Langsung ke konten utama

Menjadi Pribadi yang Berkualitas Melalui Karya

Dokpri ilustrasi siswa menulis

Bahagia tak terkira tatkala saya mengetahui penyusunan naskah buku perdana siswa-siswi SDIT Baitul Qur'an rampung dan siap terbit. Rasa bahagia yang menyeruak seiring rasa syukur terpanjatkan ke haribaan pemilik Kalam dan Qolam. Tentu ini merupakan capaian baru yang selaiknya dirayakan dan dilestarikan. 

Dirayakan karena siswa-siswi dapat keluar dari zona nyaman yang stagnan. Keluar dari hegemoni sistemik yang dilanggengkan dari tahun ke tahun. Paradigma sekolah sekadar menggugurkan kewajiban formalitas belaka tanpa ada out put nyata yang dapat dinikmati bersama harus segera ditinggalkan. Diubah menjadi aksi nyata yang menghasilkan pundi-pundi karya sebagai jejak peradaban.

Dilestarikan karena memang hakikat dari lembaga pendidikan adalah kanalisator peradaban. Peradaban yang lekat akan tradisi literasi. Sementara sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya adalah agen of change untuk kemapanan masa depan. Maka dapat dipahami secara saksama bahwa proses pendidikan yang alakadarnya dan jauh dari budaya literasi akan menghasilkan produk--generasi--yang biasa-biasa saja. Nihil akan orientasi dan prestasi. 

Sebaliknya, proses pendidikan yang getol menggalakkan budaya literasi dengan baik akan mengalami transformasi dari waktu ke waktu. Perubahan menuju kebaikan terus meningkat, berbagai prestasi didulang dan mencetak out put yang berkarakter kuat. Capaian demi capaian tersebut tentu menjadi barometer: bahan evaluasi atas eksistensi lembaga pendidikan di jantung kehidupan masyarakat efektif atau tidak.

Dalam konteks inilah terbitnya buku antologi Simponi Kata Kumpulan Puisi dan Pantun menjadi bukti transformasi lembaga. Transformasi dalam bentuk produktivitas karya siswa. Produktivitas karya siswa yang dapat dipublikasikan kepada khalayak ramai. Satu upaya yang jauh lebih baik daripada sekadar mengerjakan tugas karena terdesak nilai raport dan skak mat guru. 

Mengapa transformasi perubahan itu disebut jauh lebih baik? Sebab keduanya memiliki polarisasi kerja, hasil dan dampak yang berbeda jauh. Pola yang pertama cenderung mendikte siswa yang berorientasi sekadar menggugurkan tugas. Tugas dipandang selesai setelah nilai diperoleh dan diberikan. 

Dampak dari pengerjaan tugas itu hanya memetik kepuasan bersifat personal. Bahkan tak jarang hasil tugas yang telah dinilai itu dicampakkan begitu saja. Terkadang kertas tugas itu dirobek untuk dijadikan origami atau pesawat terbang mainan. Fakta ironis dalam dunia pendidikan kita kurang lebih demikian. 

Berbeda halnya dengan pola tugas berbasis proyek yang bersifat instruktif-struktural. Tugas-tugas siswa diarahkan untuk meningkatkan produktivitas karya. Tugas yang dikemas dalam satu tema tertentu dikumpulkan secara kolektif, disunting sesuai standar dan disulap menjadi buku yang dapat dinikmati khalayak. Alhasil, kepuasan, inspirasi dan energi positif dapat dirasakan secara universal. Siapa pun itu selama ia membaca buku tersebut. 

Buku Simponi Kata yang berisikan 23 puisi dan 32 pantun tidak terbit di ruang hampa melainkan mengarusutamakan dua tema utama: peringatan Hari Guru Nasional dan HUT RI ke-78. Melalui kumpulan karya siswa-siswi tersebut setidaknya terdapat beberapa hikmah (pembelajaran) yang dapat kita petik bersama. Di antaranya ialah sebagai berikut: 

Pertama, mengapresiasi potensi. Potensi literasi dalam diri setiap orang adalah modal utama dalam perkembangan fase hidup. Semua orang bisa berbicara, memahami, menghafal dan menulis apa pun yang diketahui. Akan tetapi khalayak umum cenderung mewarisi tradisi oral (verbal) dari orangtua dan lingkungan sekitarnya. 

Padahal jika ditelisik lebih lanjut dan ditinjau dari aspek kemanfaatan yang diusung, ruang lingkup dan jangkauan tradisi verbal jauh lebih sempit. Ucapan akan mudah dilupakan seiring bergantinya waktu. Ucapan akan terkubur seiring tumpulnya ingatan. Ibarat gema suara yang akan hilang ditelan ruang karena tersekat jarak dan frekuensi, (Much. Khoiri, 2020: 13).

Sementara itu rangkaian kata yang dituliskan akan berusia panjang. Kendati penulisnya meninggal dunia belum tentu ide, gagasan dan pengalaman akan ikut pupus. Selama ide, gagasan dan pengalaman itu dituliskan dalam sebuah karya dan dipublikasikan ia akan terus hidup melintas zaman. Tentu jika seorang penulis tahu karyanya hidup melintas zaman akan menjadi kebanggaan tersendiri. Betapa bermakna hidupnya mampu memberikan arti penting bagi yang lain. 

Begitu pula yang berlaku dengan karya siswa yang dibukukan. Tentu akan menjadi kebanggaan tersendiri--melukiskan arti--jika karyanya bermanfaat, dibaca dan digemari oleh khalayak umum. Bukan soal nama yang harum dikenal publik namun banyaknya apresiasi yang diterima dari orang lain tentu akan membangun kesadaran diri untuk meningkatkan potensinya lebih baik lagi. 

Kedua, mengabadikan jejak. Siapa gerangan yang tidak kenal dengan kata-kata bijak: verba volan scripta manen? Saya kira semua orang sudah mafhum betul kenapa tokoh-tokoh besar seperti Muhammad al-Fatih, Al Makmun, Al Ghazali, Salman Alfarisi, Imam Syafi'i dan lain sebagainya terus dikenal dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ya karena ide, gagasan dan jejak kehidupannya diabadikan dalam karya. Ditulis dalam buku. 

Begitupun dengan sepak terjang siswa-siswi berproses dalam dunia pendidikan. Ide kreatif, gagasan dan ekspresi diri serta pengalaman hidupnya dapat diabadikan dengan baik melalui suatu karya. Jejak-jejak kehidupan selama berproses dalam dunia pendidikan yang dituangkan dalam karya itu akan memotret signifikansi perkembangan diri dan potensi yang dimiliki siswa dari waktu ke waktu. 

Utamanya dalam menilik perkembangan gagasan, wawasan dan kualitas literasi dari berbagai jenjang kelas. Mulai dari kelas bawah hingga atas akan tampak jelas di mana titik perbedaan-perubahan: perkembangan dan peningkatan kualitas diri. Yang demikian akan terbaca jelas melalui tulisan demi tulisan dalam karya yang dirangkaiannya. 

Ketiga, membangkitkan jiwa sportivitas dan kompetitif. Aspek yang tidak kalah penting dari terbitnya buku antologi karya siswa-siswi perdana ini adalah begitu besar peluang untuk membangkitkan ghiroh sportivitas dan kompetitif dalam diri khalayak umum siswa. Jika selama ini siswa tidak percaya diri untuk tampil di depan khalayak umum--bahkan teman sebayanya sendiri--karena memang mereka tidak memiliki modal yang cukup. Salah satu modal itu di antaranya adalah tidak memiliki budaya literasi yang baik; minim.  

Budaya literasi yang minim tentu akan berimbas pada perolehan pengetahuan yang dangkal; minim. Minimnya pengetahuan menjadikan siswa miskin akan inventarisasi kata dan pemahaman. Alhasil, siswa tidak percaya diri untuk berbicara di muka umum. Baik itu tampil dalam rangka mengeksplorasi gagasan atau sekadar untuk menggugurkan tugas sekolah. 

Sebaliknya, jika siswa sudah memiliki budaya literasi yang baik; mapan, tentu mereka memiliki modal yang cukup untuk tampil di ruang publik. Memiliki wawasan pengetahuan luas, inventarisasi kata tak terhingga dan pemahaman yang baik tentu akan membangun kesadaran sekaligus kepercayaan diri yang kokoh. Di mana pun adanya jika diberikan kesempatan dan kepercayaan atas suatu tugas dapat dipastikan dirinya siap tampil dan berkontribusi.

Momentum tampil di ruang publik bukan lagi dianggap momok. Ruang-ruang kelas adalah kontestasi penjajalan pengetahuan. Mereka sangat suka untuk tampil sebagai sosok. Tidak ada lagi rasa minder, malu dan takut salah dalam proses pembelajaran di sekolah. Bahkan mereka merasa tidak cukup sekaligus tertantang untuk memasuki gelanggang persaingan yang lebih ketat dalam kompetisi skala luas. 

Saya memiliki pandangan dan keyakinan kuat bahwa budaya literasi di sekolah akan kian melejit manakala disulut dengan satu capai baru terlebih dahulu. Satu capaian ini setidaknya menjadi bahan renungan (refleksi; kaca benggala) bagi khalayak siswa bahwa dirinya mampu. Jiwa-jiwa kompetitif dalam dirinya harus disumat secepat mungkin demi kebaikan perkembangan potensi di masa depan.

Keempat, terbitnya karya sebagai jembatan prestasi. Tidak dapat dipungkiri, penerapan kurikulum merdeka di satuan lembaga pendidikan memiliki orientasi out put karya, prestasi dan karakteristik siswa yang unggul. Harapannya dengan program festival karya melalui penerbitan buku karya siswa mampu menjadi torehan prestasi tersendiri bagi masing-masing siswa. 

Torehan prestasi dalam bentuk karya tulis ini penting sebagai salah satu modal untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Produktivitas karya ini setidaknya mampu menjadi bahan pertimbangan pengampu kebijakan untuk menerima masing-masing siswa di lembaga pendidikan tertentu yang diminati. Tidak menutup kemungkinan besar modal dasar ini akan kian berkembang dan terasah di jenjang pendidikan selanjutnya.

Kelima, menambah koleksi buku perpustakaan. Sudah menjadi rahasia umum saya kira, jika sekolah yang baik senantiasa memiliki koleksi buku perpustakaan sekolah yang mapan. Bercermin pada sekolah-sekolah favorit, perpustakaan sekolah menjadi tempat ternyaman untuk nongkrong siswa tatkala istirahat tiba. 

Tentu yang demikian itu bukan semata-mata isapan jempol belaka. Bukan kabar hoaks yang diviralkan tanpa filterasi terlebih dahulu. Tidak, tidak demikian adanya. Ketersediaan sarana-prasarana sekolah yang mapan tentu akan mendorong siswa untuk lekas memanfaatkannya secara maksimal. Memaksimalkan kesempatan untuk mengasah keterampilan dan potensi diri. 

Fakta ini berbanding terbalik dengan lembaga kita yang sangat minim akan koleksi buku di perpustakaan sekolah. Jika pun terdapat beberapa buku itu pun hanya diisi dengan buku paket yang kondisinya sudah uzur. Tidak ada buku-buku standar bacaan anak-anak sekolah dasar. Bahkan kondisi ter-update, satu rak buku tampak masih kosong. Tentu yang demikian itu adalah PR kita bersama sebagai pengelola kebijakan. 

Kendati begitu, nihilitas itu akan tergantikan dengan cepat manakala kami berusaha mengisi rak itu dengan buku-buku karya siswa. Siswa tidak hanya merasa bangga karena karyanya dapat dibukukan dan saling dibaca oleh sesama teman, namun karya demi karya itu juga akan memantik antusiasme khalayak siswa lain untuk ikut berpartisipasi sebagai penulis diproyek selanjutnya. 

Jika telah demikian, tidak usah jauh-jauh lagi kita mencari inspirasi untuk melejitkan potensi diri setiap siswa, sebab tokoh inspiratif mereka ada di dekat mereka.  Setiap kakak kelas adalah role model; sosok inspiratif yang harus diteladani. Utamanya dalam membangkitkan ghiroh literasi dalam berkarya. Meskipun mereka telah purna di lembaga (SDIT Baitul Qur'an) akan tetapi sosok dan karyanya senantiasa menjadi rujukan adik kelasnya dari generasi ke generasi selanjutnya. 

Keenam, menjunjung tinggi kualitas lembaga. Buku antologi karya siswa ini tentu juga diperlukan untuk transformasi lembaga. Kebutuhan untuk mendongkrak popularitas citra di ruang publik dan pemenuhan kebutuhan bobot akreditasi jika ditinjau dari sisi administrasi. Tidak sedikit sekolah yang berkualitas memiliki agenda penerbitan karya siswa secara berkala dan teragendakan dengan baik setiap semesternya. 

Program tersebut bahkan diafirmasi langsung oleh wali murid secara mujmal demi mengakar rumputnya budaya literasi di lembaga. Wali murid mafhum betul tentang penggalakan terobosan baru demi kemaslahatan dan kemajuan bersama itu harus disupport penuh oleh berbagai unsur. Tak terkecuali sokongan dana dan kesediaan berpartisipasi dari unsur wali murid. 

Sedangkan hikmah terbitnya buku antologi siswa selanjutnya, adalah meningkatkan kualitas hidup. Melalui karya tulis yang dibukukan sejatinya masing-masing siswa sedang beramal baik. Beramal baik dengan menuliskan, menyebarkan dan memberi kemanfaatan sesuatu hal positif. Beramal baik dengan berlandaskan Kalam Allah sebagaimana termaktub dalam surat Al 'Alaq: 1-5. 

Dalam artian kita menulis dalam rangka mengimani, mengamalkan dan berdakwah bil qolam di jalan Allah. Sebab, bagaimana pun, menulis itu ibarat kita sedang membuat mata air untuk mengairi tanaman di sawah dan ladang. Hasil panennya akan berlimpah ruah dan dapat dinikmati bersama manakala dilandasi niat ibadah. Menulis dengan tujuan menyingkapkan pengetahuan dan menyampaikan ibrah yang ditunjukkan oleh Allah swt kepada diri kita dan memberikannya kepada khalayak umum. 

Terakhir, jangan terlalu larut dalam euforia terlahirnya buku perdana ini. Sebab ini hanyalah awal dari perjuangan panjang yang harus kita lampaui. Jangan sampai kita berpuas diri secara dini. Terus tingkatkan kualitas diri melalui karya tulis yang dipersembahkan kepada khalayak umum. Harapan ke depannya, buku demi buku akan terus terlahir. Baik itu karya siswa  ataupun dewan guru. Mari menjadi bagian dari peradaban ilmu. 


Tulungagung, 12 Desember 2023


Komentar

  1. Bagus sekali Mas Roni. Betul sekali buku antologi siswa memiliki berbagai manfaat. Baik bagi siswa maupun lembaga. Kurikulum Merdeka memang berorientasi terhadap produk belajar. Dengan adanya buku karya antologi siswa, tentu menjadi pemantik kedepannya untuk mengahasilkan karya siswa selanjtnya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal