Karena Keluarga Saya Petani
Membaca tulisannya mas Badawi yang berjudul
“Nikmatnya Bertani” menimbulkan getaran di hati. Menggiring rasa simpati
sekaligus merasa berdosa terhadap kedua orang tua saya selaku petani. Pertama,
menggiring rasa simpati. Memang benar apa yang telah dijelaskan oleh mas
Badawi, bahwa para petani dalam kontinuitas pekerjaannya telah membangun budaya
interaksi sosial yang unik dengan segenap balutan kesederhanaannya. Melibatkan
vokalisasi yang keras, mimik, gestur dan kode-kode tertentu yang merepresentasikan
apa yang hendak diujarkannya. Sederhananya, berkomunikasi di area pertanian
memiliki kekhasannya tersendiri. Menambah gaya interaksi sosial yang kemudian
menjadi budaya dalam tradisi bertani.
Gaya interaksi sosial dalam tradisi bertani itu
pula yang sering menjembatani tumbuhnya rasa simpati di antara para petani.
Saling memahami apa yang menjadi kebutuhannya dalam akitivas bertani. Sehingga
tidak segan-segan untuk saling berbagi wawasan, pengalaman dan bahkan
menyodorkan solusi terhadap persoalan pertanian yang sedang dihadapi satu sama
lain. Pola interaksi sosial dalam tradisi bertani ini menyebar pada aspek
komunikasi intens yang lain. Termasuk di dalamnya terjalin kedekatan emosional
layaknya ikatan persuadaraan. Sebab merasa senasib dan sepenanggungan.
Namun di balik sisi positif yang saling
menguntungkan tersebut, tidak jarang pula aktivitas dalam pertanian menampilkan
wajah negatif yang menyulut kontradiktif, sampai pada cekcok mulut bahkan
pertengkaranpun tidak dapat terelakan. Seperti halnya yang terjadi di kampung
saya. Monopoli irigasi sering terjadi. Dimana kali yang merupakan sarana umum
terkadang disabotase oleh satu pihak tertentu yang memiliki area persawahan yang
luas. Sementara lahan yang lain membutuhkannya. Padahal kali tersebut dibuat dan
dikelola bersama-sama. Aneh bukan?.
Tidak hanya demikian, terkadang ada pula kasus yang
lebih mencengangkan, dimana batas kepemilikan lahan digeser oleh oknum
tertentu. Jalan sebagai batas kepemilikan di antara dua sawah digeser. Hal ini
terkadang membuat geram pihak yang merasa dirugikan. Namun hal tersebut
terkadang diredam atas nama kerukunan, di simpan sampai pada akhirnya ada
proses pemutihan lahan. Selain itu, terkadang ada pula kasus yang lebih
nyeleneh, dimana hasil panen padi yang telah dikarungi dan siap dijemur hilang
dicuri orang. Jika demikian, entah apa yang akan menjadi pengering keringat
hasil jerih payah perjuangan.
Kedua, merasa berdosa terhadap kedua orang
tua saya. Jarak dan tekad telah memisahkan saya dengan keluarga tercinta,
sehingga tidak dapat membantunya setiap waktu. Namun saya tahu betul, bahwa
kedua orang tua saya tinggal di kampung, dan kebetulan profesi utamanya adalah
bertani. Memang lahan dan hasil panennya tidak seberapa banyak, namun hasil
pertanian inilah yang menjadi penyambung kehidupan keluarga kami. Tatkala musim
cocok tanam tiba, biasanya Ibu menyisihkan beberapa kilogram padi untuk
direndam di kolam. Proses perendaman ini dimaksudkan untuk menumbuhkan tunas
dan akar biji padi. Kurang lebih selama tiga hari proses perendaman ini
berlangsung. Kemudian, padi ditiriskan selama satu hari di daratan, yang
kemudian ditebar di lahan yang telah disiapkan dan ditutupi tipis dengan jerami
yang telah kering.
Sembari menunggu benih padi tumbuh sampai dengan
sekitar kurang lebih dua puluh lima centi meter, biasanya lahan yang kering
akan diairi terlebih dahulu, setelah itu baru dibajak. Untuk membajak sawah sendiri
biasanya ada beragam cara, bisa menggunakan traktor, bajak menggunakan tenaga kerbau
(bahasa Sunda red: munding) ataupun menggunakan cangkul secara manual.
Semua cara memiliki efektivitas dan efisiensi masing-masing. Tergantung keadaan
dan keinginan para petani tersebut. Saya tidak ingin mengatakan, bahwa
terkadang proses membajak sawah di kampung saya juga dipengaruhi oleh faktor
ekonomi, waktu dan keumumannya (bahasa Sunda red: galibna). Yang pasti,
membajak sawah selalu dalam rentan waktu yang bersamaan dengan khalayak para
petani di sekitar lingkungannya.
Pernah suatu ketika, beberapa kali saya diajak
sekaligus diajari cara untuk mencangkul sawah yang baik dan supaya tidak mudah
capek oleh bapak saya. Sembari mencangkul, sesekali beliau gemar menasehati,
kurang lebih demikian “Rek jadi naon bae, tetep kudu bisa merenahkeun awak. Ek
jadi guru nya tetep kudu bisa macul, bisa ka sawah jeung bisa kapake kunu sejen”.
(Ingin menjadi apa saja, tetap harus bisa beradaptasi. Jadi guru pun tetap harus
bisa mencangkul, bisa bertani dan mampu bermanfaat untuk orang lain). Namun bagi
saya tidak dipungkiri, mencangkul sawah dari jam tujuh pagi sampai jam dua
belas siang merupakan aktivitas yang sangat melelahkan sekali. Merasa pegal,
keram dan lecet di tangan adalah hal yang sangat lumrah. Meskipun demikian,
terkadang aktivitas yang memberatkan itu dilakukan hampir sampai jam lima sore.
Hanya berhenti sejenak untuk makan, minum dan sholat. Sebagai efeknya, biasanya
terasa di malam hari, terkadang bapak minta dipijati. Saya mulai memahami, bahwa tidak ada pekerjaan
yang benar-benar berat selama dikerjakan dengan ikhlas dan sepenuh hati.
Utamanya untuk mencukupi kebutuhan orang-orang tercinta dan yang terkasihi.
Satu-dua hari setelah dibajak, biasanya Ibu
langsung nandur binih pare (menanam benih padi). Dimana sebelumnya,
lahan kosong siap tanam telah terlebih dahulu digarisi kotak dengan rapi.
Biasanya menggunakan alat persegi panjang kongruen yang berbingkai kubus (dalam
istilah Sunda disebut geledeg). Proses ini lebih sering dikerjakan oleh
Ibu. Karena ada sumsi, perempuan lebih teliti dan rapi. Namun meskipun
demikian, terkadang bapak juga turut andil. Sementara saya lebih suka mengusung
benih padi yang siap ditanam. Alasan klasik untuk menutupi ketidakmampuan saya
untuk nandur padi.
Setelah proses nandur selesai, untuk
beberapa bulan ke depan proses pengairan yang stabil dan perawatan menjadi
perhatian. Salah satu cara perawatan tanam padi tersebut di antaranya ialah
dengan memberikan pupuk secukupnya. Biasanya ada dua jenis pupuk yang
digunakan, yakni pupuk kandang dan juga pupuk kimia. Sudah barang tentu
penggunaan pupuk tersebut sangat mempengaruhi pada pertumbuhan, kualitas biji
padi dan seberapa banyak hasil panen. Selain itu, perawatan lainnya ialah mengecek
irigasi secara bergantian setiap pagi dan sore hari. Tidak heran, hal ini
dilakukan, mengingat sabotase air selalu terjadi setiap saat, bahkan setiap
hari.
Proses panen adalah salah satu puncak kebahagiaan
para petani. Terlebih-lebih padinya bersisi dan berkualitas tinggi. Meskipun
terkadang hama dan bencana sering menggagalkan kebahagiannya tersebut.
Aktivitas panen padi di kampung saya masih tradisonal, tanpa selip padi. Untuk
memisahkan biji padi dengan batangnya cukup menggunakan media alat yang terbuat
dari perpaduan bambu dan kayu yang dibentuk segitiga siku-siku, dalam istilah
bahasa Sunda disebut gegebuk. Istilah yang dilekatkan pada cara kerjanya
cukup simple. Dimana biji padi yang masih menempel di batangnya dipukulkan
berkali-kali di alat tersebut, terus demikian sampai biji dan batang padi
terpisah. Proses yang lumayan menguras tenaga.Uniknya di kampung saya, semua
proses panjang dari rentetan bertani tersebut terkadang hanya cukup dikerjakan
oleh seorang ibu, utamanya tatkala sosok bapak sedang mencari kerja sampingan
di luar kota. Atau memang perempuan-peremuan dewasa lain yang telah menyandang
status sebagai janda.
Ah, namun sayang, semua rentetan proses tersebut
terakhir saya nikmati tatkala pertengahan kuliah di strata satu dulu. Rasanya
saya telah menjadi anak durhaka. Dimana akhir-akhir ini saya merindukannya,
sebab setiap pulang semester tidak mesti itu waktunya bertepatan dengan
bercocok tanam padi dan panen. Bahkan terakhir kemarin ada kabar kurang
menyenangkan, dimana padi yang sudah matang gagal panen akibat banjing bandang.
Air sungai meluap menutupi persawahan.
Ah, ada benarnya juga apa yang telah disampaikan Bu
Ahdar dalam tulisannya yang berjudul “Memaknai Waktu dalam Surah al-Ashr”,
waktu tepatlah waktu, dimana keadannya tidak dapat diulang, dipercepat ataupun
diperpanjang. Sebab yang telah terlewati adalah kenangan. Apa yang sedang
dijalani adalah kesempatan waktu untuk berproses yang harus di majemen secara
matang. Dan besok adalah waktu yang keadaannya harus lebih baik dari sekarang.
Komentar
Posting Komentar