Feminisme Psikoanalisis
Pembahasan feminisme Psikoanalisis
ini merupakan persoalan keempat dari paham (aliran) feminisme yang ada. Seperti
yang telah diketahui dan dipelajari secara seksama bahwa pada pertemuan
sebelumnya ada tiga paham (aliran) yang telah dibahas, yakni feminisme liberal,
feminisme radikal dan feminisme Marxisme dan sosialis.
Pada pembahasan
feminisme Psikoanalisis ini tentunya sangat khas dan identik dengan satu tokoh
yang kapabel dalam persoalan psikoanalisis sendiri, yakni Sigmund Freud.
Freud sendiri dalam pembahasannya yang identik tergolongkan pada kajian
psikologi berusaha mengeksplorasi bagaimana perkembangan psikis yang
dikorelasikan dengan kesadaran subjektivitas sejak bayi lahir, anak-anak,
remaja, dewasa hingga cara orang tua bertindak dalam mengasuh anak tersebut.
Begitu pula dengan
cara pandang feminisme yang berusaha meng-counter grand teori oleh tokoh
berikutnya atau murid dari Freud sendiri yang jauh melampui. Berusaha
menjelaskan bagaimana seks dan gender itu bekerja. Bagaimana patologis dan
determinisme yang terjadi antara laki-laki dan perempuan itu dikonstruk sejak
mereka masih anak-anak.
Dalam pandangan
Sigmund Freud, anak-anak merupakan sumber utama dalam memahami Psikoseksual,
yang pada tahapan berikutnya menentukan gender, baik maskulinitas atau pun
femininitas. Dan di sana dikatakan bahwa gender merupakan produk pedawasaan
seksual. Hal yang demikian dikemukan dengan jelas dalam karyanya yang berjudul
‘Three Contributions to The Theory of Sexuality’. Dalam karyanya
tersebut proses psikoseksual pun bermula dari fokus pembahasan seorang bayi.
Seorang bayi yang pada tahapan perkembangannya dikategorikan sebagai anak-anak.
Di mana pada tahapan seksual anak ini dikatakan seorang anak (baik laki-laki
atau pun perempuan) mengalami penyimpangan polimorfus, yang menjadikan semua
bagian dari organ tubuhnya sebagai ranah seksual, khususnya semua lubang-lubang
yang berada dalam tubuhnya. Namun pada tahap perkembangan berikutnya
penyimpangan seksual tersebut berubah menjadi seksual genital heteroseksual.
Untuk memperjelas
argumentasinya tersebut, Freud pun menerangkan bagaimana penyimpangan seksual
menuju heteroseksual yang terjadi pada anak tersebut dengan tahapan
bertambahnya usia. Pada tahapan pertama, freud mengemukakan bahwa anak mengalami
tahapan oral. Tahapan di mana anak-anak merasakan sensasi kenikmatan menyisap
payudara atau ibu jarinya sendiri. Kedua, anak-anak mengalami tahapan anal
(tepatnya pada usia 2-3 tahun). Di mana sang anak menikmati sensasi
pengendalian pengeluaran kotoran. Ketiga, anak-anak mengalami tahapan falik
(tepatnya pada usia 3-4 tahun). Pada tahapan ini anak menemukan potensi pada
genitalnya yang dipengaruhi oleh kedekatan kepada orang tuanya, hingga nantinya
muncul istilah Oedipus komplek dan kastrasi yang mengendalikan super ego dalam
persoalan kedudukan di keluarga. Kemudian pada usia enam tahun sampai
pra-pubertas, sang anak mengalami masa laten. Dan tahapan yang terakhir ialah
remaja, di mana dalam tahapan ini memasuki genital, yang kembali disertai dengan
adanya libido.
Dalam pandangan
feminisme psikoanalisis Freud pun ditemukan istilah sensitivitas yang pada
pembahasan berikutnya dipersoalkan oleh beberapa tokoh feminisme psikoanalisis
lain. Istilah tersebut yakni kecemburuan penis (penis envy). Di mana proses
kecemburuan penis ini ditimbulkan oleh peran ayah yang menguasai keluarga,
khususnya berperan penting dalam ranah seksual. Selain itu, dipengaruhi juga
oleh adanya fluktuatif dan kedekatan rasa cinta dan kasih sayang orang tua.
Namun dalam pandangan Freud lebih diarahkan pada peran seorang ibu yang menjadi
sumber utama bagi kehidupan seorang anak.
Adanya patologi dan deteminisme
antara anak laki-laki dan anak perempuan pun kian ketara. Anak laki-laki
sebagai subjek pemiliki penis pun nampak sangat diuntungkan, dianggap superior
mewarisi internalisasi nilai-nilai diri yang dimiliki oleh sang ayah. Sedangkan
anak perempuan yang memiliki klitoris (tidak memiliki penis) merasa jadi subjek
yang dirugikan, inferior terhadap anak laki-laki yang superior.
Secara detailnya, adanya kategori
superior bagi laki-laki dan inferior bagi perempuan telah dikonstruksi sejak
bayi hingga masa pra-pubertas. Hingga pada kelanjutannya, kedekatan anak (baik
psikis atau pun fisik/material) dengan sang ibu telah menjadi hasrat kenimatan
utama yang kemudian mengkristal menjadi jalinan rasa cinta dan keinginan untuk
memilikinya (baik secara psikis atau pun fisik/materialnya). Namun rasa cinta-kasih
sayang dan keinginan untuk memiliki sang ibu pun menjadi luluh-rapuh tatkala hadir
sosok ayah yang memiliki kuasa, otonomi dan penis. Dalam proses inilah istilah
Oedepus Kompleks dan Kastrasi muncul. Oedipus kompleks di sini diartikan
sebagai jalinan hasrat cinta-kasih sayang dan keinginan untuk memiliki sang ibu
dengan cara membunuh sang ayah. Sedangkan Kastrasi diartikan sebagai ketakutan
dan ketundukan sang anak terhadap kekuasaan dan pengaturan sang ayah.
Melalui Oedipus kompleks dan
kastrasi tersebut, perkembangan hasrat seksual anak dialihkan kepada objek yang
lain, tetapi dengan jenis kelamin yang sama. Namun disisi yang lain, adanya
tahapan Oedipus kompleks dan kastrasi tersebut bagi perempuan menyebabkan atau
menciderai perempuan dengan beberapa sifat. Yang diantaranya narsisisme,
kekosongan dan rasa malu.
Pandangan feminis psikoanalisis
Sigmund Freud tersebut mendapat kritikan yang tajam dari beberapa tokoh
feminis. Diantara tokoh-tokoh tersebut, pertama yaitu Betty Friedan. Ia
menolak mengenai determinisme biologis yang digagas oleh Freud. Dimana ia
mengakatan bahwa “Anatomi adalah Takdir”. Peran reproduksi identitas gender,
dan kecenderungan seksual perempuan ditentukan oleh ketidakadaan penis pada
perempuan. Sebagai solusinya Friedan pun menyodorkan istilah ‘vaginalisme’
sebagai akhir tujuan dari keseluruhan eksistensi kehidupan seksual perempuan.
Kedua, Sulamith
Firestone. Ia mengklaim bahwa pasivitas seksual perempuan bukanlah sebagai
suatu hal yang almiah. Melainkan semata-mata hasil sosial dari ketergantungan
fisik, ekonomi, emosional perempuan dan laki-laki. Menurut Firestone, terapis
neo-Freudian mendorong perempuan dan anak-anak untuk melawan, serta
menghapuskan tentang keluarga inti.
Sedangkan tokoh yang terakhir Kate
Millet, ia lebih memfokuskan kritikannya pada kecemburuan penis atau penis
envy yang digagas oleh Freud. Yang beranggapan bahwa konsep kecemberuan
terhadap penis merupakan contoh transparan egosentris laki-laki dalam merayakan
kekuatan perempuan untuk melahirkan seorang bayi.
