Langsung ke konten utama

Pentingnya Memiliki dan Kapabilitas atas Gadget di Masa PJJ

Pembelajaran jarak jauh pada kenyataannya mengharuskan setiap kepala keluarga memiliki dan menguasai betul atas smartphone, tablet dan laptop. 

Kehadiran piranti-piranti kemutakhiran teknologi ini yang semula dipandang dan diposisikan sebagai kebutuhan sekunder bahkan tersier oleh khalayak ramai namun kini beranjak cepat menjadi salah satu kebutuhan primer di berbagai lapisan sosial masyarakat yang ada.

Disadari ataupun tidak, dengan diberlakukan PJJ intensitas transaksi jual-beli gadget meroket tajam. Entah itu produk gadget yang benar-benar berkapasitas terupdate ataupun second (bekas) sekalipun penjualannya lebih laris di pasaran. Hal ini menunjukkan bahwa Covid-19 di satu sisi memberikan keberkahan bagi sebagian orang.

Tentu dalam prakteknya tidak hanya cukup sekadar memiliki gadget, akan tetapi orangtua dan sang anak juga harus menguasai betul cara penggunaannya. Mengetahui bagaimana cara menggunakan aplikasi ruang belajar seperti WhatsApp, ruang guru, google class, google room, zoom, google meet, duo dan lain sebagainya.

Penguasaan atas gadget ini sangat penting untuk menunjang kelangsungan belajar dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Bagaimanapun proses pembelajaran jarak jauh ini akan banyak mengandalkan fungsi dari media pembelajaran. Sehingga sangat disayangkan, manakala proses panjang pembelajaran harus tersendat, tertunda dan terabaikan karena alasan ketidakmampuan mengopresikan gadget.

Namun fenomena kurang update dan ketidakmampuan atas gadget ini ada kemungkinan dari waktu ke waktu telah lama berangsur membaik. 

Hal ini dapat kita lihat dari seberapa besar keaktifan khalayak ramai dalam membuat status di sosial media. Anak-anak, remaja, dewasa dan tua bahkan lansia lebih gemar menumpahkan kegelisahan hidupnya di jagat maya daripada memelihara budaya cangkrukan bersama di dunia nyata.

Sebagai dampak negatif dari penggunaan gadget yang laten, ruang lingkup realitas kehidupan sosial lebih terdikotomi dan terdistorsi secara masif. Merebaknya kasus kecanduan gadget, kekerasan dan kriminalitas meningkat.

Sebagai contohnya, mungkin kita masih ingat dengan maraknya pemberitaan media tentang membludaknya jumlah pasien yang kecanduan gadget di tahun 2019. Bahkan disebutkan per 15 Oktober 2019, terdapat 209 pasien dirawat di rumah sakit jiwa Cisaura Kabupaten Bandung Barat (sumber: wartakota.tribunnews.com)

Belum lagi ditambah dengan kekerasan verbal, fisik dan mental yang dipicu karena status, komentar miring dan opini yang di dalamnya memuat cara pandang satu personal terhadap yang lain. Alih-alih hendak menunjukkan simpatisan dan membangun interaksi sosial, tak jarang yang terjadi justru malah bullying, diskriminatif dan penghakiman.

Bahkan website resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa pada Februari 2020, kasus diamputasi jari salah seorang siswa hingga ditendang sampai meninggal dunia menjadi gambaran ekstrem dan fatalnya intimidasi bullying yang dilakukan oleh pelajar.

Keekstreman dan kefatalan tersebut marak terjadi tidak lain disebabkan oleh cara pandang dan kebiasaan yang keliru menempatkan kekerasan sebagai solusi atas pemecahan suatu persoalan. 

Data statistik KPAI menunjukkan kekerasan terhadap anak dianalogikan sebagai gunungan es yang tidak pernah mencair, di mana dalam kurun waktu sembilan tahun, tepatnya 2011-2019 mencapai angka 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Adapun kasus bullying yang terjadi di pendidikan ataupun di sosial media angkanya menyentuh 2.473 laporan dan itupun trennya terus meningkat (sumber: kpai.co.id).

Selain itu keadaan itu diperparah dengan kriminalitas yang terjadi dalam lima bulan terakhir di tahun ini. Tindakan pencurian gadget yang dilakukan oleh orangtua marak terjadi. Tatkala polisi menyelidiki, alasannya sangat mengerikan, " mereka terpaksa mencuri" guna kelangsungan belajar anak-anaknya di rumah.

Misalnya kasus seorang ayah di Garut Jawa Barat yang nekat mencuri smartphone sang majikan demi pembelajaran online putri kesayangannya. Alasannya, tidak lain karena tidak memiliki smartphone, sehingga salah satu dari ketiga anaknya yang duduk di bangku kelas 1 sekolah menengah itu tidak bisa ikut belajar daring dengan teman-temannya (sumber: detik.com).

Sementara orangtuanya mengerti dan memahami bahwa tugas seorang pelajar adalah belajar tanpa harus dibayang-bayangi rasa gengsi dan berbeda status sosial.

Semua fase dan dampak yang telah terjadi tersebut sudah barang tentu berkaitan erat dengan kehadiran sindrom FOMO sebagai tanda ketergantungan manusia atas pencitraan yang dibangun di jagat maya.

Sementara dampak positifnya, secara tidak langsung wabah pandemi Covid-19 ini menggenjot kesadaran masyarakat atas pentingnya melek terhadap kemutakhiran teknologi. 

Kepemilikan gadget secara merata, pada kenyataannya akan berdampak pada konsep lapisan stratifikasi dan deferensiasi sosial yang telah lama disarkalkan oleh segelintir masyarakat kini mulai mengalami pendefinisian kembali sehingga sifatnya lebih terbuka dan saling melengkapi.

Tulungagung, 6 September 2020

Komentar

  1. Benar sekali Bang Roni. Fenomena-fenomena yang terjadi sebab tingginya urgenisitas gadget menuntut adanya keseimbangan dengan kapabilitas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah kan, Bu gurunya langsung matur. Pertanyaannya cuma satu, sudah berapa anak didik yang curhat bosen belajar di rumah? Mamak ternyata lebih menakutkan kalau sedang membimbing belajar anak-anaknya sendiri. Masih baikan Bu guru.

      Hapus
  2. Balasan
    1. Hehehehe...
      Sembah nuwun Bu. Masih Butuh belajar banyak dari panjenengan.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal