Dokpri ilustrasi menyusun bahan bakar untuk menulis.
Tampaknya harus ditegaskan di muka, bahwa tulisan ini melanjutkan postingan sebelumnya yang berjudul Penyisipan Materi Dasar. Agar mendapatkan pemahaman yang runtut, alangkah baiknya Anda membaca postingan sebelumnya terlebih dahulu.
****
Kenapa membaca? Sebab melalui kegiatan membaca, penulis akan mendapatkan banyak keuntungan yang diraup. Inventarisasi kata, memahami variatif gagasan, corak pemikiran, paradigma baru yang digunakan sampai dengan mengenal cita rasa tulisan satu dengan yang lain. Jika membaca telah menjadi habituasi seorang penulis maka tingkat sensitivitas terhadap kemunculan ide; keresahan masalah yang harus ditulis sangat besar.
Jika kran sensitivitas itu telah terbuka, maka seluruh kegiatan yang dilakukan hakikatnya dapat menjadi ide. Ide yang nyentrik dan asyik tatkala dibenturkan dengan jejak pengetahuan tertentu yang kita pahami. Terlebih tatkala ide itu dibungkus dengan paradigma dan pilihan kata yang tepat. Bukan penyampaian ide yang banyak bertumpu pada permainan kata.
Pengetahuan tertentu yang dapat dijadikan sebagai paradigma dalam menampilkan bentuk tulisan. Terlebih lagi secara saksama kita mafhum bahwa setiap tulisan yang lahir selalu menyisipkan ruh penulisnya. Ruh-ruh yang tertuang dalam tulisan itu terus hidup selama ada pembaca yang menggandrunginya. Ruh-ruh tulisan itu pada akhirnya dapat dipahami sebagai identitas penulis seiring dengan ditemukannya gaya tulisan yang bersifat personal.
Kalau begitu jadi gaya tulisan yang bersifat personal tersebut sesungguhnya adalah bentukan dari habituasi. Habituasi buku apa dan karya siapa yang kita gandrungi maka tokoh itu pula yang paling banyak memengaruhi perkembangan potensi menulis. Pengaruh itu porsinya bervariatif. Sekadar ATM dalam gaya tulisan, cara menuangkan pemikiran sampai dengan mengimani personalitas sebagai keteladanan. Masing-masing porsi itu akan menentukan tingkat kematangan pengaruh.
Gaya tulisan ini selanjutnya berusaha dibina dan dikembangkan dalam program tantangan 30 hari menulis. Tantangan istikamah (pendisiplinan diri) dalam tahapan aksiologis. Dalam tahapan aksiologis ini setiap peserta dikondisikan sedemikian rupa untuk memenuhi target. Target dalam tantangan itu di antaranya: tulisan minimal harus 250 kata, tulisan diunggah di platform yang telah ditetapkan, dan jenis tulisan bersambung sesuai genre yang dipilih.
Tahapan akasiologis secara signifikansi fokus pada tataran praktek. Para peserta diarahkan dan dibina membuat proyeksi buku mandiri. Meski kemudian dalam prakteknya, sangat musykil seorang penulis pemula merampungkan satu naskah buku solo perdana dalam tenggat waktu sebulan. Terlebih lagi proses menabung seri tulisan itu hanya ditarget 250 kata dalam sehari. Jika dikalkulasikan dalam kurun waktu sebulan, maka total tulisan yang terkumpul itu hanya akan mencapai angka 7.500 kata. Sekitar 15 lembaran kertas HVS. Jumlah halaman yang jauh dari batas minimum menerbitkan sebuah buku.
Kendati demikian fakta itu setidaknya memberikan deskripsi konkret tentang bagaimana seorang penulis bekerja. Mencicil adalah salah satu metode efektif menulis dalam himpitan kesibukan. Penulis dalam mode ini hendak membuktikan diri bahwa kesibukan bukan alasan mutlak untuk mematikan potensi. Kesibukan bukan halangan yang berarti dalam memberdayakan diri untuk lebih baik dari waktu ke waktu. Sebaliknya, justru momentun ini adalah ajang untuk menunjukkan taji. Sekecil apa pun kesempatan itu jika tekad sudah bulat harus tetap dimanfaatkan.
Bukankah peribahasa mengatakan: "Sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit?". Hal yang sama saya kira berlaku juga dalam konteks mengasah potensi literasi diri. Manajemen waktu adalah kuncinya. Sedangkan selebihnya disokong oleh kemampuan dan kemauan diri untuk terus berpacu. Berpacu mengelola setiap kesempatan yang ada dan tersodor ke muka semaksimal mungkin. Jangan sampai salah langkah dalam mengambil keputusan dan cara kerja.
Selain itu tantangan 30 hari menulis juga menjadi penting dalam kontribusi sensasional peran sebagai penulis. Melalui proses ini penulis pemula turut merasakan kenikmatan dan tantangan bagaimana penulis profesional (kawakan) menyusun tulisan demi tulisan hingga menjadi naskah yang utuh.
Tentu saja bukan tentang mengejar target semata-mata, akan tetapi lebih kepada proses panjang yang dilakukan. Pesan dan kesan yang dituai dari pengalaman itu akan menjadi sesuatu hal yang berharga. Dalam konteks yang sama momentum yang berbeda, bahkan hal itu dapat menjadi preferensi masing-masing peserta dalam mendulang karya demi karya selanjutnya.
Di lain pihak, sebagai upaya apresiasi diri dan menebus ketidakmampuan menerbitkan buku mandiri, pihak panitia juga menggalakkan program terobosan menerbitkan buku antologi. Tembus tidaknya program ini bergantung banyak pada tupoksi rayuan maut kakak pendamping kelompok. Bahkan yang demikian menjadi tampak begitu vulgar tatkala pendamping melakukan konsolidasi penentuan harga penjualan produk untuk meraup keuntungan.
Upaya meraup keuntungan tersebut menegaskan adanya target terselubung lain yang hendak dicapai. Terjualnya ratusan bahkan ribuan eksemplar buku antologi peserta batch menjadi kulminasi pihak penyelenggara. Yang demikian dibuktikan dengan diwajibkannya para peserta setiap batch untuk membeli minimal 2 eksemplar buku.
"Jika kran sensitivitas itu telah terbuka, maka seluruh kegiatan yang dilakukan hakikatnya dapat menjadi ide" Keren! Informatif, juga jadi bhn refleksi diri. Terimakasih Pak!
BalasHapusSiap teh. Sami-sami.
HapusSangat nyata utk refleksi diri.
BalasHapusHeheh iya Bu.
Hapus