Selain ketiga tokoh tersebut, ada
juga murid dari Freud sendiri yang berusaha menolak gagasan determinisme
biologis yang diusung Freud. Diantara tokoh tersebut, yang pertama ialah Alfred
Adler. Dalam pandangan Alfred, pada mulanya anak laki-laki dan anak
perempuan adalah sama-sama tidak berdaya. Tidak berdaya dari kekuatan sumber
utama, yakni ibu. Pengalaman infantil atas ketidakberdayaan dan inferioritas
merupakan sumber perjuangan seumur hidup melawan ketidakberdayaan yang sangat
besar. Superioritas bukanlah disebabkan oleh kepemilikan penis. Dan hal ini
berarti memberi kesempatan kepada diri kreatif untuk memberi pemaknaan baru
tentang takdir biologis. Biologi di sini berarti takdir yang membentuk diri
menjadi unik.
Selain demikian, Alfred juga
berkesimpulan bahwa selama sistem patriarki ada dan mendominasi. ‘Neurotik’
perempuan akan terus terus ada. Dalam artian ‘neurotik’ merupakan semata-mata
perempuan yang terhalangi oleh peran sistem patriarki dalam usaha mengatasi
perasaan ketidakberdayaannya tatkala
masa kecil.
Tokoh yang kedua yakni Karen
Horney. Dalam pandangan Horney inferiornya sosok perempuan merupakan bentuk
kesadaran akan subordinasi sosial yang terjadi di dalam kebudayaan masyarakat.
Anak perempuan yang dalam perkembangannya pernah mengalami kastrasi menyadari
bahwa ia tidak memiliki penis. Namun dengan tegas ia pun mengatakan bahwa itu
bukanlah sebagai respon atas persetujuannya terhadap kecacatan. Ketika
perempuan menginginkan diri sebagai yang maskulin di sana pun terkategorikan
sebagai subjek yang sakit (kompleks
maskulin). Jika seorang perempuan ingin
berperan sebagai penggerak dan pengguncang maka seorang perempuan pun harus
berjuang untuk keseimbangan di antara tiga karakter penarik. Tiga penarik
tersebut ialah penarik yang tidak menonjolkan diri, penarik yang menandakan
diri dan penarik yang ekspansif.
Selain itu, Horney pun
memproyeksikan perempuan sebagai diri ideal. Di mana perempuan sebagai diri
ideal ini merupakan sosok yang di dalam dirinya mencakup yang maskulin dan
feminin. Dan ketika perempuan memandang dirinya sebagai yang setara dengan laki-laki
diranah publik maka peran laki-laki diranah publik pun menjadi sangat kecil.
Clara Thompson pun hadir menjadi tokoh ketiga dalam persoalan menolak gagasan
determinisme biologis yang diusung Freud. Dalam padangannya Clara, perkembangan
manusia pada dasarnya menjadi tugas dalam pembentukan diri. Dalam proses
pembentukan diri maka gagasan kebudayaan sosial lingkunganlah yang berperan
dalam mendefinisikan siapa laki-laki dan perempuan. Dengan maskulinitas yang
dimilikinya, laki-laki berusaha mengendalikan diri di ranah publik dan
perempuan yang memiliki feminitas darus memposisikan diri di ranah domestik. Sehingga
adanya tindak operasi yang terjadi pada sosok perempuan, bukan bawaan yang
berasal dari fakta biologisnya, melainkan Framework kebudayaan patriarkilah
yang menyebabkannya.
Maka
kesimpulan dari persoalan yang digagas oleh Alfred, Horney dan Clara tersebut ialah
lebih memfokuskan pada bias maskulin dan dominasi laki-laki yang kemudian
memberikan solusi melalui analisis politis dan psikoanalisis atas bagaimana
situsi perempuan. Semua manusia individual memiliki kesempatan yang sama untuk
membentuk takdirnya secara kreatif dalam rangka menjadikan dirinya setara baik
itu laki-laki ataupun perempuan. Dan yang terakhir ialah identitas yang
berkembang secara unik dan berbeda pada setiap manusia merupakan hasil dari
persilangan antara alam dan kebudayaan.
Komentar
Posting Komentar