Langsung ke konten utama

Koneksi Internet sebagai Kebutuhan Pokok

Kepemilikan dan kapabilitas atas gadget pada kenyataannya tidak dapat termaksimalkan fungsi dan manfaatnya untuk menunjang proses pembelajaran selama tidak terkoneksi dengan jaringan internet. 

Koneksi gadget dengan internet dalam konteks kelangsungan pembelajaran jarak jauh di sini dapat dianalogikan layaknya ruh dan jasad yang saling melengkapi sekaligus menghidupi. 

Dua komponen integral yang tak dapat dipisahkan antara satu sama lain tatkala membicarakan banyak tentang multifungsi kemutakhiran teknologi terhadap peradaban umat manusia.

Bagaimanapun proses pembelajaran di masa pandemi ini sangat bergantung pada penggunaan aplikasi ruang belajar berbasis sosial media yang mengharuskan adanya koneksi internet. Entah itu koneksi internet melalui kouta data kartu perdana atau WiFi Indihome sekalipun.

Atas dasar ketergantungan itu pula pada akhirnya koneksi internet pun menjadi kebutuhan pokok baru yang lambat-laun bersaing ketat dengan upaya pemenuhan kebutuhan primer dalam menjalani kehidupan. Sementara segenap kebutuhan sekunder dan tersier lainnya semakin jauh terpinggirkan. 

Ironisnya, bagi kalangan masyarakat yang kurang mampu secara finansial justru ketergantungan proses pembelajaran dengan koneksi internet tersebut adalah pertaruhan antara mengisi perut untuk bertahan hidup dan mati. 

Pendek kata, ketergantungan atas internet itu menambah beban yang mengharuskannya banting tulang ke sana-kemari mencari tambahan pekerjaan sampingan. 

Kalau tidak demikian, dengan sangat terpaksa mencari pinjaman uang guna membeli kuota data untuk mengikuti proses pembelajaran. Belum lagi ditambah dengan persoalan tersendatnya sinyal dan lokasi strategis untuk mendapatkan sinyal yang stabil.

Kebijakan menteri pendidikan dan kebudayaan, Nadiem Makarim, yang memperbolehkan pengalokasian uang yang diambil dari kartu Indonesia pintar (KIP) untuk membeli paket data nampaknya sedikit membawa angin segar bagi para siswa yang mempunyai KIP.

Sedangkan bagi sebagian siswa yang berstatus miskin sungguhan namun tidak mendapatkan KIP mungkin hanya bisa gigit jari, dan siswa yang kebetulan keturunan borjuis memilih untuk mengabaikan apa pun yang terjadi sama sekali. 

Tulungagung, 7 Oktober 2020


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Koleksi Buku sebagai Pemantik

Dokpri buku solo ke-10 Saya kira transaksi literasi saya dengan Qadira akan usai seiring tuntasnya koleksi komik yang dibaca namun ternyata tidak. Di luar prediksi, transaksi literasi itu terus berlangsung hingga kini. Kini dalam konteks ini berarti berlangsung hingga detik-detik akhir pelaksanaan Sumatif Akhir Semester genap.  Keberlangsungan ini, jika boleh menerka, hemat saya tak lain karena provokasi dan motivasi yang saya berikan. Tepatnya saat mengembalikan buku terakhir yang saya pinjam. "Besok, koleksi komiknya ditambah ya. Nanti ustadz pinjam lagi. Bilang sama ibu, mau beli komik lagi supaya bisa dipinjamkan ke teman-teman sekolah", seloroh saya setelah menyerahkan komik. Qadira menganggukan kepala pertanda memahami apa yang saya katakan.  Motivasi itu saya berikan bukan karena saya ketagihan membaca komik gratisan, sungguh bukan seperti itu, melainkan dalam rangka memantik geliat memiliki koleksi buku mandiri. Motifnya sederhana, dengan memiliki koleksi buku mandiri...