MAKALAH
Filsafat Manusia Menurut Aristoteles
Diajukan Untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“Filsafat
Manusia”
Dosen Pengampu:
Dr.
A. Rizqon Hamami, Lc., MA.
Disusun Oleh:
Roni Ramlan NIM.
2832133030
SEMESTER IV
JURUSAN FILSAFAT AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
TULUNGAGUNG
2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur saya haturkan kehadirat Allah SWT. yang mana atas limpahan rahmat,
nikmat, taufiq dan hidayah-Nya saya mampu menyelesaikan tugas makalah ini tepat
pada waktunya.
Tidak lupa
pula sholawat beserta salam semoga senantiasa tetap tercurah limpahkan kepada
junjungan kita, yakni Nabi Besar Muhammad SAW. Nabi yang telah menuntun kita ke
jalan yang benar yakni Agama Islam.
Sebagai rasa hormat atas bantuan dan
bimbingan serta dorongan dari semua pihak, saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak
Dr. Maftukhin, M.Ag selaku Rektor IAIN Tulungagung.
2. Bapak Dr. A. Rizqon Hamami, Lc., MA. selaku Dosen pembimbing mata kuliah “Filsafat
Manusia”.
3. Semua
pihak yang telah membantu terselesaikannya tugas makalah ini.
Semoga
Allah SWT senantiasa membalas segala amal kebaikan mereka semua dan senantiasa
memberikan limpahan berkah-Nya atas mereka.
Saya
sebagai manusia biasa menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan
sarannya yang membangun, demi kesempurnaan makalah ini dan penyusunan makalah
berikutnya.
Akhir kata, saya selaku penyusun
berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, Amiin..
Tulungagung, April 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
Pembahasan
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Biografi Aristoteles
B.
Filsafat Tentang Manusia
C.
Perbedaan Antara Filsafat Manusia Aristoteles dengan
Plato
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebelum manusia sadar tentang dirinya, manusia hanya memperhatikan semua wujud yang ada
disekitarnya, yakni semua wujud materi yang dapat ditangkap oleh panca indranya. Secara bertahap
cara berpikir (paradigma pemikiran) mausia mulai meningkat. Apabila yang
menjadi objek pertama dari pemikirannya (berfilsafatnya) ialah mengenai bentuk
dunia (bumi) yang dipelopori oleh beberapa filosof seperi Phytagoras,
Herakleitus, Permenides, Empedokles, Anaxagoras, Kaum Atomis sampai pada
sokrates, maka yang menjadi objek
pemikiran selanjutnya ialah sesuatu yang lebih ril dan nampak yang ada dan
melekat pada diri manusia itu sendiri, yakni Hakikat manusia.
Ketika manusia menjadi objek berfilsafat para filosof, yang menjadi
pokok permasalahan ialah Hakikat dari manusia. Baik itu tentang suatu persoalan
yang sangat mendasar tentang manusia hingga suatu persoalan yang sungkar dalam
diri manusia. Seorang filosof awal yang mempelopori filsafat manusia adalah
plato, kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya yakni Aristoteles
sampai kepada tokoh filosof berikut.
Apabila pada makalah sebelumnya membahas mengenai bagaimana
filsafat Plato tentang manusia maka pada makalah saya ini akan sedikit membahas
mengenai bagaimana filsafat manusia menurut tokoh berikutnya yakni Aristoteles.
Seperti yang telah diketahui bersama bahwa Aristoteles merupakan
salah seorang murid Plato, yang tentu dalam berfilsafat kurang lebih banyak
dipengaruhi oleh pemikiran gurunya sendiri (Plato). Dengan demikian yang
menjadi permasalahan yang mendasar ialah sesungguhnya apa yang menjadi pembeda
antara filsafat manusia Aristoteles dengan guruya Plato. Untuk lebih jelasnya
mari kita simak dengan fokus mengenai pembahasan filsafat manusia Aristoteles.
B.
Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka menjadi tolak ukur
bagi saya untuk membuat rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini, sehingga
rumusan masalah yang akan diangkat dalam pembahasan sebagai berikut:
1.
Siapakah Aristoteles?
2.
Bagaimana Filsafat Aristoteles tentang Manusia?
3.
Apa perbedaan antara filsafat manusia Aristoteles dengan Plato?
C.
Tujuan Pembahasan
Mengacu pada rumusan masalah yang telah saya buat di atas maka yang
menjadi tujuan, di antaranya:
1.
Untuk mengetahui siapakah Aristoteles
2.
Untuk mengetahui bagaimana filsafat Aristoteles tentang manusia
3.
Untuk mengetahui perbedaan antara filsafat manusia Aristoteles
dengan Plato
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Aristoteles
dilahirkan di kota Stageira, Macedonia Yunani Utara pada tahu 384 SM. Ayahnya
adalah seorang ahli fisikawan yang masyhur. Saat Aristoteles berusia 17 atau 18
tahun ia memutuskan untuk belajar di Akademia Plato, tepatnya di Athena.
Aristoteles menetap di Akademia selama dua puluh tahun hingga sang guru (Plato)
meninggal dunia pada tahun 348/7 SM. Selama berada dalam kontrol dan asuhan
Plato, Aristoteles mendapatkan pengaruh
yang besar dalam perkembangan pemikirannya terutama dalam menaruh minat yang
besar dalam hal spekulasi filosofis.
Tidak lama kemudian setelah gurunya wafat,
Aristoteles meninggalkan Athena bersama dengan murid Plato yang lain yang
bernama Xenokrates. Pertama mereka berangkat ke Assos di pesisir Asia kecil,
yang bertepatan pada waktu itu Hermeias sebagai penguasa negara. Hermeias
merupakan seorang bekas murid Akademia dan atas permintaan Plato telah mengirim
dua orang murid, yakni Erastos dan Koriskos. Di Assos ini Aristoteles menikah
dengan Pythias (seorang kemenakan dan anak angkat Hermeias). Pernikahannya
Aristoteles dengan Pythias ini menghasilkan seorang anak perempuan. Kemudian
Aristoteles menikah lagi dengan Herpyllis dan dikaruniai seorang anak laki-laki
yang bernama Nikomakhos.
Pada tahun 342
SM. akhirnya Aristoteles memutuskan untuk kembali ke Macedonia. Selama di
Macedonia Aristoteles untuk beberapa tahun berprofesi sebagai guru private dari
anak seorang raja yang berumur tiga belas tahun, yang dikenal dengan nama
Alexander Yang Agung. Hingga pada tahun 335 SM. Alexander naik tahta
menggantikan sang ayah dan Aristotelespun memutuskan untuk kembali ke Athena
serta membuka sebuah akademia yang diberinama Lyceum. Selama Aristoteles
meminpin Lyceum pemikiran (filsafatnya) berkembang secara signifikan sehingga
ia mampu menghasilkan sejumlah karya, di antara karyanya itu ialah termasuk
enam karya tulisnya yang membahas tentang Logika, sebuah karya yang sangat
penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Selain itu Aristoteles juag banyak
menulis tentang etika dan metafisika, psikologi, ekonomi, teologi, politik,
retorika, keindahan (seni), pendidikan, puisi, adat-istiadat orang terbelakang,
serta konstitusi Athena.[1]
Tidak lama dari
itu pada tahun 323 SM. Alexander Agung meninggal. Dengan meninggalnya Alexander
Agung, Aristotelespun dituduh sebagai biang kerok dari semua kejadian tersebut,
yang akhirnya Aristoteles melarikan diri ke kampung halaman ibunya yakni
Khalkis. Akan tetapi pada tahun berikutnya Aristoteles jatuh sakit sampai meninggal
di sana pada usia 62 atau 63 tahun.
Aristoteles merupakan seorang filosof yang
berjasa dalam meletakan dasar-dasar sendi pemikiran rasionalis melalui ihwal
logikanya. Alhasil cara berpikir
Arostoteles sangatlah berpengaruh bagi dunia. Hal ini bisa dilihat dari
beberapa karyanya yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, diantaranya
Latin, Arab, Italia, Prancis, Ibrani, Jerman, dan Inggris.
Selain itu
pengaruh yang sangat nampak dari buah pemikirannya Aristoteles ialah terhadap
filosof Islam dan karya-karyanya yang mendominasi cara berpikir orang barat
selama berabad-abad. Misalnya salah seorang filosof Arab yang termasyhur yakni
Ibnu Rusyd (averroes), mencoba menggabungkan merumuskan suatu perpaduan antara
teologi Islam dan rsionalisme Aristoteles. Maimomides filosfof Yahudi abad
pertengahan yang masyhur berhasil mencapai sintesis dengan Yudaisme. Thomas
Aquinas, seorang filosof Nasrani yang berhasil dengan mengemukakan Summa
Theologia, dan tokoh lainnya yang terpengaruh banyak oleh Aristoteles.[2]
B.
Filsafat Tentang Manusia
Pemikiran Aristoteles mengenai manusia, awalnya berangkat dari
fondasi (titik dasar) yang sama dengan Plato, yakni berusaha mendefinisikan
mengenai jiwa (Psyke). Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Plato
bahwa jiwa sebagai prinsip hidup, sehingga segala sesuatu yang hidup pasti
mempunyai jiwa, baik itu tumbuh-tumbuhan (flora), binatang (fauna) dan manusia.
Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam dialog Eudemos. Di dalam
fragmen-fragmen yang masih ada tersebut menyatakan bahwa dalam dialog ini
Aristoteles muda menganut ajaran mengenai pra-eksistensi jiwa dan berpendapat
bahwa jiwa akan hidup terus sesudah kematian manusia. Hal yang demikian sama
halnya dengan dualisme Plato.
Akan tetapi melalui karyanya yang lain yakni De anima,
pemikiran Aristoteles nampak berbeda dengan pemikiran yang sebelumnya. Hal ini
tidak lain menunjukkan tingkat kematangan berpikir Aristoteles dalam Psikologi.
Inti dari karyanya ini ialah Aristoteles berasumsi bahwa antara jiwa dan badan
dianggap sebagai dua aspek yang menyangkut satu substansi. Kedua aspek tersebut
mempunyai korelasi satu sama lain yakni sebagai materi (matter) dan
betuk (form). Seperti pada umumnya semua mahluk hidup (fisis)
terdiri dari materi dan bentuk. Badan adalah materi sedangkan jiwa adalah
bentuk nya. Antara materi dan bentuk masing-masing mempunyai peranan tersendiri
sebagai potensi dan aktus. Badan (materi) di sini sebagai potensi sedangkan
jiwa (bentuk) memiliki peran (berfungsi) sebagai aktus. Maka dari uraian
tersebut dapat diketahui bahwa jiwa yang didefinisikan oleh Aristoteles
merupakan jiwa sebagai “aktus pertama dari suatu badan organis”. Aktus memiliki
peran yang sangat fundamental (yang paling pokok) dalam menjadikan badan
menjadi hidup.
Kemudian Aristoteles menegaskan bahwa potensi dan aktus memilki
peranan penting dalam pengenalan idrawi. Dalam proses pengenalan idrawi
tersebut kita akan menerima suatu bentuk benda tanpa materinya. Kemudian untuk
lebih jelasnya Aristoteles menganalogikan kejadian tersebut dengan sepotong
lilin yang dicap dengan sebuah materai. Lilin yang menerima bentuk materai
saja, bukan materinya. Entah itu materai yang terdiri dari besi atau emas,
entah dari bahan apapun juga pasti hasilnya tetap sama, lilin tersebut hanya
menerima bentunya saja.[3]
Hal itu berarti menurut Aristoteles semua benda mengandung kualitas
tersendiri, seperti bunyi, warna dan lain sebagainya. Jadi secara umum harus
diakui bahwa organ indra hanya menerima suatu bentuk, tidak boleh mempunyai
kualitas itu sendiri (organ itu tidak boleh mempunyai kualitas itu sendiri
secara aktual). Akan tetapi organ idra itu sendiri sudah mempunyai kualitas
yang bersangkutan secara potensial.
Sehingga bila diringkas lagi inti sari dari penegnalan indrawi
tersebut merupakan peralihan/perpindahan dari potensi ke aktus. Untuk lebih
jelasnya Aristoteles menganalogikan sebagai berikut:
Menurut Aristoteles semua warna merupakan campuran dari dua warna
yang berlawanan, yakni hitam dan putih. Demikian juga warna merah merupakan
campuran putih dan hitam menurut proporsi tertentu. Kalau saya mengamati bunga
merah, menurut Aristoteles dalam bunga merah itu terdapat campuran yang sama
sebagaimana yang dihasilkan juga oleh mata saya. Mata saya seakan-akan menjadi
merah. Tetapi mata saya tidak menjadi bunga.[4]
Kemudian selain itu Aristoteles juga mengungkapkan bahwa manusia
mempunyai kelebihan yang berbeda dengan makhluk yang lain, yakni dengan
memilikinya nus (rasio atau akal). Hal ini sebagaimana yang terdapat
dalam buku III dari De anima. Jika panca indra membatasi diri dari satu
aspek objek saja[5]
maka berbeda halnya dengan rasio yang tidak terbatas pada satu aspek objek
dalam artian objek rasio bersifat umum sehingga dapat menangkap segala sesuatu yang ada. Dalam hal ini berarti Aristoteles
mengatakan bahwa rasio dapat menjadi segala sesuatu.
Dalam proses pengenalan rasional, rasio menerima suatu bentuk
(jiwa) dari sesuatu. Bentuk yang dimaksud di sini bukanlah bentuk indrawi
melainkan suatu bentuk intelektual (hakikat atau esensi dari suatu benda).
Mengenai hal ini Aristoteles mengategorikan rasio manusia menjadi
dua fungsi. Pertama rasio pasif (intellectus possibilis), sebab rasio menerima
esensi dari suatu benda yang konkret. Rasio juga harus melepaskan esensi dari
bahan yang disajikan kepada panca indra. Misalnya dengan membandingkan banyak
segitiga yang pernah kita lihat atau raba, berarti di sana rasio harus
membentuk esensi segitiga. Kedua rasio aktif (intellectus agens), menampilkan esensi-esensi
yang diterima oleh rasio pasif. Aristoteles mengatakan bahwa rasio aktif itu
terpisah dan tidak tercampur, dalam artian bahwa rasio aktif adalah baka,
sedangkan rasio pasif akan binasa bersama dengan kematian tubuh. Tentang rasio
aktif ini ada beberapa tokoh yang berusaha menginterpretasikan, di antaranya
Alexander dari Aphrodisiasi (pada abad ke 2- ke 3 sesudah masehi), beranggapan
bahwa rasio aktif harus disamakan dengan rasio Allah. Kemudian Ibnu Rushd
(averoes) (1126-1198), menurut Ibnu Rushd bahwa rasio pasif harus disamakan
dengan rasio aktif, kedua rasio itu membentuk satu substansi rohani. Ia juga
beranggapan bahwa rasio adalah milik bersama untuk seluruh umat manusia.
Anggapan ini disebut “monopsikisme” (sama dengan ajaran mengenai satu jiwa).[6]
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, selayaknya kita mampu
menyimpulkan bahwa sesungguhnya dalam pemikiran Aristoteles ialah terbagi
menjadi dua fase pemikiran yang berbeda. Pertama, pemikiran Aristoteles yang
masih terpengaruh oleh ajaran Plato mengenai dualisme antara jiwa dan tubuh,
serta ajaran pra-eksistensi jiwa. Kedua, pemikiran Aristoteles yang murni
(sudah lepas dari ajaran Plato). Pemikiran murni dari Aristoteles ialah
pandangan yang menjadikan tubuh dan jiwa sebagai dua aspek yang berasal dari
satu substansi.
Pemikiran Aristoteles mengenai manusia, berikutnya dikorelasikan
dengan filsafat etika. Dalam filsafat etika Aristoteles mengemukakan bahwa
manusia merupakan mahluk yang dalam perbuatannya mempunyai tujuan tinggi dan
selalu mencari sesuatu yang baik dalam hidupnya yakni kebahagiaan.[7] Dalam salah satu karya
Aristoteles yakni Nicomachean Ethics memaparkan bahwa kebahagian
merupakan aktivitas jiwa.[8] Selain itu Aristoteles
juga mengkorelasikannya dengan ajaran tentang negara. Menurut Aristoteles
manusia adalah zoon politikon, mahluk sosial, mahluk hidup yang membentuk
masyarakat. Demi keberadaanya dan penyempurnaan dirinya diperlukan persekutuan
dengan orang lain. Untuk itu dibutuhkan negara.[9]
C.
Perbedaan Antara Filsafat Manusia Aristoteles dengan Plato
Perbedaan antara filsafat manusia Aristoteles dengan Plato
ialah terletak pada teori, Aristoteles
menegaskan bahwa manusia merupakan terdiri dari dua aspek yakni materi dan
bentuk yang berasal dari satu substansi. Aristoteles meposisikan jiwa sebagai
bentuk, hal ini berarti berbeda dengan konsep dualisme Plato. Kemudian
perbedaan berikutnya terletak pada konsep jiwa. Apabila dalam teori Plato
terdapat konsep tentang kebakaan (kekekalan) jiwa sedangkan dalam teori
Aristoteles tentang konsep jiwa, jiwa dianggap sebagai bentuk yang terarah
kepada tubuh sebagai materi sehingga jiwa akan binasa bersamaan dengan kematian
manusia. Ketidakbakaan jiwa ini juga berlaku bagi jiwa yang terdapat pada
tumbuhan dan hewan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Biografi
Aristoteles dilahirkan di kota Stageira, Macedonia Yunani Utara
pada tahu 384 SM. Aristoteles menetap di Akademia selama 20 tahun hingga sang
guru (Plato) meninggal dunia pada tahun 348/7 SM. Sehingga Aristoteles mendapatkan pengaruh yang besar dalam
perkembangan pemikirannya terutama dalam menaruh minat yang besar dalam hal
spekulasi filosofis. Aristoteles jatuh sakit sampai meninggal di Khalkis pada
usia 62 atau 63 tahun (322 SM.).
2.
Filsafat Manusia Aristoteles
Selayaknya kita mampu menyimpulkan bahwa sesungguhnya dalam
filsafat manusia Aristoteles ialah terbagi menjadi dua fase pemikiran yang
berbeda. Pertama, pemikiran Aristoteles yang masih terpengaruh oleh ajaran
Plato mengenai dualisme antara jiwa dan tubuh, serta ajaran pra-eksistensi
jiwa. Kedua, pemikiran Aristoteles yang murni (sudah lepas dari ajaran Plato).
3.
Perbedaan Antara Filsafat Manusia Aristoteles dengan Plato
Perbedaan antara filsafat manusia Aristoteles dengan Plato
ialah terletak pada teori tentang dua
aspek yang berasal dari satu substansi, dan tentang konsep jiwa.
B.
Saran
Saya sebagai
manusia biasa yang sedang belajar menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Dalam penyusunan
makalah ini saya juga merasa adanya kendala atas kurangnya buku referensi
(rujukan) untuk menunjang kesempurnaan materi yang saya jelaskan, untuk itu
saya menyarankan agar pihak kampus mampu menyediakan lebih lengkap lagi
mengenai buku-buku yang sekiranya menunjang perkuliahan dan penguasaan materi.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens,
K.. 1999. Sejarah Filsafat Yunani.
Yogyakarta: Kanisius
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1.
Yogyakarta: Kanisius
Murtiningsih, Wahyu. 2012. Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu
Bajjah, Jogjakarta: IRCIsoD
Russell, Bertarnd. 2002. Sejarah Filsafat Barat kaitannya dengan
kondisi sosio-polotik dari zaman kuno sampai sekarang. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
[1]Wahyu
Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Jogjakarta:
IRCIsoD, 2012), hlm. 55-56
[3]K. Bertens, Sejarah
Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 181
[5]Misalnya dengan
melalui penglihatan kita hanya melihat warna. Dengan melalui pendengaran kita
hanya mendengar bunyi, mustahil dengan melalui pendengaran kita melihat bunyi
dan mendengar warna. Demikianlah yang dimaksud dengan panca indra membatasi
diri dari satu aspek objek.
[6]Hal yang
demikian sebagaimana yang dipaparkan dalam buku K. Bertens, Sejarah Filsafat
Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 182-184
[7]Pembahasan
mengenai ini lebih jelasnya terdapat dalam buku, K. Bertens, Sejarah
Filsafat Yunani,... hlm. 192-195. Hal yang sama juga dipaparkan dalam buku Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1980),
hlm. 52
[8]Sebagaimana
yang diterangkan dalam buku terjemahan
Bertarnd Russell, Sejarah Filsafat Barat kaitannya dengan kondisi
sosio-polotik dari zaman kuno sampai sekarang, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hlm. 234
Komentar
Posting Komentar