Persepsi
Kehadiran Bazzar
Sedikit aneh dan tidak biasa. Mungkin kata itulah yang dapat
mendeskripsikan keadaan area depan fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah
(selanjutnya disebut FUAD), kampus IAIN Tulungagung dalam beberapa hari
belakangan ini (yang lebih tepatnya tanggal 16-24 Maret 2016 ). Ya, ada yang
aneh dan tidak biasa dipandang mata memang. Dua terop telah standby, terkujur
kaku di tempat yang tidak biasa. Yang demikian pun sangatlah mudah memancing
prasangka saya. Menduga-duga, menebar tanya, mencari tahu sini-sana, gerangan
apa yang akan dilakukan selanjutnya.
Demikian asumsi saya dihari pertama, sebelum bazzar itu dibuka. Padahal
bila melek dan sadar akan informasi yang ada, pajangan banner besar yang
terpampang di depan gerbang utamapun sudah cukup jelas menyumpal tanya. Belum
lagi dibumbuhi dengan selembaran pamplet yang dipasang disetiap pojok
sini-sana. Hehe, ya ampun.
Bak pesulap profesional mancanegara, yang memiliki mantra ampuh
mengubah semua benda. Bim salabim ada kadabra, dengan sekejap area yang
biasanya dialokasikan untuk parkir kendaraan motorpun disulap menjadi lokasi
strategis bazzar buku. Tempat murah-meriah menjual, menjajakan beraneka macam
buku. Untuk sekadar infomasi saja, bazzar buku tersebut diadakan oleh organisasi
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang bekerja sama dengan penerbit Diva
press.
Dalam lindungan terop itupun sangatlah jelas, nampak tumpukan
buku-buku yang dijajakan, terkategorikan oleh obralan harga. Mulai dari buku
yang harganya lima belas rupiah, dua puluh lima ribu rupiah, tiga puluh lima
ribu rupiah dan buku-buku spesial yang harganya lumayan, hem... patut
diperhitungkan. Apalagi bagi alokasi keuangan teman-teman yang tinggal meratap
di kos-kosan. Maksudnya termasuk saya.
Selain itu, secara garis besar buku-buku yang dijajakan dibazzar
tersebutpun tidak hanya dikategorikan berdasarkan pada obralan harga. Melainkan
juga berdasarkan pada pembagiannya yang bersifat ilmiah dan non-ilmiah.
Pertama, buku yang bersifat ilmiah. Yang dimaksud ilmiah di sini,
bukan hanya berkaitan dengan penyusunannya yang bersifat sistematis dan menggunakan
bahasa baku. Akan tetapi dengan dalih adanya keterkaitan antara buku yang
dijajakan dengan pembahasan materi yang disampaikan dalam perkuliahan. Di
antaranya saja buku Muhammad Syahrur tentang Iman dan Islam, Seyyed Hossein
Nasr tentang Three Muslim Sages: Avicenna-Suhrawardi-Ibn’ Arabi, yang diterjemahkan
ke dalam bahasa indonesia menjadi “Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam”, karya
Rene Descartes tentang Discourse on Method yang diterjemahkan menjadi “Diskursus
& Metode”, Edi AH Iyubenu tentang “Berhala-berhala Wacana” dan buku-buku
lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu. Buku-buku ilmiah inilah
yang sebagian besar terkategorikan spesial, baik kualitas content
ataupun harga.
Kedua, buku yang bersifat non-ilmiah. Non-ilmiah di sini diartikan
sebagai buku yang pembahasannya ringan, tidak sistematis dalam penyusunannya
dan menggunakan bahasa sehari-hari yang campuran, tidak baku. Misalnya saja
novel, buku resep masakan, kiat-kiat mendapat jodoh sampai keluarga ideal, buku
fashion, buku diary laporan perjalanan dan lain sebagainya. Buku-buku inilah
yang paling banyak dijajakan dan memiliki kuantitas harga yang lumayan relatif
bersahabat. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa buku yang
kualitas content-nya tidak berbanding lurus dengan harga yang
disodorkan.
