Langsung ke konten utama

Refleksi


Pengambinghitaman Perempuan
Diliputi ironis dan penuh rasa kegetiran tatkala saya membaca tulisan yang berjudul  “Sarjana Kok Cuma Jadi Ibu Rumah Tangga?”. Begitu kecut saya merasakan setiap patahan kata yang disuguhkan, terlebih-lebih setiap deret kata itu berujung pada simpulan kalimat yang sangat menohok. Dalam permulaan, seolah-olah penulis hendak memberikan pencitraan yang berimbang antara ruang gerak perempuan dan laki-laki tatkala berada di ruang publik. Namun ternyata hal itu hanyalah berakhir pada sudut ring penghakiman, “pengambinghitaman”. Menjadikan perempuan sebagai sasaran empuk marginalisasi dalam menghidupkan perwacanaan. Mengumbar opresi habis-habisan terhadap identitas perempuan dalam tradisi domestifikasi yang telah disematkan oleh laki-laki dan diamini perempuan. Hampir saya mengasumsikan bahwa tulisan tersebut lahir dari rahim laki-laki berparadigma penganut tradisi patriarki garis keras. Sebab, sampai hati menjadikan perempuan sebagai kambing hitam.
Hemat saya, pengambinghitaman perempuan tersebut bermuara pada gagalnya pemahaman terhadap beberapa hal. Pertama, gagalnya kontruksi kebudayaan sosial dalam upaya memanusiakan manusia. Kebudayaan sosial justru telah membuat distingsi yang jauh sekaligus membuat labelitas pasif antara subjek dan objek. Mulanya manusia hendak membuat sekumpulan sistem, tata tertib dan sekelumit kode etik yang dibakukan dalam upaya mengakui dan menghargai pandangan hidup manusia yang disebut “lingkungan”. Namun nyatanya, hal yang demikian justru malah menjerat dan mengebiri potensi alami manusia, hingga akhirnya terjerumus dalam pengobjektifan identitas oleh sistem yang telah dibuatnya sendiri. Dimana cara pandang patriarki dibenamkan di setiap kepala, dipukul rata, dituntut sama dan menikmati beban yang sama sekali mungkin tidak disukainya, bahkan dikehendakinya. Jelas hal ini bermula dari tidak adanya kesepakatan antara dua belah pihak. Bahkan kenyataannya kebudayaan sosial cenderung diputuskan oleh satu pihak, laki-laki. Belum lagi terdapat peraturan dan perlakuan khusus terhadap perempuan yang sangat ketara mengopresi, mensubodinasi dan memarjinalkan identitasnya.
Kedua, ketidaksadaran dalam berpendidikan. Dalam tahapan ini, sudah barang tentu kesadaran manusia sebagai titik acuan. Sementara pada poin pertama, sistem yang telah mengendalikan manusia. Pengobjektifan tersebut semakin kukuh tatkala manusia sebagai subjek yang larut dan carut-marut dalam dunia pendidikan hilang kesadarannya. Tatkala belajar manusia hanya hanyut, manut dan terombang-ambing oleh sistem pendidikan tersebut, tanpa menakar dan mempertimbangkan sejauh mana ilmu yang diajarkan telah berhasil direngguk dan ‘apa manfaat sekaligus bagaimana ilmu itu harus dipraktekkan dalam kehidupan sosial’. Sederhananya bagaimana ilmu yang telah didapatkan dari dunia pendidikan mampu mengaktualisasikan diri sebagai manusia seutuhnya. Namun sayangnya, manusia lebih suka menampilkan wajah ketidaksadarannya dalam proses berpendidikan, sehingga menjalaninya atas dasar alakadarnya. Proses menulis dan membaca hanya dijadikan alasan klasik untuk menebus selembar ijazah. Padahal sejatinya, menulis dan membaca adalah jalan untuk memaknai hidup dalam bingkai keberadaban, keberartian dan penuh penghayatan. Kegagalan berpendidikan ini berlaku untuk umum, baik laki-laki ataupun perempuan. Namun sayangnya, paradigma dunia pendidikanpun terkadang lebih dimoninasi laki-laki, mengesampingkan perempuan.
Ketiga, tradisi patriarki sebagai candu. Apa yang telah diusulkan oleh kaum feminis liberal, dimana pendidikan diproyeksikan akan membebaskan perempuan sebagai manusia yang setara dengan laki-laki mengalami kegagalan. Pendidikan nyatanya tidak memanusiakan perempuan seutuhnya. Hal ini bukan berarti menihilkan usaha perempuan dalam kontestasi dunia pendidikan. Menuai pandangan, hak-hak dan kebebasan yang sama dalam ranah publik mungkin terjadi, namun pada akhirnya hanyalah menjadi beban ganda. Perempuan dengan bebas bekerja di ruang publik namun setelah kembali ke rumah dibebani dengan sekelumit urusan domestik. Kenyataannya tradisi superior patriarki tetap kokoh menjadi cara pandang yang tabu sekaligus sulit untuk dinafikan. Jika demikian entah siapa yang harus disalahkan?.
Keempat, dalil-dalil kepemilikan yang dilegitimasi azas pernikahan. Terdapat persepsi lumrah, bahwa setelah menikah semua urusan domestik (kasur, sumur dan dapur), gerak-gerik (ruang gerak) dan keinginan perempuan dikendalikan sekaligus berada di bawah kendali sang imam, laki-laki. Tidak heran, atas dasar kecemburuan dan ketakutan laki-laki, terkadang perempuan harus meruntuhkan segenap cita-citanya di ruang publik. Terlebih lagi ada banyak ranjau legitimasi yang setiap saat dapat dikeluarkan oleh sang suami kepada isteri. Bahkan tak jarang menjadikan surga-neraka sebagai jaminan permainannya. Terkadang doktrin agama sering dijadikan dalih kekerasan dan ketimpangan gender dalam urusan rumah tangga. Ada asumsi barbarian, perempuan sebagai benda yang dengan seenaknya bebas diekspolitasi dan subordinasi. Nampaknya, akan menjadi sangat penting untuk meninjau kembali sikap Rasulullah SAW. dalam memperlakukan perempuan. Bahkan dalam menikahinya pun dalam misi sosial kemanusian atas dasar Rahman dan Rohim-Nya Allah SWT. Bukan atas dasar birahi tak terkendalikan.
Kelima, menikah sebagai jalan penghayatan dan memberikan arti penting kehidupan. Langkah penghayatan dan pemberian arti kehidupan tersebut dimulai dengan membangun relasi keluarga kemitraan. Dimana dalam memngasuh anak (parenting) adalah tanggungjawab suami dan isteri. Meskipun ada istilah, Ibu adalah madrasatul ulla untuk anak-anak yang didambakan. Berbagi dan saling membantu dalam urusan domestik. Akan sangat indah nampaknya, apabila mengerjakan urusan domestik secara bersamaan dan rasa memiliki tugas yang harus dipertanggungjawabkan. Tidak mengesampingkan, melainkan saling mendukung apa yang dicita-citakan.
   Ah sayang, perempuan tepatlah perempuan yang tidak bisa lepas dari pendefinisian cara pandang patriarki yang telah mendarah daging menjadi kebudayaan. Mungkin ada benarnya juga apa yang telah digadang-gadang oleh Simone de Beauvoir dalam magnum opusnya “Second Sex”, dimana perempuan untuk menjadi dirinya membutuhkan pendefinisian ulang atas paradigm kepermpuanannya. Namun saya percaya, pengembinghitaman itu akan segera usia dengan melejitnya kesadaran laki-laki yang diimbangi dengan bukti konkret kontribusi luar biasa dari perempuan. Sebab seorang sarjana tatkala berumah tangga selayaknya memiliki kesempatan untuk berbeda dalam urusan kreativitas dan inovasi yang menggigit.   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal