Riuh kerisauan telah sirna dalam
kedamaian. Kesunyian. Tenang dalam
belaian ag (angin gelebug) yang alami. Tenang dalam artian transparansi.
Faktual, natural dan asali dalam keajegan kondisi tanpa manipulasi.
(sumber : http://jepunbaliproperty.agenproperti.com/)
Lorong-lorong sempit pun telah
menguak beribu misteri. Mengupas realita kehidupan hakiki setiap insan yang
menjadi penghuni. Menjadi saksi buta yang tak perlu dibayar dengan kuantitas
materi. Apalagi sekadar dibayar dengan gaji buta hasil korupsi.
Deretan lorong pun ketara jelas
dalam form asali. Lorong yang tak butuh akan hadirnya para penghuni.
Yang gemar menghimpun janji tanpa satu pun terpenuhi, manipulasi tanpa memberi
solusi. Lorong yang hanya menuntut satu aksi, yakni meminta kewajibannya untuk
dibersihkan setiap hari.
Bak perawan yang menjadi kembang
desa. Senang bersolek, wangi dan mempesona. Ditambah lagi dengan lesung pipi
yang merekah dari senyuman manis yang
membahana. Tentunya dong, menjadi sosok idealitas yang diburu oleh setiap insan
yang berkamuflase serigala.
Lorong demi lorong pun seolah-olah
berlagak demikian. Meminta perhiasan yang berwujud perlengkapan, menginginkan
parfum yang menghadirkan kenyamanan dan memerlukan clening service yang
mengisyaratkan janji atas hadirnya perhatian. Namun sangat telaten, teliti
dalam memilah dan memilih, mengutamakan keperluan apa yang sekiranya penting
untuk dicukupkan.
Bak deretan jemuran pindang yang tak
bernyawa. Deretan malaikat pun kaku dalam ketenangannya, damai dan larut dalam
kesunyian mimpi yang sedang diukirnya. Menikmati mimpi indah yang menjadi
milikinya.
(Sumber : http://general-media.blogspot.co.id/2010/10/mana-yang-lebih-bagus-tidur-menghadap.html)
Dalam keadaan yang berbarengan,
pergerakkan pun seolah-olah berlagak pilon. Bergulirnya waktu, lebih lamban
dari gerak-geriknya seekor kura-kura tua yang bertongkat renta. Jam dinding pun
dengan mesra menggandeng si jarum kecil yang menjadi pasangan sejatinya.
Mendayup si jarum besar yang manja gemulai akan anggun pergerakkannya. Merayu
hasrat malas yang terus menggelaut untuk konsisten dalam menunjukkan waktu
sebagaimana mestinya.
Tatkala itu pun, waktu seolah-olah
bersekongkol, kompromi dan permisif dengan nikmatnya mimpi indah yang sedang
menjamah setiap diri insan yang terlelap dalam kekakuannya. Merongrong dan
menjerat diri setiap penghuni dari kewajiban yang belum tertunaikannya. Astagfirullah...,
ndang bangun rek!!! Wes jam satu punjul gung shalat dhuhur brow.
Komentar
Posting Komentar