Sekilas pengamatan saya, hadirnya bazzar buku itupun setidaknya
menggenjot semangat minat bercengkara mesra dengan dunia literal. Khususnya,
dalam lingkup koleksi-mengoleksi buku dan melestarikan budaya membaca. Lebih
bersyukur lagi, jika kemesraan itupun berkelanjutan sampai menjadi pasangan
setia, sering berkencan. Sungguh luar biasa bukan? Kencan dengan setumpuk buku.
Ah, namun rasanya tidak begitu relevan, jauh dari kebenaran. Bila saya
hanya menerpa-nerpa, menduga-duga tanpa melirik fakta yang terjadi dilapangan.
Sehingga di sini pun saya masih penasaran tentang bagaimana presentase hasil
penjualan buku yang digemari oleh para pembeli. Apakah buku ilmiah lebih digemari?
Atau mungkin presentase penjualan buku non-ilmiah lebih unggul dibeli?. Hal
inilah yang mesti digali, dikuak menjadi informasi yang mendeskripsikan selera
baca para pembeli. Yang mungkin mampu menjadi sampel minat, ketertarikan
membaca mahasiswa-mahasiswi dilingkup kampus tercinta ini. Setidaknya respon informan yang berperan
sebagai penjaga bazzar pun mampu membungkam rasa penasaran ini. Ya, betul. Depth
interview-lah sebagai jalan keluar yang disodorkan.
Tidak hanya demikian, pencaplokan area parkir yang menjadi lokasi bazzar
pun menjadi problem yang layak untuk dipertanyakan.
Kenapa bazzar buku tersebut mengambil lokasi di depan gedung FUAD? Persisnya di
area parkir dekat dengan gedung UPB (Unit Pengembangan Bahasa). Bukan kah
lapangan kampus masih terbuka lebar? Ya, terbuka lebar dan bahkan lebih
strategis tanpa mengganggu aktivitas lalu-lalang kendaraan bermotor. Tapi entahlah, entah alasan logis apa yang
mendasari pengambilan lokasi bazzar buku tersebut. Dan di sini pun Depth
interview sangatlah dibutuhkan. Guna memangkas semua prasangka kecurigaan.
Secara sadar memang haruslah diakui bahwa hadirnya bazzar buku
tersebut memiliki dua sisi yang kontra diksi saling melengkapi. Di satu sisi
berdampak positif bagi kalangan akademisi dan mahasiswa. Di mana keberadaan
bazzar buku tersebut sangatlah membantu dalam menunjang materi perkuliahan dan
ikut serta melestarikan budaya membaca. Selain itu juga, setidaknya mampu
menghemat biaya, mengefisiensi waktu dan kesempatan. Sehingga tidak perlu
mebuang-buang waktu dan melancong sini-sana demi mencari referensi yang akurat.
Sedangkan di sisi yang lain berdampak negatif disatu pihak. Di mana pihak yang
dimaksudkan di sini ialah mahasiswa. Yang lebih tepatnya lagi mahasiswa yang
memiliki kendaraan bermotor. Kenapa demikian? Hal ini disebabkan karena
beberapa meter area alokasi untuk parkir kendaraan bermotor, telah diambil alih
oleh lokasi stand bazzar buku tersebut. Selain itu, keadaan yang demikianpun turut
mempersempit jalur lalu-lalang jalan keluar masuk kendaraan. Sehingga penataan
parkir kendaraan yang teratur dan sistem satu jalur keluar masuk area parkirpun
menjadi solusi yang ditawarkan. Meskipun pada realitanya tidak semua mahasiswa
yang memiliki kendaraan bermotor merasakan hal yang demikian. Komplain terhadap
keadaan yang sedang terjadi demikian.
Komentar
Posting Komentar