Langsung ke konten utama

Kabar Gembira Itu Berhasil Digenggam

Saya memasuki ruang kantor dengan mengucap uluk salam. Dewan asatidzah yang kebetulan sedang duduk tepat beberapa meter di depan pintu menjawab dan menanyakan tujuan kedatangan saya. Seingat saya, ustadzah Rini--yang belakangan saya tahu beliau wali kelas 6)--menyapa saya dengan begitu Ramah. Lantas saya diarahkan ke meja Pak Imam selaku kepala sekolah.

Sejenak saya sudah ada di hadapan Pak Imam. Uluk salam kembali saya lontarkan. Beliau langsung mempersilakan saya duduk di kursi yang kosong. Posisinya tepat di hadapan beliau. Kami berdua hanya tersekat dua meja yang dirapatkan. Belakangan saya tahu dan menyadari bahwa kursi yang saya duduki kala interview itu menjadi tempat duduk saya sampai sekarang.

Persisnya, kursi saya itu terletak di sisi Utara ruangan dengan meja model ruang meeting. Di samping kanan meja ustadz Lazim (wali kelas 2), sebelah kiri meja ustadz Singgih (guru mapel PJOK dan Akidah Akhlak), dan ustadz Biqi (wakil kepala sekolah bidang akademik, guru mapel bahasa Arab dan Fiqih). Sedangkan di sebelah Selatan hanya ada dua kursi. Kursi ustadz Imam sebagai kepala sekolah dan kursi ustadz Fadhil (guru mapel bahasa Hadits dan bahasa Arab kelas bawah).

Perlu dicatat pula bahwa di lembaga ini  seorang guru memegang lebih dari satu mata pelajaran. Jadi betuknya, guru mapel (akronim dari kata mata pelajaran) mengampu dua mapel yang mengajar di tiga kelas. Baik itu kelas atas ataupun bawah. Bahkan ada pula guru mapel yang mengajar di seluruh kelas. 

Sementara guru wali kelas--yang familiar di Baitul Qur'an sebut dengan akronim walas--mengampu mapel tema dan muatan lokal. Mapel tema sendiri memuat beberapa mapel lain, yang terdiri dari bahasa Indonesia, PPKN, IPA, IPS, SBdP. Ditambah dengan matematika. Adapun muatan lokal terdiri dari bahasa Jawa dan PLH (pendidikan lingkungan hidup). 

Selain guru mapel dan walas di sekolah dasar swasta ini juga terdapat dewan asatidz Tahfidzul Qur'an. Dewan asatidz Tahfidzul Qur'an ini semua perempuan. Adapun Ustadzah Robi'ah Al-adawiyah, Lc. adalah direktur Tahfidzul Qur'an Baitul Qur'an Tulungagung. Guru Tahfidzul Qur'an ini masuk setiap hari dengan durasi mengajar rata-rata 2 jam. Kecuali hari Jum'at dan Sabtu yang hanya masuk selama 1 jam. 

Dari tiga jenis dewan asatidz yang ada di SDIT Baitul Qur'an Tulungagung tersebut jika beban tugasnya dibandingkan secara proporsional maka peran guru walas dapat dikatakan berat: memiliki tingkat keuletan, kesadaran dan kesabaran yang luar biasa hebat. Atas dasar itu pula, mayoritas pengampu walas selalu diisi oleh sosok yang multi tasking, yakni perempuan. Terkecuali walas kelas 2 yang diampu oleh ustadz Lazim. 

Pembagian kelas di Baitul Qur'an Tulungagung dibagi dua: atas dan bawah. Kelas atas mencakup kelas 4, 5 dan 6. Sebaliknya, untuk kelas bawah terdiri dari kelas 1, 2 dan 3. Pembagian kelas atas dan bawah ini saya kira merujuk kepada bentuk bangunan SDIT Baitul Qur'an Tulungagung yang terdiri dari dua lantai. Akan tetapi mungkin juga, pembagian itu didasarkan pada jenjang usia peserta didik yang ada.

Kembali fokus pada pembahasan. Seingat saya, kala itu saya diinterview Pak Imam sembari membenarkan inventaris sekolah. Kedua tangannya sibuk memainkan obeng dan mur. Dalam interview itu saya diberondong banyak pertanyaan. Mulai dari jenjang pendidikan, pengalaman, profil hidup dan lain sebagainya. Kendati demikian, Alhamdulillah, saya dapat menjawabnya dengan santai dan mengena. 

Saat interview itu saya merasakan betul apa yang ditegaskan oleh ustadz Biqi selaku teman saya. Bahwa karakteristik Pak Imam orangnya baik, friendly dan santai. Kurang lebih 30 menitan kami melakukan perbincangan hingga akhirnya Pak Imam mengonfirmasi dan membawa saya untuk menghadap ketua yayasan. 

Kebetulan ketua yayasan sedang berada di toko miliknya. Letaknya persis di pinggir jalan raya KH. Abdul Fattah IV, beberapa meter dari perempatan jalan raya Mangunsari, lebih tepatnya 50 meter jaraknya dari lembaga. Di sepanjang perjalanan menuju toko ketua yayasan, saya dan Pak Imam kembali memintal kata. Sama-sama asyik mengorek informasi pribadi. 

Dari perbincangan hangat itu, saya mendapatkan informasi bahwa ketua yayasan LPIT Baitul Qur'an Tulungagung itu akrab dipanggil dengan sebutan ustadz Ali. Akhir-akhir ini saya pun menjadi tahu bahwa nama lengkap beliau adalah Muhammad Ali Said, S. Pd. Beliau adalah alumnus pesantren modern Gontor dan STAI Muhammadiyah. 

Tak butuh waktu lama untuk kami sampai di hadapan ketua yayasan. Pak Imam memberikan muqaddimah tentang saya. Setelah itu, barulah ketua yayasan mengajukan beberapa pertanyaan mendasar kepada saya. Saya menjawabnya dengan rumus SPJ. Singkat, padat dan jelas.  Di penghujung pertemuan itu saya diberikan selamat karena telah bergabung dan menjadi bagian dari lembaga yayasan LPIT Baitul Qur'an Tulungagung. 

Bersambung...

Tulungagung, 20 November 2022

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal