatan Kopdar SPK Tulungagung. Jika sebelumnya, hanya berkutat dalam kubangan over thinking dan pesimistis, maka setelah sowan rasanya saya menjadi lebih yakin dan percaya diri dengan langkah apa yang harus dilakukan demi kebaikan bersama.

Lantas apa saja sih poin-poin penting yang dihasilkan dari cangkrukan kami di hari Minggu sore itu? Baik, sebagaimana janji saya pada tulisan sebelumnya, maka pada tulisan kali ini saya akan berusaha menuangkan beberapa poin penting yang telah dibahas pada momen tersebut. 

Adapun poin-poin penting dari sowan yang berhasil saya catat dan ingat di antaranya ialah sebagai berikut: 

Pertama, terkait rencana reorganisasi kepengurusan perlu disesuaikan dengan kebutuhan. Meskipun SPK Tulungagung berekor pada SPK pusat akan tetapi dalam percaturannya boleh memilih tradisi yang berbeda. Tidak harus "plek langsung" dengan SPK pusat termasuk dalam hal reorganisasi kepengurusan. Sebab pada dasarnya SPK pusat dan SPK lokal memiliki dinamika pengelolaan masing-masing.

Dalam hal ini Prof. Naim mencita-citakan orientasi SPK Tulungagung memiliki status bukan seperti organisasi intra maupun ekstra kampus yang terikat instansi formal, sehingga harus memiliki kebijakan yang sangat kaku. Disatukan oleh tujuan yang sama akan tetapi setelah tercapai bercerai berai. Bukan itu yang dikehendaki. 

Meski begitu, beliau juga mengidam-idamkan SPK Tulungagung bukan pula sekadar perkumpulan yang dianut dalam suatu komunitas, melainkan beliau lebih menghendaki status SPK Tulungagung sebagai wadah literasi yang berbasis Paguyuban. Perkumpulan yang dibentuk dan didirikan oleh orang-orang yang sepaham (satu frekuensi secara ideologis dan kesadaran) untuk membina kesatuan di antara para anggotanya. Sehingga lambat laun perkumpulan itu tidak hanya sebatas menempa skill dan mengembangkan potensi literasi para anggota yang bernaung di dalamnya melainkan juga menjalin hubungan kekeluargaan yang intim.

Model wadah seperti ini penting adanya, mengingat rasa percaya diri dan keberanian untuk terus meningkatkan kualitas hidup dengan cara mengaktualisasikan diri melalui tulisan akan terbentuk dengan sendirinya tatkala seseorang telah merasa nyaman, termotivasi lingkungan dan tumbuh-kembang dalam ikatan kekeluargaan. 

Kedua, Kopdar disesuaikan dengan kebutuhan yang memungkinkan, dikehendaki dan disepakati bersama. Persoal ini jangan dijadikan beban. Jika memang rencana kemarin yang telah disusun sebelumnya tidak srek dan terlalu kaku, maka kita bisa kopdar offline dengan Kongkow bareng di rumah Prof. Naim. Baik di perumahan beliau pribadi ataupun di rumah orangtua beliau yang beralamat di Sambidoplang. Yang terpenting disepakati terlebih dahulu konsep acaranya hendak seperti apa. 

Tentu saja, untuk mengurusi seluruh persiapan dan kelengkapan Kopdar itu harus ada beberapa orang "penggemuk" SPK Tulungagung yang dapat diandalkan. Baik secara kepemimpinan, konseptual dan aksi nyata. Bukan semata-mata pandai menyuruh dan bervokal belaka. Mungkin tidak menjadi soal jika harus membentuk panitia khusus--menyatukan tenaga di antara pengurus dan beberapa anggota yang mau bekerja secara sukarela--untuk menyukseskan perhelatan kopdar offline pertama kali ini.

Ketiga, untuk mengantisipasi ketidakhadiran partisipan dalam Kopdar, entah itu "penggemuk" atau anggota SPK Tulungagung yang aktif dapat mengajak satu-dua orang siapapun yang minat. Tentu saja ini adalah solusi terbaik jikalau memang mayoritas anggota SPK Tulungagung berhalangan untuk hadir. 

Di pertemuan sebelumnya, sebenarnya segelintir perwakilan "penggemuk" telah ngobrol tipis-tipis untuk menyiasati problem kealpaan di momen perhelatan acara Kopdar dengan berusaha membangun komunikasi yang baik. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan chatting jalur pribadi via WhatsApp. Pendekatan ini penting untuk dilakukan untuk menumbuhkan hubungan emosional. Sehingga akan ada rasa sungkan dan tidak enak diri jika tidak menghadiri acara Kopdar. 

Keempat, kalau memang nanti format acaranya menghendaki adanya door prize buku, Prof. Naim siap menghibahkan. Ini salah satu solusi yang menggiurkan. Bagaimana pun jika kita bercermin pada kebanyakan acara yang menggunakan format door prize, umumnya sangat mungkin sekali menarik antusias massa. Bagaimanapun warga negara +068 umumnya masih doyan dengan program gratisan.

Sebagai contohnya, mungkin kita masih ingat dengan format marketing suatu produk makanan atau minuman instan yang  di dalamnya menyelipkan hologram keberuntungan. Produk itu pada kenyataannya laris manis di pasaran. Belum lagi model door prize yang booming kekinian. Misalnya saja door prize ala-ala prank, tantangan ekstrem, sosial eksperimen dan lain sebagainya. Apalagi jika kita menghelat acara sharing pengetahuan yang dibalut dengan door prize, sudah seharusnya dibanjiri partisipan.

Kelima, pasang surut keaktifan anggota grup itu sudah biasa. Yang terpenting, setiap anggota yang aktif harus terus berusaha meningkatkan semangatnya. Persoalan ini memang perkara klasik yang kambuhan obatnya. Mengapa demikian? Sebab jika ditelisik lebih jauh akan ada banyak faktor yang melingkupinya. Baik itu faktor internal--secara personal-- ataupun faktor eksternal di luar dirinya. 

Kendati demikian, adanya semangat dari sebagian orang yang telah istikamah menulis juga perlu. Hal ini dimaksudkan untuk tetap merawat sekaligus menjaga geliat literasi yang ada di dalam diri masing-masing anggota. Mengapa demikian? Sebab orang yang belum sempat menulis dan mengunggah tulisannya ke dalam blog, bisa saja terpantik semangatnya tatkala membaca tulisan anggota yang aktif menulis. Karena sangat mungkin pula ada anggota yang aktif membaca namun sungkan untuk menulis. Aktif menulis namun sungkan untuk membagikan tautan blog-nya di grup. Akan tetapi yang berbahaya adalah aktif menulis namun tidak pernah membaca. Sedangkan pada klaster yang paling mengerikan adalah orang yang sudah alpa membaca dan menulis. 

Prof. Naim menyebutkan harmonisasi itu penting adanya, mengingat hidup adalah sebuah perubahan yang terus berlangsung. Sementara keseimbangan adalah kunci dari keberlangsungan. Meski demikian, harmonisasi yang baik adalah semangat perubahan menuju arah yang lebih baik. Pergerakan menuju sisi kutub positif. Sehingga yang terpenting dalam perubahan itu adalah keberlangsungan proses itu sendiri. Hanya melalui keberlangsungan proses, menulis dapat menjadi tradisi. Tanpa adanya proses, terlebih aksi, potensi literasi itu akan tumpul kembali. Tumpul kembali, lantas motivasi itu pelan-pelan terus mati. Tertimbun kemalasan yang mengendap di dalam diri.

Sebagai contohnya, beliau sempat menyebutkan salah satu sanggar literasi yang fokus menggeluti genre literasi khazanah Jawa. Sanggar itu masyhur namanya, dikenal di mana-mana. Pada kenyataannya seluruh anggota komunitas itu telah berumur, kendati demikian mereka secara konsisten selalu membuat Kopdar offline meski dihadiri 5 sampai 7 orang.

Tak lupa mereka berusaha mendokumentasikan hasilnya dalam bentuk tulisan. Tak jarang pula mereka pun mengirimkan tulisannya ke koran lokal, meski itu hanya satu kali dalam sebulan. Namun, karena konsistensi yang tak berujung itulah akhirnya namanya menjadi besar. Namanya kian melambung. Padahal sanggar itu tidak memiliki anggota yang cukup banyak dan tidak memiliki gedung sekretariat. Sekretariat sanggar itu ya di rumah ketuanya tersebut.

Keenam, jangan over thinking sebelum kita melakukan apa yang harus kita kerjakan, sebab hasilnya bisa saja di luar apa yang kita ekspektasikan sebelumnya. Tugas kita hanya berusaha dan berproses. Selebihnya, kita hanya mampu berpasrah dan berharap yang terbaik akan menyapa diri.

Harus diakui secara jujur, bahwa over thinking dan pesimistis sebelum melakukan sesuatu yang harus kita kerjakan adalah sebuah kesalahan fatal. Mengapa demikian? Sebab paradigma yang demikian dapat menjadikan kita membuat kesimpulan sepihak secara dini yang belum tentu benar.  Tidak hanya menyimpulkan secara serampangan, akan tetapi hal itu juga turut mematikan semangat dan upaya kita untuk bertindak. Sehingga yang benar-benar timbul dalam pikiran dan hati kita adalah ketakutan dan kekhawatiran yang akut. Tentu dalam hal ini kita bersikap sebagai orang yang "sok tahu", padahal hasilnya belum tentu demikian jika kita mengerjakannya dengan penuh semangat dan positif thinking.

Terkait hal ini Prof. Naim menceritakan berbagai macam hikmah yang beliau tengguk setelah berproses lama menggeluti dunia literasi. Beliau menegaskan, bahwa setiap tulisan sebenarnya memiliki takdir masing-masing, sehingga tidak perlu khawatir dan takut dengan bagaimana nasibnya. Bahkan secara terang-terangan beliau menegaskan, bahwa melalui karyanya beliau bisa berpetualang dan mendapatkan relasi yang tidak dibayangkan sebelumnya. Itu semua dituai dan dijalankan bermula dari cara pandang yang positif thinking dan penuh semangat. 

Begitupun tatkala kita hendak mengadakan Kopdar offline SPK Tulungagung, sudah seharusnya kita mendahulukan berpikir positif thinking, supaya kemudian dalam prosesnya sat set. Ada tindak dan hasil yang nyata. Bukan malah mandeg di tengah jalan. Hasil sowan yang ada ya harus ditindaklanjuti bukan malah digantung tanpa kejelasan. Digantung tanpa kejelasan itu sakit lhooo... Ah, masa begitu saja enggak tahu sih. 

Ketujuh, komunikasi-kekompakan terus dijaga. Membangun budaya interaksi yang baik antara para anggota SPK Tulungagung itu perlu, mengingat bergabung menjadi anggota SPK Tulungagung berarti bernaung pada satu payung yang sama. Berkumpul pada wadah yang sama. Alhasil, tampaknya menjadi sangat aneh jika kita berkumpul di wadah yang sama akan tetapi tidak pernah mengenal dan mengetahui persis di antara masing-masing anggota. Tetangga masa gitu?

Atas dasar demikian, perhelatan acara Kopdar offline ini bertujuan merekatkan keintiman--silaturahmi--di antara anggota SPK Tulungagung yang mungkin saja belum pernah bertemu. Belum pernah bertatap muka langsung. Pertemuan ini penting, mengingat ada banyak hal yang perlu dievaluasi dan dibenahi. Salah satu di antaranya, besar harapan kami--"penggemuk"--dengan adanya Kopdar offline SPK Tulungagung ini mampu menepis keasingan diri di antara masing-masing anggota. 

Simplifikasinya, acara Kopdar ini didesain untuk bermuajahah, bercuap-cuap ria dan melepas dahaga. Tidak ada kepentingan politik atau merebut suara. Akan tetapi diharapkan tidak pula menjadi beban bagi setiap masing-masing anggota. Gitu saja kok repot!

Prof. Naim kembali bercerita tentang perjalanannya menjadi narasumber di IAIN Batusangkar. Kala itu dalam perjalanan beliau menulis status di wall Facebook sedang menuju ke IAIN Batusangkar. Tidak lama dari itu, ada seorang alumni UIN SATU Tulungagung yang memang tinggal di sana menghubungi beliau. Ia memastikan Prof. Naim naik pesawat apa. Lantas setelah beliau sampai di bandara dan berjalan menuju pintu penjemputan, di sana seorang alumni itu sudah menunggu beliau. Ia memaksakan diri--izin-- untuk mengikuti agenda kegiatan beliau.

Hal itu terjadi tidak lain karena adanya komunikasi yang baik. Melalui komunikasi yang baik sejatinya membangun rasa kekeluargaan sekaligus menghilangkan sekat-sekat keterasingan di antara satu sama lain. Tanpa komunikasi yang baik, keintiman dan kepedulian terhadap satu sama lain tidak akan terbangun di dalam diri. 

Kedelapan, untuk agenda-agenda SPK Tulungagung Prof. Naim siap membantu lahir-batin jika dibutuhkan dan diminta. Pernyataan tersebut menegaskan keloyalan dan totalitas beliau dalam menggeluti dan merangkul setiap wadah literasi. Sehingga tidak salah, jika kita menjadikan beliau sebagai suri tauladan.

Dari keloyalan dan totalitas beliau dalam mengabdikan diri pada dunia literasi setidaknya kita bisa belajar banyak hal, termasuk salah satu pengetahuan bahwa hierarki dalam menggeluti dunia literasi terbagi menjadi tiga bagian: pertama, dalam taraf ontologis, jadilah pribadi yang rakus dalam melahap pengetahuan. Dalam artian banyak membaca dan mencari pengetahuan dengan maksud menginventaris data dan memperkaya pengetahuan. 

Kedua, temukanlah motif dan falsafah yang kuat bahwa kesadaran melek literasi itu kelak akan merubah hidupmu. Tidak hanya itu, bahkan dengan melek literasi keberkahan dan kebaikan atas hidup dapat direngkuh. Hal itu dimulai dengan berusaha membudayakan untuk mengaktualisasikan pengetahuan itu dengan banyak berlatih menulis. Menulis apapun itu bentuknya. 

Sedang yang terakhir, kelolalah pengetahuan itu untuk menjadi kekuatan kolektif. Artinya, motivasi yang kuat untuk mengabdikan diri pada dunia literasi jangan sampai dinikmati, berhenti (terpuaskan) dan dilakukan secara pribadi semata, melainkan ajaklah dan tularkanlah semangat itu kepada semua orang tanpa memilah-milah. Niscaya kemanfaatan jangka panjang menjadi bagian cerita indah dalam hidupmu yang singkat. 

Selamat membaca. Mohon maaf bila ada kekurang tepatan dalam alur penulisan. 

Tulungagung, 8 Juni 2022


 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal