Langsung ke konten utama

Tugas Filsafat Manusia

MAKALAH
 Filsafat Manusia Menurut Aristoteles
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“Filsafat Manusia”
Dosen Pengampu:
Dr. A. Rizqon Hamami, Lc., MA.

Disusun Oleh:
Roni Ramlan                  NIM. 2832133030

SEMESTER IV
JURUSAN FILSAFAT AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
 TULUNGAGUNG
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kehadirat Allah SWT. yang mana atas limpahan rahmat, nikmat, taufiq dan hidayah-Nya saya mampu menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.
Tidak lupa pula sholawat beserta salam semoga senantiasa tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita, yakni Nabi Besar Muhammad SAW. Nabi yang telah menuntun kita ke jalan yang benar yakni Agama Islam.
Sebagai rasa hormat atas bantuan dan bimbingan serta dorongan dari semua pihak, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Maftukhin, M.Ag selaku Rektor IAIN Tulungagung.
2. Bapak Dr. A. Rizqon Hamami, Lc., MA. selaku Dosen pembimbing mata kuliah “Filsafat Manusia”.
3. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya tugas makalah ini.
Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala amal kebaikan mereka semua dan senantiasa memberikan limpahan berkah-Nya atas mereka.
Saya sebagai manusia biasa menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan sarannya yang membangun, demi kesempurnaan makalah ini dan penyusunan makalah berikutnya.
Akhir kata, saya selaku penyusun berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, Amiin..

Tulungagung,  April 2015

                                Penyusun


DAFTAR ISI
 HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
B.      Rumusan Masalah
C.      Tujuan Pembahasan                                            
BAB II PEMBAHASAN
A.      Biografi Aristoteles
B.       Filsafat Tentang Manusia
C.       Perbedaan Antara Filsafat Manusia Aristoteles dengan Plato
BAB III PENUTUP
A.      Kesimpulan
B.       Saran
              DAFTAR PUSTAKA 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebelum manusia sadar tentang dirinya, manusia hanya  memperhatikan semua wujud yang ada disekitarnya, yakni semua wujud materi yang dapat  ditangkap oleh panca indranya. Secara bertahap cara berpikir (paradigma pemikiran) mausia mulai meningkat. Apabila yang menjadi objek pertama dari pemikirannya (berfilsafatnya) ialah mengenai bentuk dunia (bumi) yang dipelopori oleh beberapa filosof seperi Phytagoras, Herakleitus, Permenides, Empedokles, Anaxagoras, Kaum Atomis sampai pada sokrates,  maka yang menjadi objek pemikiran selanjutnya ialah sesuatu yang lebih ril dan nampak yang ada dan melekat pada diri manusia itu sendiri, yakni Hakikat manusia.
Ketika manusia menjadi objek berfilsafat para filosof, yang menjadi pokok permasalahan ialah Hakikat dari manusia. Baik itu tentang suatu persoalan yang sangat mendasar tentang manusia hingga suatu persoalan yang sungkar dalam diri manusia. Seorang filosof awal yang mempelopori filsafat manusia adalah plato, kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya yakni Aristoteles sampai kepada tokoh filosof berikut.
Apabila pada makalah sebelumnya membahas mengenai bagaimana filsafat Plato tentang manusia maka pada makalah saya ini akan sedikit membahas mengenai bagaimana filsafat manusia menurut tokoh berikutnya yakni Aristoteles. 
Seperti yang telah diketahui bersama bahwa Aristoteles merupakan salah seorang murid Plato, yang tentu dalam berfilsafat kurang lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran gurunya sendiri (Plato). Dengan demikian yang menjadi permasalahan yang mendasar ialah sesungguhnya apa yang menjadi pembeda antara filsafat manusia Aristoteles dengan guruya Plato. Untuk lebih jelasnya mari kita simak dengan fokus mengenai pembahasan filsafat manusia Aristoteles.
B.     Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah  dipaparkan di atas maka menjadi tolak ukur bagi saya untuk membuat rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini, sehingga rumusan masalah yang akan diangkat dalam pembahasan sebagai berikut:
1.        Siapakah Aristoteles?
2.        Bagaimana Filsafat Aristoteles tentang Manusia?
3.        Apa perbedaan antara filsafat manusia Aristoteles dengan Plato?

C.    Tujuan Pembahasan
Mengacu pada rumusan masalah yang telah saya buat di atas maka yang menjadi tujuan, di antaranya:
1.        Untuk mengetahui siapakah Aristoteles
2.        Untuk mengetahui bagaimana filsafat Aristoteles tentang manusia
3.        Untuk mengetahui perbedaan antara filsafat manusia Aristoteles dengan Plato



BAB II
PEMBAHASAN
A.       Biografi
Aristoteles dilahirkan di kota Stageira, Macedonia Yunani Utara pada tahu 384 SM. Ayahnya adalah seorang ahli fisikawan yang masyhur. Saat Aristoteles berusia 17 atau 18 tahun ia memutuskan untuk belajar di Akademia Plato, tepatnya di Athena. Aristoteles menetap di Akademia selama dua puluh tahun hingga sang guru (Plato) meninggal dunia pada tahun 348/7 SM. Selama berada dalam kontrol dan asuhan Plato, Aristoteles  mendapatkan pengaruh yang besar dalam perkembangan pemikirannya terutama dalam menaruh minat yang besar dalam hal spekulasi filosofis.
 Tidak lama kemudian setelah gurunya wafat, Aristoteles meninggalkan Athena bersama dengan murid Plato yang lain yang bernama Xenokrates. Pertama mereka berangkat ke Assos di pesisir Asia kecil, yang bertepatan pada waktu itu Hermeias sebagai penguasa negara. Hermeias merupakan seorang bekas murid Akademia dan atas permintaan Plato telah mengirim dua orang murid, yakni Erastos dan Koriskos. Di Assos ini Aristoteles menikah dengan Pythias (seorang kemenakan dan anak angkat Hermeias). Pernikahannya Aristoteles dengan Pythias ini menghasilkan seorang anak perempuan. Kemudian Aristoteles menikah lagi dengan Herpyllis dan dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Nikomakhos.
Pada tahun 342 SM. akhirnya Aristoteles memutuskan untuk kembali ke Macedonia. Selama di Macedonia Aristoteles untuk beberapa tahun berprofesi sebagai guru private dari anak seorang raja yang berumur tiga belas tahun, yang dikenal dengan nama Alexander Yang Agung. Hingga pada tahun 335 SM. Alexander naik tahta menggantikan sang ayah dan Aristotelespun memutuskan untuk kembali ke Athena serta membuka sebuah akademia yang diberinama Lyceum. Selama Aristoteles meminpin Lyceum pemikiran (filsafatnya) berkembang secara signifikan sehingga ia mampu menghasilkan sejumlah karya, di antara karyanya itu ialah termasuk enam karya tulisnya yang membahas tentang Logika, sebuah karya yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Selain itu Aristoteles juag banyak menulis tentang etika dan metafisika, psikologi, ekonomi, teologi, politik, retorika, keindahan (seni), pendidikan, puisi, adat-istiadat orang terbelakang, serta  konstitusi Athena.[1]
Tidak lama dari itu pada tahun 323 SM. Alexander Agung meninggal. Dengan meninggalnya Alexander Agung, Aristotelespun dituduh sebagai biang kerok dari semua kejadian tersebut, yang akhirnya Aristoteles melarikan diri ke kampung halaman ibunya yakni Khalkis. Akan tetapi pada tahun berikutnya Aristoteles jatuh sakit sampai meninggal di sana pada usia 62 atau 63 tahun.  
 Aristoteles merupakan seorang filosof yang berjasa dalam meletakan dasar-dasar sendi pemikiran rasionalis melalui ihwal logikanya. Alhasil  cara berpikir Arostoteles sangatlah berpengaruh bagi dunia. Hal ini bisa dilihat dari beberapa karyanya yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, diantaranya Latin, Arab, Italia, Prancis, Ibrani, Jerman, dan Inggris.
Selain itu pengaruh yang sangat nampak dari buah pemikirannya Aristoteles ialah terhadap filosof Islam dan karya-karyanya yang mendominasi cara berpikir orang barat selama berabad-abad. Misalnya salah seorang filosof Arab yang termasyhur yakni Ibnu Rusyd (averroes), mencoba menggabungkan merumuskan suatu perpaduan antara teologi Islam dan rsionalisme Aristoteles. Maimomides filosfof Yahudi abad pertengahan yang masyhur berhasil mencapai sintesis dengan Yudaisme. Thomas Aquinas, seorang filosof Nasrani yang berhasil dengan mengemukakan Summa Theologia, dan tokoh lainnya yang terpengaruh banyak oleh Aristoteles.[2]  


B.       Filsafat Tentang Manusia   
Pemikiran Aristoteles mengenai manusia, awalnya berangkat dari fondasi (titik dasar) yang sama dengan Plato, yakni berusaha mendefinisikan mengenai jiwa (Psyke). Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Plato bahwa jiwa sebagai prinsip hidup, sehingga segala sesuatu yang hidup pasti mempunyai jiwa, baik itu tumbuh-tumbuhan (flora), binatang (fauna) dan manusia. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam dialog Eudemos. Di dalam fragmen-fragmen yang masih ada tersebut menyatakan bahwa dalam dialog ini Aristoteles muda menganut ajaran mengenai pra-eksistensi jiwa dan berpendapat bahwa jiwa akan hidup terus sesudah kematian manusia. Hal yang demikian sama halnya dengan dualisme Plato.
Akan tetapi melalui karyanya yang lain yakni De anima, pemikiran Aristoteles nampak berbeda dengan pemikiran yang sebelumnya. Hal ini tidak lain menunjukkan tingkat kematangan berpikir Aristoteles dalam Psikologi. Inti dari karyanya ini ialah Aristoteles berasumsi bahwa antara jiwa dan badan dianggap sebagai dua aspek yang menyangkut satu substansi. Kedua aspek tersebut mempunyai korelasi satu sama lain yakni sebagai materi (matter) dan betuk (form). Seperti pada umumnya semua mahluk hidup (fisis) terdiri dari materi dan bentuk. Badan adalah materi sedangkan jiwa adalah bentuk nya. Antara materi dan bentuk masing-masing mempunyai peranan tersendiri sebagai potensi dan aktus. Badan (materi) di sini sebagai potensi sedangkan jiwa (bentuk) memiliki peran (berfungsi) sebagai aktus. Maka dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa jiwa yang didefinisikan oleh Aristoteles merupakan jiwa sebagai “aktus pertama dari suatu badan organis”. Aktus memiliki peran yang sangat fundamental (yang paling pokok) dalam menjadikan badan menjadi hidup.
Kemudian Aristoteles menegaskan bahwa potensi dan aktus memilki peranan penting dalam pengenalan idrawi. Dalam proses pengenalan idrawi tersebut kita akan menerima suatu bentuk benda tanpa materinya. Kemudian untuk lebih jelasnya Aristoteles menganalogikan kejadian tersebut dengan sepotong lilin yang dicap dengan sebuah materai. Lilin yang menerima bentuk materai saja, bukan materinya. Entah itu materai yang terdiri dari besi atau emas, entah dari bahan apapun juga pasti hasilnya tetap sama, lilin tersebut hanya menerima bentunya saja.[3] 
Hal itu berarti menurut Aristoteles semua benda mengandung kualitas tersendiri, seperti bunyi, warna dan lain sebagainya. Jadi secara umum harus diakui bahwa organ indra hanya menerima suatu bentuk, tidak boleh mempunyai kualitas itu sendiri (organ itu tidak boleh mempunyai kualitas itu sendiri secara aktual). Akan tetapi organ idra itu sendiri sudah mempunyai kualitas yang bersangkutan secara potensial.
Sehingga bila diringkas lagi inti sari dari penegnalan indrawi tersebut merupakan peralihan/perpindahan dari potensi ke aktus. Untuk lebih jelasnya Aristoteles menganalogikan sebagai berikut:
Menurut Aristoteles semua warna merupakan campuran dari dua warna yang berlawanan, yakni hitam dan putih. Demikian juga warna merah merupakan campuran putih dan hitam menurut proporsi tertentu. Kalau saya mengamati bunga merah, menurut Aristoteles dalam bunga merah itu terdapat campuran yang sama sebagaimana yang dihasilkan juga oleh mata saya. Mata saya seakan-akan menjadi merah. Tetapi mata saya tidak menjadi bunga.[4]
Kemudian selain itu Aristoteles juga mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kelebihan yang berbeda dengan makhluk yang lain, yakni dengan memilikinya nus (rasio atau akal). Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam buku III dari De anima. Jika panca indra membatasi diri dari satu aspek objek saja[5] maka berbeda halnya dengan rasio yang tidak terbatas pada satu aspek objek dalam artian objek rasio bersifat umum sehingga dapat menangkap  segala sesuatu  yang ada. Dalam hal ini berarti Aristoteles mengatakan bahwa rasio dapat menjadi segala sesuatu.
Dalam proses pengenalan rasional, rasio menerima suatu bentuk (jiwa) dari sesuatu. Bentuk yang dimaksud di sini bukanlah bentuk indrawi melainkan suatu bentuk intelektual (hakikat atau esensi dari suatu benda).
Mengenai hal ini Aristoteles mengategorikan rasio manusia menjadi dua fungsi. Pertama rasio pasif (intellectus possibilis), sebab rasio menerima esensi dari suatu benda yang konkret. Rasio juga harus melepaskan esensi dari bahan yang disajikan kepada panca indra. Misalnya dengan membandingkan banyak segitiga yang pernah kita lihat atau raba, berarti di sana rasio harus membentuk esensi segitiga. Kedua rasio aktif (intellectus agens), menampilkan esensi-esensi yang diterima oleh rasio pasif. Aristoteles mengatakan bahwa rasio aktif itu terpisah dan tidak tercampur, dalam artian bahwa rasio aktif adalah baka, sedangkan rasio pasif akan binasa bersama dengan kematian tubuh. Tentang rasio aktif ini ada beberapa tokoh yang berusaha menginterpretasikan, di antaranya Alexander dari Aphrodisiasi (pada abad ke 2- ke 3 sesudah masehi), beranggapan bahwa rasio aktif harus disamakan dengan rasio Allah. Kemudian Ibnu Rushd (averoes) (1126-1198), menurut Ibnu Rushd bahwa rasio pasif harus disamakan dengan rasio aktif, kedua rasio itu membentuk satu substansi rohani. Ia juga beranggapan bahwa rasio adalah milik bersama untuk seluruh umat manusia. Anggapan ini disebut “monopsikisme” (sama dengan ajaran mengenai satu jiwa).[6] 
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, selayaknya kita mampu menyimpulkan bahwa sesungguhnya dalam pemikiran Aristoteles ialah terbagi menjadi dua fase pemikiran yang berbeda. Pertama, pemikiran Aristoteles yang masih terpengaruh oleh ajaran Plato mengenai dualisme antara jiwa dan tubuh, serta ajaran pra-eksistensi jiwa. Kedua, pemikiran Aristoteles yang murni (sudah lepas dari ajaran Plato). Pemikiran murni dari Aristoteles ialah pandangan yang menjadikan tubuh dan jiwa sebagai dua aspek yang berasal dari satu substansi.
Pemikiran Aristoteles mengenai manusia, berikutnya dikorelasikan dengan filsafat etika. Dalam filsafat etika Aristoteles mengemukakan bahwa manusia merupakan mahluk yang dalam perbuatannya mempunyai tujuan tinggi dan selalu mencari sesuatu yang baik dalam hidupnya yakni kebahagiaan.[7] Dalam salah satu karya Aristoteles yakni Nicomachean Ethics memaparkan bahwa kebahagian merupakan aktivitas jiwa.[8] Selain itu Aristoteles juga mengkorelasikannya dengan ajaran tentang negara. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politikon, mahluk sosial, mahluk hidup yang membentuk masyarakat. Demi keberadaanya dan penyempurnaan dirinya diperlukan persekutuan dengan orang lain. Untuk itu dibutuhkan negara.[9]  

C.    Perbedaan Antara Filsafat Manusia Aristoteles dengan Plato
Perbedaan antara filsafat manusia Aristoteles dengan Plato ialah  terletak pada teori, Aristoteles menegaskan bahwa manusia merupakan terdiri dari dua aspek yakni materi dan bentuk yang berasal dari satu substansi. Aristoteles meposisikan jiwa sebagai bentuk, hal ini berarti berbeda dengan konsep dualisme Plato. Kemudian perbedaan berikutnya terletak pada konsep jiwa. Apabila dalam teori Plato terdapat konsep tentang kebakaan (kekekalan) jiwa sedangkan dalam teori Aristoteles tentang konsep jiwa, jiwa dianggap sebagai bentuk yang terarah kepada tubuh sebagai materi sehingga jiwa akan binasa bersamaan dengan kematian manusia. Ketidakbakaan jiwa ini juga berlaku bagi jiwa yang terdapat pada tumbuhan dan hewan.  

BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
1.    Biografi
Aristoteles dilahirkan di kota Stageira, Macedonia Yunani Utara pada tahu 384 SM. Aristoteles menetap di Akademia selama 20 tahun hingga sang guru (Plato) meninggal dunia pada tahun 348/7 SM. Sehingga Aristoteles  mendapatkan pengaruh yang besar dalam perkembangan pemikirannya terutama dalam menaruh minat yang besar dalam hal spekulasi filosofis. Aristoteles jatuh sakit sampai meninggal di Khalkis pada usia 62 atau 63 tahun (322 SM.).  
2.    Filsafat Manusia Aristoteles
Selayaknya kita mampu menyimpulkan bahwa sesungguhnya dalam filsafat manusia Aristoteles ialah terbagi menjadi dua fase pemikiran yang berbeda. Pertama, pemikiran Aristoteles yang masih terpengaruh oleh ajaran Plato mengenai dualisme antara jiwa dan tubuh, serta ajaran pra-eksistensi jiwa. Kedua, pemikiran Aristoteles yang murni (sudah lepas dari ajaran Plato).
3.   Perbedaan Antara Filsafat Manusia Aristoteles dengan Plato
Perbedaan antara filsafat manusia Aristoteles dengan Plato ialah  terletak pada teori tentang dua aspek yang berasal dari satu substansi, dan tentang konsep jiwa.

B.       Saran
Saya sebagai manusia biasa yang sedang belajar menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini saya juga merasa adanya kendala atas kurangnya buku referensi (rujukan) untuk menunjang kesempurnaan materi yang saya jelaskan, untuk itu saya menyarankan agar pihak kampus mampu menyediakan lebih lengkap lagi mengenai buku-buku yang sekiranya menunjang perkuliahan dan penguasaan materi.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K.. 1999.  Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius
Murtiningsih, Wahyu. 2012. Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, Jogjakarta: IRCIsoD
Russell, Bertarnd. 2002. Sejarah Filsafat Barat kaitannya dengan kondisi sosio-polotik dari zaman kuno sampai sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar




[1]Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Jogjakarta: IRCIsoD, 2012), hlm. 55-56
[2]Ibid, hal ini sebagaimana yang terdapat pada halaman 56-57
[3]K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 181
[4]Ibid,
[5]Misalnya dengan melalui penglihatan kita hanya melihat warna. Dengan melalui pendengaran kita hanya mendengar bunyi, mustahil dengan melalui pendengaran kita melihat bunyi dan mendengar warna. Demikianlah yang dimaksud dengan panca indra membatasi diri dari satu aspek objek.
[6]Hal yang demikian sebagaimana yang dipaparkan dalam buku K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 182-184
[7]Pembahasan mengenai ini lebih jelasnya terdapat dalam buku, K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,... hlm. 192-195. Hal yang sama juga dipaparkan dalam buku Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 52  
[8]Sebagaimana yang diterangkan  dalam buku terjemahan Bertarnd Russell, Sejarah Filsafat Barat kaitannya dengan kondisi sosio-polotik dari zaman kuno sampai sekarang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 234
[9]Ibid, Harun Hadiwijono, hlm. 53

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal