Langsung ke konten utama

Guru Sebagai Warosatul An Biyya

(Dokumentasi pribadi: Ustadz Mardi didampingi ustadz Ali sedang menyampaikan materi)

Minggu kedua di bulan perdana semester genap, tepatnya Sabtu (14/01/2023), SDIT Baitul Qur'an Tulungagung kembali menghelat agenda up grade kompetensi dan wawasan dewan asatidz. Kajian rutin bulanan ini dinarasumberi oleh Ustadz Mardi, S. Pd.I. Onwer sekaligus founding father warung Berkah. Salah satu warung gratis untuk kalangan Mustadafin di sekitar Tulungagung. 

Ustadz Mardi memantik pembicaraan dengan upaya menghayati keadaan. Kebetulan kala itu hujan menghiasai sepanjang perhelatan kegiatan. Beliau menegaskan, bahwa saat terjadinya hujan adalah salah satu waktu mustajab. Waktu maqbulnya do'a atas segala bentuk hajat. Atas dasar itulah, umat muslim dianjurkan untuk memperbanyak memanjatkan do'a tatkala turunnya hujan.

Dengan gaya penuturan yang friendly, sharing dan cangkrukan, beliau sempat menyelipkan kerikil guyon yang menyentuh hati. Bahwa tatkala turunnya hujan adalah momentum yang tepat bagi para jomlo, orang yang terlilit utang, dan siapapun yang gelisah akan segala onak atas hidup untuk banyak melantunkan rangkaian do'a. Maka bersyukurlah atas diturunkannya hujan, bukan malah sebaliknya. 

Dalam sekejap beliau memfokuskan pembicaraan pada topik pembahasan mengenai urgensi eksistensi guru (dewan asatidz) dalam suatu lembaga pendidikan. Utamanya pendidikan yang berbasis agama Islam. Tak terkecuali dengan kehadiran SDIT Baitul Qur'an Tulungagung yang memiliki visi mencetak generasi qur'ani dan menjunjung tinggi nilai-nilai ahlul qur'an. Lebih lanjut, beliau menyebutkan bahwa mengamalkan Al-Qur'an sebagai pedoman dan lentera kehidupan adalah poin penting pertama yang harus dimiliki oleh seluruh sumber daya manusia lembaga. Utamanya berlaku bagi seluruh dewan asatidz. 

Mengamalkan Al-Qur'an sebagai pedoman dan lentera kehidupan adalah keutamaan amal. Sehingga sebaik-baiknya mukmin adalah yang mempelajari Al-Qur'an, mengajarkan dan mengamalkannya. Hal yang demikian berlaku karena ahlul Qur'an memiliki esensi yang sama dengan titah menegakkan salat dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Tumbuh-kembang dan bercongkolnya rasa diawasi oleh Allah SWT. sebagai barometer tampilnya sikap Ihsan dalam tindak-tanduk umat Islam. Dalam konteks inilah ayat aqiimus shalah berkorespondensi dengan ayat inna shalaati 'anil fahsyai wal mungkar. 

Kedua, guru pada dasarnya adalah warosatul an biyya. Penerus; pewaris penegak kebajikan yang dilakukan oleh para utusan Allah. Maka pertanyaan mendasarnya: Sudah layakkah kita (sebagai seorang guru) disebut dan mengemban amanah Warosatul An Biyya? Pertanyaan ini tentu harus dijawab dengan penuh penghayatan, kesadaran dan tanggung jawab sebagai seorang hamba. Introspeksi diri sebagai kuncinya. 

Proses introspeksi diri tersebut dapat dimulai dengan mengevaluasi niat yang terhujam di dalam sanubari masing-masing kita. Apakah kita sebagai seorang guru sudah bekerja dengan penuh rasa ikhlas atau tidak? Bekerja semata-mata karena hendak mencari berkah atau karena alasan tergiur jumlah nominal materi saja. Bukankah janji Allah SWT benar-benar nyata dan berkali-kali ditegaskan dalam Al-Qur'an mengenai balasan apa yang akan dituai oleh para pelaku yang berjuang di jalan Allah. 

Pendek kata, dalam konteks ini rasa dan sikap ikhlas sebagai timbangan penilaian amal perbuatan kita. Alhasil, penilaian ini akan berdampak pada proses dan capaian kinerja. Maka dalam hal ini niat bukan sekadar soal kreteg ati tapi bicara banyak tentang goals. Terlebih-lebih dewan asatidz berperan sebagai "Amil" di lembaga pendidikan Islam dan Tahfidz Baitul Qur'an Tulungagung. 

Ketiga, masalah adalah keniscayaan yang lumrah terjadi. Tampaknya sudah menjadi rahasia umum jikalau suatu lembaga tidak pernah terbebas dari konflik internal dan eksternal di lingkungan sekitar. Justru kecamuk dan gunungan konflik itu tidak lain adalah proses pembelajaran alami. Setiap konflik yang mencuat ke permukaan akan senantiasa menyelipkan butiran hikmah yang mendewasakan setiap orang yang bersangkutan. Hal itu berlaku bagi orang-orang yang mau berpikir dan berjiwa melek.

Kendati demikian, berjejalnya konflik dalam suatu lembaga juga akan berdampak negatif pada ritme, motivasi dan capaian kinerja sumber daya manusia lembaga. Tidak menutup kemungkinan pula kerikil konflik itu memancing kehadiran sikap-sikap egoisme dan tercela. Misalnya saja hasad, dengki, adu domba, fitnah dan lain sebagainya. 

Sebagai jalan keluarnya, maka berkonfliklah dengan ilmu. Meski konflik itu bersifat wajar akan tetapi perbedaan cara pandang, kedewasaan dalam menyikapi dan kematangan dalam menyelesaikan konflik juga menjadi salah satu unsur penting yang harus dipertimbangkan. Begitulah seseorang yang berilmu, ia tidak akan gegabah, mudah goyah dan menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan konflik secara egois. Namun orang yang bersangkutan juga akan mempertimbangkan baik-buruknya bagi stabilitas lingkungan sekitar. 

Keempat, tazkiyaatun nufus. Tazkiyaatun nufus di sini bermakna mensucikan jiwa dari berbagai cela yang dapat mengotori hati. Cela dan kekotoran hati yang ditumbulkan dari berbagai hiruk-pikuk onak yang merongrong keajegan manusia dalam menunaikan ibadah dan kebaikan. Tak terkecuali kotoran dan cela yang ditimbulkan oleh konflik di antara sesama manusia yang laten mendera di lingkungan kerja. Di antaranya sifat hasad, tamak, ghodob, mengumbar hawa nafsu dan lain sebagainya.

Hadirnya sifat hasad adalah pintu gerbang pertama masuknya setan untuk menguasai dan mengontrol kecondongan hati nurani kita pada kebajikan. Sifat hasad pada dasarnya muncul karena kecemburuan terhadap nikmat yang ada pada diri seseorang. Alhasil orientasi dari sifat hasad adalah kehendak (harapan) perpindahan atas satu nikmat yang dirasakan seseorang kepada orang yang memiliki sifat hasad tersebut. Orientasi sifat hasad yang demikian inilah yang determinasi merusak keramahan dan kesahajaan lingkungan hidup sekitar. Merusak diri pelaku dan korban. 

Kendati demikian, ada pula iri atau kecemburuan sosial yang bersifat positif, Ghofthoh. Ghofthoh berarti cemburu atau iri terhadap nikmat yang ada di dalam diri seseorang namun tidak disertai dengan harapan ataupun kehendak berpindahnya nikmat tersebut. Dengan kata lain, ghofthoh adalah menjadikan iri sebagai alasan kenapa seseorang harus mampu meraih nikmat (kesuksesan) seperti yang dimiliki oleh orang lain. Jika kita meminjam terminologi yang berlaku dalam rumpun sosiologi, ghofthoh sama halnya dengan identifikasi. Menjadikan kecemburuan sosial sebagai motivasi untuk menjadi lebih baik bukankah hal yang absah?

Timbulnya sifat hasad sendiri tidak lain ditengara oleh sifat tamak yang berkecamuk hebat di dalam diri seseorang yang bersangkutan. Tamak dalam kamus besar bahasa Indonesia offline bermakna serakah; loba; rakus; selalu ingin memperoleh banyak untuk diri sendiri. 

Lebih lanjut disebutkan, bahwa sifat tamak dapat membinasakan pelaku yang melanggengkan kehadirannya di dalam diri. Kenapa demikian? Sebab tamak lebih berbahaya daripada hewan yang paling buas di muka bumi. Lantas tamak dianalogikan dengan dua ekor serigala yang kelaparan tidak lebih tamak daripada manusia yang membanggakan diri dan mengharapkan jabatan. 

Dalam kitab Ihya 'Ulumuddin disebutkan Rasulullah SAW bersabda: "Ada tiga sifat yang dapat membinasakan manusia: 1. Sikap bakhil (pelit) yang dipatuhi. 2. Hawa nafsu yang diikuti. 3. Merasa bangga dengan diri sendiri". 

Tamak yang sudah tidak dapat terkontrol dan terus menganga dengan mudah akan mengantarkan kita pada sikap ghodob, marah. Kemarahan sendiri selalu hadir karena kecekakan dalam berpikir, akibat dangkalnya pengetahuan dan kewarasan yang sudah tercemari oleh kehendak hawa nafsu. Hawa nafsu sendiri memiliki sifat negatif dan destruktif. 

Kendati demikian hawa nafsu tidak dapat dihilangkan dalam diri manusia. Sebab manusia hidup, salah satunya karena faktor adanya nafsu yang menggelora. Menggerakkan tindak-tanduk kita untuk melakukan sesuatu. Tanpa adanya nafsu yang bersemayam di dalam diri, bisa saja manusia sirna dari carut-marut perubahan alam semesta. 

Menyikapi hal yang demikian maka kita hanya mampu mengontrol kecondongan hawa nafsu dengan langkah kebajikan. Menipiskan kecenderungan hawa nafsu yang membabi buta menjadi bahasa dan gerak-gerik yang lebih halus sekaligus dapat dikendalikan. Berimam pada kemurnian hati nurani yang senantiasa menuntun kita pada kebajikan.

Sebagai upaya konkret dalam berkiblat pada kemurnian hati nurani, alangkah baiknya kita juga beristikamah dalam menegakkan ritual peribadatan. Sebab kebiasaan yang kita lakukan akan menjadi karakter pribadi kita masing-masing. Oleh karena itu maka jaga sabarmu, tegakkan salatmu. Amalkanlah ilmu yang telah diteguk. Manfaatkanlah kekayaanmu untuk bersedekah serta berjihadlah dengan kekuasaan yang diamanahkan ke dalam genggamanmu. 

Tulungagung, 27 Januari 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal