Selain mengondisikan kembali peran orangtua dan ketergantungan atas internet, pembelajaran jarak jauh juga akhir-akhir ini dipandang berakibat fatal atas keadaan psikis anak didik.
Hal yang demikian diceritakan betul oleh beberapa teman yang berprofesi sebagai guru honorer ataupun guru tetap di dua-tiga sekolah. Mereka menegaskan bahwa banyak anak didiknya yang merasa rindu dengan rutinitas pembelajaran di sekolah.
Selain itu, ditemukan pula tidak sedikit di antara anak didik yang mengeluhkan capeknya proses pembelajaran dari rumah. Bagaimanapun proses pembelajaran yang sekadar mengerjakan bejibun tugas tanpa penjelasan yang gamblang membuat anak didik mudah bosan dan jenuh.
Lebih lanjut, keluh-kesah tersebut bermula dari cara membimbing dan tuntutan yang dikehendaki oleh orangtua terkadang lebih kerap tampil dengan luapan emosional yang merundung mental anak didik.
Celah borok atas pengalihan proses pembelajaran dari ruang publik ke ruang domestik yang menyebabkan adanya pemangkasan terhadap kebiasaan dalam mengekspresikan perasaan selama belajar sang anak.
Jika sebelumnya para siswa seleluasa mungkin mengekspresikan diri dan perasaannya dalam kebersamaan belajar dengan teman-teman di sekolah maka di masa pandemi ini justru mereka merasa terawasi dan terkungkung karena selama proses belajar dilakukan dengan penuh ketegangan.
Mengapa demikian? Bagaimanapun siswa yang belajar didampingi oleh orangtuanya lebih terkesan 'menegangkan', sungkan dan berada di bawah tekanan. Terlebih lagi jika kemampuan sang anak tidak mampu memenuhi ekspektasi orangtuanya yang perfeksionis.
Sebagai dampaknya, alhasil segala bentuk tuntutan, pendiktean dan sikap sentimenal yang ditampilkan oleh orangtua tidak segan lagi meliputi diri sang anak. Terkadang, kalimat-kalimat sarkas, bentakan keras dan peringatan yang dilontarkan orangtua kerapkali membuat down mental sang anak.
Dalam konteks ini, jika kita meminjam cara pandang Robert Frost, bukankah tujuan utama dari pendidikan adalah kemampuan mendengar setiap hal tanpa harus kehilangan tabiat dan kepercayaan diri seseorang yang disebut pembelajar?
Ah, sampai di sini nampaknya benar pula apa yang telah berpuluh-puluh tahun lalu ditegaskan oleh Ki Hajar Dewantara; secara general, pengajaran sesungguhnya untuk "memerdekakan manusia atas hidupnya secara lahir, sedangkan merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan", (Ahmad Syafii Maarif: 2013).
Penyampaian nasehat, cara membimbing dan sederet harapan yang disampaikan orangtua dengan mengabaikan bagaimana keadaan psikis (batin) sang anak inilah hal yang kurang sehat dalam proses pembelajaran. Sehingga membuat anak didik tidak merasa merdeka tatkala melangsungkan pembelajaran jarak jauh.
Sederet keadaan itulah yang membuat anak didik merasa kurang nyaman belajar di bawah pengawasan orangtua. Mungkin saja, tatkala mereka berada di depan orangtuanya berusaha tampak bersungguh-sungguh dan disiplin.
Sementara di lain waktu mereka sibuk mencari kesempatan untuk berusaha melampiaskan kekesalan, kejenuhan dan ketertekanan psikisnya dengan melakukan hal-hal baru yang sama sekali belum pernah dilakukan sebelumnya.
Tidak menutup kemungkinan, pada upaya pelampiasan tingkat tinggi anak didik melakukan hal-hal negatif, seperti yang pernah terjadi di awal pemberlakuan kebijakan PSBB dan WFH, di mana kasus balapan liar sepeda motor dan tawuran antar pelajar mencuat di banyak tempat. Bahkan, parahnya lagi tidak sedikit pula siswa yang meregang nyawa.
Dari sekian banyak problematika yang nampak ke permukaan, kunci utamanya terletak pada bagaimana kita menyikapi implementasi kebijakan pembelajaran jarak jauh ini diberlakukan.
Upaya penerimaan, cara pandang dan kebijaksanaan masing-masing pribadi orangtua berperan sebagai eksekutor terakhir yang berdiri di antara manzilatain (dua persimpangan). Baik-buruk dalam konteks membimbing sang anak menjadi jelmaan ekspresif atas dasar sejauh mana pemahaman, wawasan dan pengalaman orangtua.
Tulungagung, 8 Oktober 2020
Komentar
Posting Komentar