Analisis
Feminisme dalam Realita Kehidupan
Sebut saja ia Miss. Y. Ia merupakan salah
seorang mahasiswi yang sekaligus kekasih (pasangan dalam relasi pacaran) dari
salah seorang mahasiswa kampus tercinta, IAIN Tulungagung. Untuk lebih jelasnya
sebut saja sang pacar Mr. X.
Sebelum memutuskan untuk menjalin
suatu hubungan serius (yang disebut pacaran), awalnya Miss. Y bersikap,
bertingkah dan bertindak sebagaimana khalayak perempuan yang memiliki
kemerdekaan ekspresi total dalam ranah domestik dan publik tatkala menjalani
rutinitasnya. Entah itu dalam hal membagi waktu antara kuliah, organisasi dan keluarga,
serta dengan siapa pun ia melakukan relasi komunikasi pertemanan dan
persahabatan. Tanpa adanya kecenderungan untuk memilah dan memilih dengan siapa
ia bergaul, sejenis atau pun lawan jenis. Yang pasti ia merasa nyaman, tatkala ia
masih dalam kesendirian, atau yang lebih sering dikenal dengan status single
yang melekat pada diri pribadinya.
Alih-alih merasa minder dengan statusnya
yang single, akhirnya dengan segera Miss. Y pun memutuskan untuk menjalin
hubungan (pacaran) dengan salah seorang mahasiswa yang telah lama dikaguminya.
Telah lama pula diakrabinya, bahkan Mr. X yang dikenalinya tersebut begitu
ramah dan baik dalam memperlakukannya. Seolah-olah Mr. X tersebutlah pangeran
ideal yang diidamkannya, (persepsi yang dijelaskan oleh Miss. Y).
Namun setelah beberapa bulan mereka
menjalin hubungan (pacaran), beberapa tindak yang menurut saya janggal pun
mulai bermunculan. Misalnya saja dengan adanya pembatasan yang dilakukan oleh
Mr. X terhadap sang kekasih Miss. Y dalam hal bergaul, berteman, berkomunikasi,
berpergian dan mengekspresikan dirinya di ranah publik. Tapi berbeda halnya
dengan persepsi Miss. Y yang menganggap bahwa semua yang dilakukan oleh Mr. X
adalah bentuk perhatian, kasih sayang dan limpahan cinta yang besar terhadap
dirinya, tanpa berlebihan. Meskipun secara implisit Miss. Y merasa sedikit
risih dengan semua tindak yang rutin harus ia laporkan kepada Mr. X. Sebagai
contoh saja tatkala Miss. Y ingin ikut diskusi, seminar, berpergian dengan
temannya dan lain sebagainya, ia pun harus izin terlebih dahulu kepada sang
kekasih. Namun yang demikian tidak sebaliknya, Mr. X bebas bertindak. Belum
lagi dalam hal alat komunikasi, Miss. Y dengan terus terang mengakui bahwa
secara rutin tiap minggunya sang kekasih selalu mengontrolnya, yakni dengan
jalan saling tukar-menukarnya hand phone (hp).
Secara sadar Miss. Y mengakui
pembagian waktu dalam rutinitas keseharian pun yang biasanya proporsional,
semakin tidak efektif. Waktunya terkadang habis untuk sekadar sms-an, chattingan,
teleponan atau bahkan berpergian. Tentunya hal yang demikian pun dalam rangka menghabiskan
waktu kebersamaan.
Sesekali Miss. Y pun pernah bertindak
bebas seperti halnya ia menjadi single kembali (bebas dari label kepemilikkan),
yakni tidak menghubungi dan melaporkan semua hal yang dikerjakannya dan mengikuti
acara semaunya. Namun, yang demikian pun malah menyulut perseteruan,
kecemburuan dan setigma dari Mr. X. Dan dikala itu pun Miss. Y yang merasa
tidak mau kehilangan kekasihnya tersebut, langsung meminta maaf dan menuruti
semua hal yang diinginkan oleh Mr. X. Hal yang demikian dilakukan dengan
anggapan bahwa Mr.X lah yang paling cocok sebagai imamnya kelak dimasa depan.
Dari kasus hasil wawancara dengan
Miss. Y yang tidak mau disebutkan jurusan, fakultasnya dan beberapa hal pribadi
lain yang bersangkutan. Dapat disimpulkan bahwa Miss. Y mengalami inferioritas
dan opresi yang dilakukan oleh pasangnnya, Mr. X. Hal yang demikian sangatlah
jelas ketara, tatkala Mr. X berusaha mengontrol rutinitas yang dilakukan Miss.
Y di ranah publik, entah dalam bergaul, bekomunikasi dan mengekspresikan
dirinya secara total. Keajegan dan kepemilikkan tubuh pribadi Miss. Y pun
seakan-akan bukan lagi miliknya, melainkan telah menjadi milik Mr. X.
Namun pada realitasnya bukankah
masing-masing dari mereka memiliki privasi dan ketotalan terhadap diri pribadi?
Bukan sekadar terbatas dan dibatasi karena adanya suatu relasi (hubungan) yang
menyebabkan timbulnya rasa memiliki? Sehingga pada akhirnya menunjukkan siapa
yang inferioritas dan teropresi, serta siapa yang superioritas memiliki
kuasa-dominasi.
Tindakkan yang telah terdeskripsikan
di atas tersebut, tentunya termasuk ke dalam suatu persoalan yang memang
diperdebatkan dalam feminisme radikal. Yang lebih tepatnya lagi sangat klop
dengan jargonnya “Personal is Political” (yang pribadi adalah politik). Sosok
perempuan yang teralienasi dan tidak berdaya, yang dengan sekaligus dikonstrusksi
oleh sistem hierarki patriarki (Ideologi yang menempatkan laki-laki pada posisi
superioritas). Hal yang demikian pun dengan jelas diperkuat lagi oleh salah
satu karya Kate Millet ‘Sexual Politics’, yang mana di dalamnya dipaparkan
bahwa seks adalah politik, terutama karena hubungan laki-laki dan perempuan
merupakan paradigma dari semua hubungan kekuasaan. (Rosemarie Putnam Tong, 2010:
67-138).
Seorang laki-laki yang superior dan
melakukan opresi di sini, saya lebih fokuskan pada kasus yang terjadi pada
sosok laki-laki yang berkarier, panggil saja iya Mr. M. Di mana hasil wawancara
yang telah saya lakukan tesebut menunjukkan bahwa Mr. M yang memang sibuk
dengan rutinitas kariernya dalam dunia pendidikkan, menjadikannya sering kewalahan
dalam membagi waktu antara kerja dengan keluarganya, terutama sang istri yang
menjadi pasangan hidupnya. Jarak antara keluarga yang tinggal di lokalitas (kota) yang berbeda menjadi salah
satu sumber penyebabnya. Begitu pun Mr. M yang memiliki jadwal padat dalam rutinitas
mengajar, seminar dan seorang yang ahli dalam salah satu bidang keilmuan,
sehingga menyebabkannya memiliki waktu diluar kewajaran.
Keberadaan Mr. M dengan keluarganya
pun dapat dihitung jari. Semisal saja kesempatan hari bekerja dan kebersamaan
pun dipresentasekan ke dalam seminggu. Jika hari efektif bekerja dalam seminggu empat sampai lima hari
maka cukup dua harilah keberadaan dan kebersamaan Mr. M dengan keluarga,
termasuk istrinya.
Dalam kasus ini Mr. M banyak bekerja
di ranah publik dan dengan bebas mengekspresikan dirinya tanpa khawatir dengan
bagaimana keadaan keluarganya, termasuk sang istri dan anak-anaknya. Dan di
sana pun dituturkan dengan jelas, bahwa sang istri dideskripsikan sebagai tokoh
yang ahli dalam ranah domestik, tidak memiliki kerja sampingan selain berperan
sebagai Ibu rumah tangga. Sang istri pun tunduk dengan sistem keluarga yang
telah dikonstruk, tanpa menunjukkan semua kebutuhan primernya yang belum
terpenuhi secara seksualitas dan psikis (batin).
Kondisi yang demikian, pada umumnya
oleh masyarakat diasumsikan sebagai suatu kewajaran dalam kehidupan
berkeluarga. Namun berbeda halnya dengan persepsi saya yang berani mengatakan
adanya kejanggalan yang semestinya diseimbangkan. Pertama harus adanya keseimbangan
dalam membagi waktu antara dunia kerja dan kebersamaan Mr. M dengan keluarga,
khususnya waktu luang untuk sang istri. Kedua, sistem patriarki yang jelas
mendominasi. Menjadikan posisi Mr. M lebih merdeka dan leluasa dalam ranah
publik sedangkan sang istri terus terbatas dalam ranah domestik yang cenderung
lebih fokus mengurusi anak. Ketiga, kebutuhan akan seksualitas dan psikis
(batin) sang istri yang terabaikan. Bukankah ketidakseimabangan tersebut
menjadi sesuatu yang layak dipersoalkan?
Dalam perspektif saya, kasus yang
demikian pun menjadi sangat relevan solusinya dengan pendapat salah seorang
tokoh feminisme liberal abad ke-19, yakni John Stuart Mill yang terdapat dalam karyanya
‘The Subject of Women’, yang mengemukakan bahwa perempuan haruslah
diberi kesempatan dalam ranah ekonomi. Sehingga dalam keberlangsungan hidup
dalam berkeluarga sosok perempuan mempunyai kesempatan untuk berpenghasilan.
Yang pada akhirnya menjadi patner seorang suami. Dan tentunya hal ini
memposisikan perempuan lebih leluasa, tidak terkungkung dalam ranah domestik.
Melainkan memberi kesempatan dan
kepercayaan lebih dalam ranah publik.
Sebagai solusi yang menjanjikan
terhadap kedudukan perempuan, salah seorang pemikir feminisme liberal abad
ke-20 pun menawarkan perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Yakni Betty Friedan, melalui karyanya ‘The feminine Mystique’. Inti dari
karya tersebut ialah mengemukakan bahwa seorang perempuan mampu berkarier tanpa
harus berhenti atau mengorbankan perkawinan dan fungsi seorang ibu. Pandangan
umum yang selalu memposisikan perempuan sebagai perawat rumah, sebagai istri
dan sekaligus berperan sebagai ibu bagi anak-anaknya, merupakan suatu bentuk
pembatasan dalam perkembangannya sebagai manusia yang utuh. Maka hanya dengan
pekerjaan yang kreatiflah seorang perempuan mampu mengkonstruk diri secara
total. Selain demikian, dalam ‘The Feminine Mystique’ juga dikemukakan
bahwa mengkombinasikan antara karier, perkawinan dan motherhood adalah sulit,
meskipun perempuan berada dalam posisi beruntung. Kemudian pada karya berikutnya, yakni ‘The
Second Stage’ Friedan berusaha mengkombinasikan karier, perkawinan dan motherhood.
Dalam karya yang inilah Friedan berpendapat bahwa perempuan bekerjasama dengan
laki-laki dalam mengembangkan nilai-nilai sosial, gaya kepemimpinan dan
struktur institusional, sehingga dengan bersamaan tersebut sosok perempuan
mendapat keuntungan bersama dipublik dan privat (domestik).
Sedangkan permasalahan tentang
kebutuhan akan seksualitas dan psikis (batin) sang istri yang terabaikan. Dalam
artian terbatasinya penyaluran hasrat untuk meminta terlebih dahulu melakukan
hubungan intim (seksualitas) tatkala sang istri menginginkannya menjadi sesuatu
yang tabu. Hal yang demikian tentu sangatlah relevan dengan pahaman para tokoh feminisme libertarian, yang di antaranya Kate
Millet, yang melalui karyanya ‘sexual politics’ mengemukakan bahwa
subordinasi dan penindasan terhadap perempuan terkubur dalam sistem seks
(gender) patriarki. Yang dalam kelanjutannya kemudian menjadi ideologi
patriarki yang melegitimasi perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan.
Begitu pun dengan Sulamith Firestone, melalui ‘Dialectic of Sex’ ia
menegaskan bahwa dasar material ideologi seksual atau politik submisi perempuan
dan dominasi laki-laki adalah reproduksi yang terjadi antara laki-laki dan
perempuan. Sehingga dengan jelas hasrat untuk mendapatkan kepuasan dan
kenikmatan terhadap seksualitasnya tersebut menjadi sebuah kemungkinan besar
untuk tidak terpenuhi. Perempuan diletakkan hanya sebagai objek penikmat dan
pemuas belaka. Dalam hal ini pun feminisme Marxis tidak mau ketinggalan, berusaha
mempersoalkannya. Yakni dengan berasumsi bahwa perempuan (yang berperan
poletar) sebagai komoditas dalam perkawinan tidak lain hanya sebagai bentuk
pelacuran terselubung. Di mana tubuh yang dimiliki oleh perempuan dijadikan
sebagai objek seksualitas belaka yang diopresi dan dieksploitasi oleh laki-laki
(yang berperan borjuis).
Untuk kasus yang ketiga, fokus
perhatian wawancara saya lebih mengarah kepada studi kasus tentang perempuan
yang memiliki sifat-sifat maskulin yang dominan. Sebut saja ia Miss. De. Ia
merupakan anak perempuan pertama dari tiga anak perempuan bersaudara. Secara
petumbuhan dan perkembangan Miss. D dididik dalam keluarga yang lengkap dan
dalam pengasuhan ganda (tidak berkecenderungan mothering atau fathering,
melainkan pola pengasuhan yang seimbang). Sehingga dalam perkembangan gender
secara lumrah pun dapat dikategorikan normal, tidak menyimpang.
Namun, keadaan yang secara umum
dianggap normal pun pada kelanjutannya berubah tatkala Miss. D dan keluarganya
kehilangan sosok sang ayah, yang meninggal dunia. Jelas betul tutur katanya,
bahwa tatkala ayahnya meninggal itu Miss. D masih belum genap berusia 17 tahun,
lebih tepatnya lagi semasa ia masih kelas satu Aliyah. Dari sana pun Miss. D
dalam kelasnya lebih sering bergaul dengan teman laki-lakinya. Entah itu teman
sekelas, kakak kelas atau pun adik kelasnya. Seolah-olah Miss. D sedang mencari
kepuasan terhadap sosok yang mampu menggantikan sang ayah. Sehingga lambat-laun
kehidupan sosialnya tersebut pun mulai membentuk dirinya sebagai perempuan yang
maskulin. Yang di antaranya sebagai pemberani, kuat, tidak emosional melainkan
rasional dalam bertindak (terutama dalam mengambil keputusan), mandiri, tidak
cengeng (tegar) dan lain-lain. Pembentukkan diri sebagai perempuan yang memiliki
sifat-sifat maskulin pun di dorong pula oleh pola didik dan pandangan sang Ibu
yang mengharuskan Miss. D memiliki semua kemampuan dan sifat-sifat yang
dimiliki oleh ayahnya dulu. Sosok ayah yang semasa hidupnya dahulu mempunyai
peran sentral dalam masyarakat (orang terpadang, tokoh masyarakat),
mengharuskan anak perempuan pertamanya tersebut menjadi penerus tonggak
perjuangan sang ayah.
Dalam kasus yang demikian, sekadar
menentukan jenjang pendidikkan yang ditempuh oleh Miss. D pun bahkan sangat
menuruti apa yang dikehendaki dan didiktekan oleh sang Ibu, bukan kehendak diri
pribadi melainkan adanya sikap keterpaksaan. Termasuk sekarang, tatkala ia
masuk kejenjang perkuliahan hingga bagaimana ia hidup di masa depan. Dari
kontruksi deterministik yang demikian, tumbuhlah seorang perempuan yang tampil
dalam fashion-nya sebagai perempuan. Namun memiliki sifat-sifat maskulin
yang dominan melekat pada dirinya.
Dalam analisis saya, kasus tersebut
pun sangatlah relevan dengan padangan beberapa tokoh yang berkecimpung dalam
feminisme Psikoanalisis. Yang lebih tepatnya, yakni bersesuaian dengan
pendapatnya Alfred Alder, Karen Horney, dan Clara Thompson.
Pertama, Alfred Alder. Dalam
pandangan Alfred, baik laki-laki atau pun perempuan sama-sama memiliki ketidakberdayaan.
Ketidakberdayaan di sini diartikan sebagai seorang anak yang berada dalam
kekuasaan orang tua. Seorang anak yang terus bergantung kepada orang tua
sebelum mengenal objek lain sebagai pasangannya. Sebagai diri yang kreatif
memiliki kesempatan dalam memaknai takdir biologis. Entah laki-laki atau pun
perempuan merupakan takdir biologis yang pada akhirnya membentuk diri yang
unik.
Kedua, Karen Horney. Menurut Horney,
perempuan yang berperan sebagai penggerak dan pengguncang adalah mereka yang
berjuang untuk keseimbangan di antara tiga karakter penarik, yakni penarik yang
tidak menonjolkan diri, penarik yang memendam diri dan penarik yang ekspansif.
Dalam padangan Horney, perempuan sebagai diri yang ideal pun digambarkan
sebagai perempuan yang di dalam dirinya mencakup sifat-sifat maskulin dan
feminin.
Ketiga, Clara Thompson. Dalam
pandangan Clara, perkembangan manusia berperan sebagai sesuatu yang
menjembatani tugas dalam pembentukan diri. Sehingga identitas perempuan dan
laki-laki tidaklah muncul dari biologis perempuan dan laki-laki yang ajeg, akan
tetapi melainkan dari gagasan sosial yang mengalami fluktuatif dalam
kebudayaan.
*referensi: Rosemarie Putnam Tong. 2010. Feminist Thought:
Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis.
Yogyakarta: Jalasutra.
Komentar
Posting Komentar