Langsung ke konten utama

Mahasiswa Berjiwa Sosial Berpribadi Pengemis


Mungkin terlalu sering telinga kita mendengar bahwa mahasiswa adalah agen of change, agen of control dan lain sebagainya. Selain itu banyak yang menyebutkan bahwa mahasiswa dekat dengan masyarakat (orang-orang yang perlu dibela dalam meyuarakan aspirasinya). Semua anggapan itu memang betul, semua tindakan tersebut tentunya hanya mengarah pada mahasiswa yang suka bergelut pada pergerakan (aktivis) bukan pada mahasiswa akademis.
Akan tetapi dari semua kebaikan yang telah dihadirkan oleh pada aktivis tersebut ada sebuah sisi yang patut dipertanyakan, yakni mengenai adanya anggapan bahwa mahasiswa aktivis jarang masuk kuliah, pakaiannya tidak suka rapih (acak-acakan), jarang mandi (tidak suka mandi) dan jarang membawa peralatan (perlengkapan perkuliahan). Apakah benar demikian? Atau memang benar biasa demikian? Jika memang benar demikian terus apa bedanya sama pengemis?
Sebuah pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan penuh kesadaran dalam rangka koreksi diri (introfeksi) hingga mengkonstruksi kepribadian. Bukannya penulis bersifat permisive terhadap sikon (situasi dan kondisi) akan tetapi berpandangan sesuai dengan fakta sosial yang kongkrit. Pertama persoalan jarang masuk kuliah. Memang betul karena adanya sebuah kesibukan terhadap sesuatu menjadikan adanya sebuah alasan yang kuat untuk tidak masuk/tidak mengikuti perkuliahan. Padahal bila mengingat pada tujuan awal masuk kuliah adalah untuk menuntut ilmu bukan hanya sekadar mengkonstruk hubungan sosial. Jadi, mahasiswa yang baik (adil) adalah mereka yang mampu menyeimbangkan antara waktu kesibukan akademik dan pergerakan. Kedua persoalan pakaian yang tidak suka rapih (acak-acakan). Persoalan yang kedua ini juga tidak dapat dilepaskan dari persoalan yang pertama sehingga antara satu sama lain senantiasa berkesinambungan. Kebiasaannya yang tidak disiplin menjadikannya lupa dengan peraturan pribadi dan estetika yang seharusnya melekat pada diri pribadinya. Ketiga persoalan jarang mandi (tidak suka mandi). Mungkin persoalan yang ketiga ini seharusnya tidak ada. Pasalnya jika kita melihat pada hukum kebiasaan, bahwa seharusnya orang yang sibuk bekerja selalu berkeringat sehingga selalu ingat dengan mandi dan bahkan mempunyai jadwal yang pasti kapan, jam berapa dan berapa kali sehari, hal ini pasti telah termaktub dalam daily activity-nya. Tapi sayang hal itu hanya berlaku bagi mereka para pekerja keras (anggapan tidak cerdas). Terakhir persoalan jarang/tidak membawa peralatan (perlengkapan perkuliahan). Persoalan yang terakhir ini sebenarnya merupakan sebuah kunci dasar bagaimana seorang mahasiswa mampu menjadi mahasiswa yang sukses kelak di masa mendatang. Pasalnya bagaimana ia mampu menerima ilmu yang disampaiakan jika ia sendiri tidak memiliki rekaman/tali pengikat yang jelas (dalam artian tulisan). Masa dalam setiap pertemuan perkuliahan pasti ada saja yang menanyakan siapa yang membawa/mempunyai pulpen lebih dari satu (dalam rangka usaha meminjam), bukannya hal yang demikian sangat memalukan? Masa disetiap pertemuan meminjam terus. Mana usaha dan pengorbananmu sebagai mahasiswa yang katanya mau belajar? Apakah cukup hanya bermodalkan dengan niat? Rasanya tidak, ya tentu tidak. Ooh... apa mungkin pengorbanannya telah habis hanya untuk jiwa sosialnya tanpa peduli dengan kebutuhan pribadinya. Padahal bila diingat-ingat dalam kitab Ta’ alim mul muta’alim dan Akhlakul Banin juga ditegaskan dalam bab tentang kewajiban adab dari seorang pelajar, yang salah satu diantaranya adalah memiliki dan merawat setiap perlengkapan yang mendukung kegiatan menuntut ilmu tersebut. Nah bila kebiasaan memiliki dan merawat perlengkapan ini kita langgengkan tentu kita tidak akan rugi, akan tetapi membawa kemudahan dan keuntungan bagi pribadi kita.
Allright, dengan demikian seharusnya kita mulai menyadari dengan kepribadian jelek diri kita. Mari kita mulai mentransformasikan diri kita menjadi lebih baik melalui muhasabah/introfeksi diri.

Jika bukan diri kita yang memulai siapa lagi? Jika tidak sekarang, kapan lagi?        

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal