Langsung ke konten utama

Kontekstual Kemandirian dalam Keragaman


Manusia adalah makhluk sosial. Ya... betul demikian, makhluk yang tidak mampu mandiri dalam relasi memenuhi kompleksitas kebutuhannya. Entah itu kebutuhannya yang bersifat jasmaniah atau pun ruhaniah. Entah itu kebutuhannya yang terkategorikan personal polarisasi-kontinuitas atau pun komunitas makro-kompleksitas.
Bukankah manusia secara pribadi haruslah menyadari tentang adanya keberagaman dalam aspek realita kehidupan? Baik itu keragaman dalam aspek sosial, agama (spiritualitas), budaya dan lain sebagainya.
Adakalanya di saat-saat tertentu, intropeksi pun menjadi sesuatu hal penting yang mesti dilakukan dan diperhatikan. Dalam artian, berperan sebagai jalan untuk mencapai hal yang bersifat keposiitifan. Mencari tujuan lokus pasti, fokus-terarah dan terkendali. Tentu saja dalam rangka memahami diri sebagai subjek yang kapabel akan hadirnya kemungkinan-kemungkinan kompleksitas secara pribadi yang terus-menerus mebayang-bayangi. Sehingga dengan kehadirannya, manusia pun  tidak harus merasa termarjinalkan, saling menuding, menghujat, saling menjatuhkan hingga berakhir pada tindak anarki.
Mengambil suatu jalan keluar sebagai solusi pun menjadi judgement yang pasti. Menjadi hasrat general yang harus terpenuhi. Bukankah  dalam realitanya Tuhan pun berkehendak menciptakan keberagaman yang ada saat ini? Bukankah dalam kelanjutannya keberagaman pun menjadi sesuatu hal yang menimbulkan relasi estetika dalam realita kehidupan? Bak pelangi yang berparas ‘mejikuhibiniu’ (merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu), memberi rona dilangit biru yang telah tercipta.
Namun, pada realitanya apakah demikian? Setiap ciptaan-Nya yang bernafas mampu menerima perbedaan yang telah diciptakan? Jawaban sebagai respon dari pertanyaan tersebut pun tentunya beragam, tidak sekadar memilih jawaban ‘ya atau tidak’. Melainkan mengusung reason yang memahamkan dan memberi pencerahan. Entah itu reason yang bersifat teleologi, teologi, kosmologi, rasional dan lain sebagainya. Yang jelas tumpang tindih, simpang siur dan kontradiksi pun nampak mewarnai keberagaman yang terjadi. Seolah-olah bayangan hitam yang terus mengikut dengan badan materi asali. Sehingga tidak mengherankan jika polemik sikut-menyikut pun kian ketara terjadi. Saling meligitimasi kebenaran yang jelas dibuatnya untuk mengkukuhkan argumentasi sendiri.
Sebagai  bentuk penerimaan dari keberagaman tersebut, sikap toleransi dan pluralis pun menjadi jembatan yang mampu menaungi. Memberi angin segar yang tidak mengusik sana-sini, melainkan menumbuhkan rasa saling memiliki dalam setiap personal secara pribadi. Atau sebut saja kemadirian dalam menyadari adanya keberagaman yang telah terjadi. 
(Sumber: http://www.kompasiana.com/)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal