Kesadaran
Laki-Laki Versi Lagu Bojoku Galak
Membaca tulisan
yang berjudul “Bojoku Galak” dalam kacamata analisis feminis sekaligus peneliti
muda membuat saya brigidig. Dibuat polos menganga dan menjadikan bulu
roma saya hampir berdiri. Hampir mati kutu saya membacanya. Sang penulis
mula-mula hendak menegaskan jeritan dan lolongan hati perempuan yang
terepresentasikan dari sya’ir atau lirik lagu yang booming dicover oleh Via
Vallen tersebut. Meskipun pada kenyataannya tidak dapat dipungkiri pula, bahwa lagu
“Bojoku Galak” memang kerap kali atau bahkan lebih sering didendangkan
oleh banyak penyanyi perempuan.
Penggalan lirik
lagu “Saben dino rasane ora karuan. Ngerasake bojoku sing ra tau perhatian.
Nanging piye maneh atiku wes kadung tresno. Senajan batinku ngempet ono njero
dodo”, menjadi pijakan dasar analisis. Menurutnya, pembawaan lagu “Bojoku
Galak” oleh mayoritas penyanyi perempuan bukanlah suatu kebetulan,
melainkan merupakan rasa perih dari tuaian kekerasan dalam berumah tangga. Di
satu sisi memfokuskan masalah pada perlakuan tidak indah suami terhadap sang
isteri. Hal yang demikian terindikasikan dari vokalisasi lirik “bojoku galak”
yang kerap kali dan terus-menerus banyak diulang. Dikatakan semacam potretan relasi
domestik dalam pasutri.
Bahkan
analisisnya lebih spesifik lagi, dimana penindasan dan bentuk kepasarahan
perempuan kepada laki-laki yang diproyeksikannya sebagai imam mendapat
legitimasi pembenaran dari adanya rasa cinta yang mekar di hati sang korban
sendiri. Segala bentuk penindasan tersebut dibenarkan atas nama cinta. Termasuk
di dalamnya kekerasan, kekasaran dan bertindak seenaknya sekalipun tidak
manusiawi. Telah menjadi motif permisif dan mengakar kuat sebagai tradisi
patriarkal yang sama sekali akut. Sehingga sang penulis dengan menggebu-gebu
hendak menegaskan bahwa sama sekali tidak ada dasar yang menjadi jaminan
pembenaran atas hal yang demikian.
Lebih jauh
menegaskan, terdapat tiga lapis kekerasan yang dialami perempuan dalam hubungan
pasutri terceminkan akut dalam lirik lagu tersebut. Pertama, kekerasan
verbal. Dimana sang isteri akan dengan mudah dicaci maki suami dengan balutan
rasa marah yang meluap-luap. Kedua, kekerasan psikis. Gerak-gerik sang
isteri dihukumi salah di mata sang suami secara monoton dan itu sudah barang
tentu nyesek di hati. Dan pada akhirnya sang isteri hanya bisa membantin. Sementara
pada lapisan ketiga, terjadinya kekerasan fisik. Biasanya laki-laki
lebih suka memilih bertangan ringan sebagai bentuk pelampiasan. Sungguh terlalu.
Sementara lirik “lek ra kuat ya ditinggal ngopi” menandakan adanya sikap
pertimbangan. mencari solusi antara berhenti dan melanjutkan relasi pasutri.
Namun sesaat
kemudian saya dibuat kikuk dengan penemuan fakta yang mencengangkan, bahwa
pencipta lagu “bojoku galak” tersebut adalah seorang laki-laki yang
merupakan salah seorang warga penduduk Yogyakarta. Tidak hanya pencipta lagunya
yang berjenis kelamin laki-laki, bahkan yang pertama kali membawakan lagu
tersebut ialah penyanyi laki-laki. Sehingga dengan penuh kelatahan saya harus
menyumpal kembali apa yang telah terlumat habis dalam analisis di atas. Jika
demikian, ada indikasi bahwa maksud sya’ir atau lirik lagu “bojoku galak”
tersebut dibuat atas dasar tiga kemungkinan. Pertama, lirik lagu
tersebut memang bermaksud mencitrakan perasaan perih perempuan dalam kacamata
bingkai patriarkal. Kedua, dimaksudkan untuk menceritakan nasib perempuan
setelah menikah yang berusaha dibingkai dari sudut pandang perempuan itu
sendiri. Atau mungkin yang ketiga, dimana lagu tersebut diciptakan dalam
rangka merepresentasikan kesadaran “sikap” seorang suami (laki-laki) tatkala dihadapkan
dengan persoalan relasi keluarga, pasangan suami-isteri.
Hemat saya,
petunjuk berikutnya terdapat dalam penggalan lirik “lek ra kuat ya ditinggal
ngopi”. Dalam tradisi sosial kebudayaan masyarakat jawa, ngopi merupakan
tradisi yang berjenis kelamin laki-laki. Jika tidak percaya dan membutuhkan
bukti akurat, silakan dicek sendiri, bahkan di setiap waktu saya hampir dibungkam
paksa tatkala menemukan mayoritas warung kopi selalu didominasi oleh kaum adam.
Jikalau itu ada perempuan, terkadang labelitas sinis dan stigmatif disematkan
kepadanya tanpa kompromi. Kecuali penjualnya memang perempuan. Hal itu dapat
dilihat dari gerak-gerak kaum lelaki yang melempar pandangan sinis ke arah
perempuan tanpa henti tatkala di warung kopi. Terlebih-lebih itu malam hari. Loh
kok bisa?.
Selain itu,
masih ada asumsi lain yang mengindikasikan bahwa penggalan lirik “lek ra
kuat ya ditinggal ngopi” itu memang ditujukan sebagai kebudayaan patriarki.
Dalam relasi keluarga dapat kita saksikan bahwa yang sering dan memiliki
kebiasaan ngopi begitu aktif umumnya adalah suami, laki-laki. Hampir setiap
pagi, siang, sore dan malam hari mencicipi kopi. Bahkan tidak jarang, meskipun
telah berkeluarga, sang suami lebih memilih ngopi di warung kopi bersama
teman-teman sebaya permainannya. Sebagai kepala keluarga sudah barang tentu
laki-laki akan memiliki ruang gerak yang sangat aktif dibandingkan sang isteri.
Dapat ngopi sana dan sini. Mungkin jika ada suami yang nakal, bisa keluar rumah
seenaknya tanpa meminta izin kepada sang isteri untuk nongkrong di warung kopi.
Sementara hal yang demikian sangat begitu jarang terjadi dipihak perempuan,
sang isteri. Bahkan jika ingin mencicipi kopi, sang isteri akan lebih memilih
ngopi di rumah saja. Selain ada cara pandang yang mengekangnya “dengan dalih
takut pada suami” dan menjaga keutuhan cintanya dengan jalan membungkam semua
hasratnya, sang isteri lebih takut dikutuk durhaka terhadap suami. Sebab
surga-neraka berada dalam dikte kekuasaannya dan setiap saat dapat mengancamnya
dengan dalil-dalil penuh kepentingan pribadi.
Sebab rasanya
sangat menjadi janggal, tatkala perempuan merasa tertindas oleh laki-laki, akan
tetapi malah memilih berlari dan bernaung dalam ranah publik dominasi laki-laki,
“ke warung kopi”. Dalam bingkai ngopi sebagai tradisi kebudayaan patriarki
tersebutlah laki-laki dapat melarikan diri dari persoalan yang sedang dihadapi.
Namun bukan berarti kabur dalam makna hakiki, melainkan berusaha mencari solusi
dari persoalan hubungan keluarga yang sedang dihadapi. Dapat diartikan pula,
sang suami sedang berusaha melerai persoalan yang ada dengan cara mendiamkannya.
Bukan dilawan dengan kekerasan, penindasan ataupun berbuat ulah tidak manusiawi
seenaknya. Dalam konteks ini, penggalan lirik lagu “Saben dino rasane ora
karuan. Ngerasake bojoku sing ra tau perhatian. Nanging piye maneh atiku wes
kadung tresno. Senajan batinku ngempet ono njero dodo” ini berlaku untuk keadaan
sang suami. Sementara penggalan “bojoku galak”, bisa jadi adalah
aporisma kekecewaan.
Dalam kasus ini
saya memandang, lagu ini merupakan representasi dari upaya kesadaran laki-laki
(suami) dalam melerai permasalahan relasi domestik pasutri dengan pendekatan sosial
kebudayaan lokal, ngopi. Ngopi dianggap sebagai ritual dalam menyingkap
permasalahan yang ada. Ngopi diartikan ngobrol penuh inspirasi. Sebab bisa jadi
dengan ngopi dapat bertukar pengalaman, mendapat inspirasi dan menuai masukan
yang mengena untuk dijadikan solusi dari keadaan yang saling mendiamkan. Namun,
sayangnya lagu itu juga sangat ketara terjebak dalam kesatruan. Mungkin dalam
upaya melerai permasalahan relasi domestik pasutri akan menjadi sangat indah apabila
kita juga tidak sekadar mendiamkannya sampai situasi benar-benar aman. Normal
kembali. Akan tetapi kita dapat juga meneladani sikap Rasulullah SAW. tatkala melerai
kecemburuannya siti Aisyah, sang isteri. Mendiamkannya sejenak, berkata manis
dan bernegosiasi dengan penuh kejujuran, ketulusan dan diliputi kasih sayang.
Komentar
Posting Komentar