Langsung ke konten utama

Edisi Setor Judul

Pertemuan ke 7
Dalam pertemuan kali ini sebagaimana yang telah ditugaskan pada pertemuan minggu lalu, yakni setiap individu menyetorkan judul dan latar belakang untuk proposal penelitian kualitatif.
Pak dosen mulai memasuki ruang perkuliahan dengan membawa beberapa buku ditangan kanannya, beliau langsung duduk dikursi yang biasa digunakan untuk presentasi, bukan dikursi yang biasa ditempati oleh dosen. Setelah itu beliau langsung mempersilahkan kepada para mahasiswa/i untuk menyebutkan judul dan membacakan latar belakang dari hasil tugasnya. Tidak lama kemudian akhirnya salah seorang dari kami ada yang memberanikan diri untuk memaparkan hasil dari tugasnya. Seorang pemberani tersebut ialah saudara Mahbub Kholili (kemudian dipanggil Mahbub). Dengan sedikit ragu yang bercampur percaya diri Mahbub langsung membacakan dan memaparkan judul dan latar belakang dari rencana proposalnya (persepsi saya selaku orang yang duduk disampingnya). Judul yang Mahbub ajukan tersebut lebih cenderung termasuk pada kajian agama. Sebagai penyelangnya pak dosen mengambil alih sejenak pembicaraan, yang kemudian mempersilahkan kembali kepada para mahasiswa/i untuk menyampaikan hasil tugasnya. Tidak lama kemudian orang pemberani yang kedua ialah saudara M. Ubaidilah (kemudian dipanggil Ubaid). Judul yang Ubaid ajukan ialah berkaitan dengan makna seorang tokoh semar dalam pewayangan jawa yang diimplementasikan dalam kehidupan yang real. Orang yang ketiga akhirnya muncul dari kaum hawa yakni Dian Kurnia Sari (yang kemudian dipanggil Dian). Dian mengajukan sebuah judul yang pada dasarnya mengkorelasikan antara mitos dengan ekologi. Orang yang keempat juga berasal dari kaum hawa yakni saudari Fitria Ulfa (yang kemudian dipanggil Fitri). Sebuah judul yang diajukan fitri ialah bersangkutan dengan realita dalam kebiasaan mahasiswa, yakni plagiasi. Setelah keempat orang yang tadi selesai memaparkan hasil tugasnya. Pak dosen mengambil alih pembicaraan dan menceritakan bahwa dalam proses penelitian itu seperti kita sedang belajar mengendarai sebuah motor. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya kita selalu mengutamakan berkutat dalam teori yang kemudian berusaha dipraktekkan dalam realita. Tentu saja dalam prakteknya teori tersebut tidak selalu tepat atau praktek tersebut tidak selalu sempurna seperti pada teorinya. Sehingga dengan melalui proses latihan kita selalu berusaha menyesuaikan antara teori dengan prakteknya. Beliau (pak dosen) pun mengemukakan bahwa Mufti Ali pernah mengatakan bahwa yang menjadi kelemahan dari mahasiswa ialah ada dua. Pertama tidak pernah membaca teori penelitian secara tuntas, sehingga tidak memahami dan menguasai teori dalam membuat sekripsi. Kedua tidak mengetahui dan memahami bagaimana proses mengaplikasikan teori ke dalam penelitian. Padahal suatu peralihan paradigma atau teori dalam proses penelitian merupakan suatu kebiasaan sehingga menjadi biasa.
Kemudian setelah itu pak dosen kembali mempersilahkan kepada para mahasiswa/i untuk memaparka hasil tugasnya, akan tetapi setelah menunggu lumayan lama (beberapa menit) tidak ada satupun diantara mahasiswa/i yang berani merespon intruksi tersebut. Pada akhirnya pak dosen pun menggunakan otoritasnya sebagai dosen yakni menunjuk siapa pun yang beliau kehendaki. Orang yang ditunjuk tersbut ternyata saya sendiri. Saya pun mengambil nafas sejenak dan mulai mengemukakan sebuah judul yang saya kehendaki. Judul rencana proposal tersebut yakni “Makna Term Galuh dalam Perspektif Kebudayaan Sunda”. Sebenarnya judul rencana proposal ini merupakan judul yang saya ajukan untuk perkuliahan metodologi penelitian bahasa. Karena pada saat itu saya tidak ada ide sedikit pun maka judul yang sudah adapun jadi korban pilihannya. Ya tidak apa-apalah yang penting sudah ada judul dulu daripada tidak ada inspirasi sedikit pun. Meskipun demikian saya sendiri tahu dan menyadari bahwa saya tidak kreatif, akan tetapi apa daya toh keempat teman saya juga yang telah memaparkan judulnya tadi, merupakan judul yang telah diajukan untuk tugas perkuliahan metodologi penelitian bahasa dan dua diantaranya merupakan tugas dari mata kuliah penelitian sosial kritis. Serta orang yang ditunjuk terakhir oleh pak dosen ialah saudara A. Khoirul Anam (yang kemudian dipanggil Anam). Judul yang diajukun oleh Anam ialah berkaitan dengan pernyataan Ibu Megawati terhadap anggota partainya.
Well, setelah ada beberapa sampel judul rencana proposal yang terkumpul, kemudian pak dosen mengoreksi setiap judul tersebut. Tidak segan-segan beliau (pak dosen) pun memberikan saran (masukan) terhadap setiap judul serta mengarahkan bagaimana membuat latar belakang yang baik dan benar. Beliau mengemukakan bahwa isi dalam latar belakang sebaiknya (seharusnya) berbentuk segitiga terbalik yang berisi tiga komponen. Pada bagian atas segitiga terbalik tersebut berisi pemaparan secara umum tentang sesuatu yang diteliti tersebut. Bagian kedua berisi kegelisahan intelektual dan pada bagian yang terakhir berisi problem/maslah yang harus dipecahkan yang direalisasikan dalam rumusan masalah.
Sebuah catatan penting juga disampaikan bahwa dalam membuat judul tidak boleh ada kata yang sama/diulang, karena hal ini mendeskripsikan keterbatasan kata yang dimiliki oleh sang peneliti dan menimbulkan ketidak harmonisan bagi pembaca.
Kemudian beliau sedikit berbagi cerita tentang pengalamannya bagaimana beliau menulis desertasinya hingga terselesaikan selama satu tahun. Yang perlu diperhatikan dalam cerita tersebut sesungguhnya adalah bagaimana kita menyusun strategi dalam rangka mengonsenkan waktu (memanajemen waktu) hingga tujuan kita tercapai tepat waktu.
Sebelum beliau (pak dosen) menyelesaikan perkuliahan pada pertemuan minggu ini beliau menugaskan untuk menuliskan (baik ditulis tangan atau diketik) judul, latar belakang, permasalahan dan tujuan penelitian untuk menjadi bahasan pada pertemuan besok.
Allright, demikianlah pemahaman saya terhadap pemaparan materi yang telah dipaparkan pada pertemuan minggu ini.             

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal