Pengalihan ruang pembelajaran vis a vis (metode klasikal) menjadi ruang virtual pada kenyataannya mengoyak kembali kemapanan tatanan peran guru dan orangtua terkait efektivitas pembelajaran anak didik.
Dalam konteks pengalihan ruang pembelajaran inilah sejatinya guru sedang menyerahkan marwah untuk menjaga dan melestarikan lima aspek yang membentuk anak didik: dimensi intelektual, dimensi kultural, dimensi nilai-nilai transendental, dimensi keterampilan fisik/jasmani dan dimensi kepribadian manusia itu sendiri pada genggaman orangtua (Saiful Mustofa, 2017: x).
Jika selama ini pembelajaran teoritis dan moral secara porposional lebih terpusat dilakukan di sekolah dengan banyak melibatkan peran aktif guru maka pada pembelajaran jarak jauh adalah kebalikannya, di mana upaya itu lebih dominan mengandalkan peran orangtua.
Orangtua dan anggota keluarga yang ada di lingkungan rumahnya sebagai pusat pembelajaran setiap masing-masing siswa. Entah itu dalam mengerjakan tugas sekolah via daring ataupun upaya pembelajaran karakter kepribadian yang langsung dipraktekkan dalam kesehariannya.
Keadaan inilah yang kemudian disebut oleh Miss Thompson (seorang guru sekolah dasar) bahwa mengajar seharusnya banyak menyoal tentang to teach is to touch your student's life. Mengajar bukanlah soal ego seorang guru melainkan soal anak-anak, semua murid kita (Saiful Mustofa, 2017: 53)
Itu berarti menyadarkan kita bahwa dalam proses belajar bukan sekadar menyampaikan nilai (transfer of value) atau menyampaikan pengetahuan (transfer of knowledge) akan tetapi juga mengantarkan pada upaya menciptakan pengetahuan-pengetahuan baru dari realitas yang ada di sekeliling anak didik (Nur Sayyid Santoso Kristeva: 2009).
Alhasil, orangtua dalam konteks ini harus pandai-pandai memanajemen waktu antara menunaikan kewajiban dan tugasnya. Alih-alih berpindah tangan menjadi tanggung jawab kedua orangtua akan tetapi beban itu justru tampil lebih dikerucutkan pada sosok ibu.
Mengapa demikian? Apakah karena ada dalil yang menegaskan bahwa ibu adalah sekolah pertama? Atau memang itu terjadi karena orang yang berkutat dalam urusan domestik adalah seorang ibu? Oh, atau mungkin karakteristik seorang istri idaman adalah sosok yang piawai dalam mendidik anak-anaknya.
Tentu dalam 'pengerucutan' beban itu akan ada banyak sudut pandang yang mengitarinya. Akan ada endapan alasan yang berlapis-lapis untuk mengatakan bahwa tugas mendidik anak adalah kewajiban seorang ibu, sementara seorang ayah akan sibuk mengais rezeki.
Sudah barang tentu, pola pikir dan habitus itu sudah telanjur mengerak di banyak kepala. Hampir-hampir kita akan sangat sulit menepisnya. Terlebih lagi menanggapinya dengan argumentasi yang disandarkan pada sejubel teori dan alasan kreatif sebagai solutif pun belum tentu mampu diterima.
Bukankah kita dan orang-orang lebih suka berdiam diri di zona nyaman daripada harus menerobos ocehan tetangga? Lebih takut tidak menuruti kemauan keras keumuman yang berlaku dalam ruang lingkup kehidupan sosial yang telah membudaya daripada merangkai hidup dalam pijakan kaki sendiri yang penuh lika-liku namun itu mematangkan konsep hidup kita.
Ah, nampaknya benar apa yang dipersepsikan oleh Jakob Sumardjo (pelopor kajian filsafat Indonesia dan pemerhati sastra); tetapi, kalau kita ditakdirkan untuk lahir dan tinggal di suatu lokal di planet ini, mungkinkah kita menghindar dari tata nilai yang dilahirkan oleh masyarakat lokal itu?
Atas dasar itu pula, nampaknya di sini harus ditekankan kembali bahwa konteks peran penting kedua orangtua dalam persoalan mendidik putra-putrinya adalah hal yang utama. Dalam pandangan Islam, peran seorang suami sejatinya meliputi segala-galanya. Mengurusi urusan domestik dan ruang publik. Sementara istri disebutkan hanya bertugas melayani suami semata.
Namun, mengapa yang terjadi dalam prakteknya justru sebaliknya? Seakan-akan, tugas dan tanggung jawab seorang istri lebih menggunung daripada seorang suami yang telah disebutkan dan persepsikan akut berperan sebagai imam. Bahkan konsep itu telah "mengakar dalam" sebagai cara pandang dalam memosisikan seorang lelaki yang belum menikah sekalipun.
Tidak percaya? coba saja buat riset kecil-kecilan tentang bagaimana cara pandang para perempuan tatkala mendefinisikan seorang lelaki lajang di luar sana. Tapi saya pikir, tidak menutup kemungkinan akan ditemukan pula cara pandang baru dalam pendefinisian konsep tentang sepak terjang laki-laki. Pasalnya, sejauh ini di mana-mana gerakan emansipasi dan aktivis kesetaraan gender yang kerap kali disebutkan dengan feminis telah lama menjamur.
Satu upaya menetralisir toxic masculinity dan relationship yang telah lama mendarah daging, meskipun dalam proses terjadinya sangat begitu alot. Aktivis feminisme itu berkoar di mana-mana namun pelecehan, stereotip, opresi dan eksploitasi terhadap perempuan jumlahnya tidak spontanitas surut. Hal itu, tidak lain adalah bentuk sorak jelmaan yang menunjukkan bahwa khalayak orang masih alergi dengan hal-hal yang bertentangan dengan tradisi yang membudaya.
Mungkin, di sini kita bisa menegaskan kunci permasalahannya, bahwa dalam parenting yang ideal mendidik dan mendampingi seorang anak belajar tidak melulu dijadikan sebagai beban ganda seorang ibu melainkan tugas dan tanggung jawab seorang ibu dan ayah. Kedua orangtuanya memiliki bagian dan porsi yang sama dalam membentuk kepribadian, karakter dan pengetahuan sang anak.
Jika semua urusan domestik, ruang publik dan mendidik seorang anak dilimpahkan utuh kepada seorang ibu semata, lantas kira-kira apa yang akan terjadi? Bisa jadi sikap infantil dan katarsis menjadi kontruksi bangunan kokoh dalam kepribadian anaknya. Kemudian, apa pula status ibu itu? Janda muda beranak satu? Mungkin iya.
Tulungagung, 05 September 2020
Komentar
Posting Komentar