Langsung ke konten utama

Indonesia Belum Merdeka





Iftitah
Perang telah berakhir, suara tangisan yang bercampur dengan rasa keputus asaan telah hilang seiring begantinya zaman. Ceceran darah bukti pengorbanan kini telah terukir dalam catatan historis. Teriakan hisretris dan semangat yang menggebu-gebu tergambarkan dalam kata ‘Merdeka Atau Mati’, kini telah berganti menjadi teriak, sorak tanda kesenangan dan kebebasan. Tidak perlu lagi ada nyawa yang harus dikorbankan demi kebebasan, tidak perlu lagi ada ceceran darah mewarnai gersangnya tanah.
Sang Proklamator (Ir. Soekarno) pernah berkata : “berilah aku sepuluh pemuda maka akan ku gemparkan dunia”, kini kata tersebut hanyalah sebagai simbol dan bukti dari eksistensi yang pernah naik daun dalam benak pemuda-pemudi indonesia, bahkan mungkin bagi seluruh masyarakat indonesia.
Secara reflek kita menyadari bahwa perang telah usai, tapi bukti perjuangan kini hanya sebagai saksi bisu perjuangan tanpa ada semangat yang melekat. Berapa tugu tokoh pahlawan yang didirikan dan berapa buku historis yang pernah diterbitkan, tapi dengan serentak patut dipertanyakan, apakah semua itu memiliki arti?, Apakah semua itu hanyalah sebuah balas jasa belaka?, ataukah semua itu tidak ada esensi yang perlu terimplikasi dan apakah itu hanyalah sampah yang tidak memiliki arti dan makna hakiki?
Mungkin jawabannya tidak perlu dishare, karena setiap orang memiliki interpretasi yang tidak sama, dan mungkin diantara kita semua ada yang bersikap apriori tanpa motivasi untuk meneladani, dan tanpa adanya sikap kritis yang tertanam dalam diri untuk mengetahui makna esensi apa yang ada dibalik tanda.
Kita tahu negara ini telah merdeka, tapi sayang kemerdekaan itu hanya menjadi sebuah simbol belaka bagi negara. Kita tahu negara kita sudah merdeka, tapi sayang realitanya tidak ada yang merdeka. Kita juga tahu negara ini kaya, tapi sayang hanya menjadi tempat eksploitasi untuk investasi negara asing belaka. Sekarang coba hitung berapa aset bangsa ini yang telah menjadi milik bangsa asing, berapa perusahaan asing yang ekisitensinya naik daun di bangsa ini yang produksinya mampu mengalahkan perusahaan lokal yang ada, dan berapa merk barang ipmort yang mampu menguasai pasar perdagangan dinegara kita. Apakah itu yang disebut merdeka?, memang realitanya kita telah merdeka tapi hakikatnya kita masih dijajah bangsa lain. Secara kasap mata kita memang tidak sedang berperang namun esensinya kita sedang berperang dengan ideologi yang menguasai bangsa.
Kita sadar negara ini kaya tapi kenapa masih ada rakyat yang harus tinggal dikolong jembatan, ditempat timbulnya penyakit, dan bahkan hingga digerobak sampah sekalipun. Kita tahu di negara ini banyak perusahaan yang didirikan tapi kenapa rakyat ini hanya bisa menjadi jongos yang bangga akan pekerjaan, yang dianalogikan hanya sebagai pembantu dalam menyejahtrakan, memakmurkan dan memajukakan bangsa asing, padahal kita bekerja di tanah ibu pertiwi yang katanya telah bebas dari penjajahan. 
Apakah ini adalah salah kita sendiri yang tidak pernah mau mempelajari sejarah?, dan ataukah ini adalah sebuah takdir yang telah menghegemoni kaum proletar yang menjadi pemisah antara yang vertikal dan yang horizontal. Kemudian apakah kita hanya bisa dan harus berdiam seperti berlaga pilon tanpa ada perasaan miris sedikitpun?.
Hal itulah yang mesti kita renungkan, sudah begitu lama sekali kita dijajah yaitu selama 350 tahun (penjajahan secara real) dan sekarang kita sudah dijajah kemabali, apakah kita tidak pernah merasa lelah, bosan, dan tidak ada rasa sedikitpun untuk berusaha bangkit dan memberontak untuk mencapai kemerdekaan yang hakiki. Untuk mencapai yang hakiki ini sangatlah banyak jalannya (caranya), kita tidak perlu harus berseragam militer yang lengkap dengan perlengkapan persenjataannya, tapi cukuplah kita memfokuskan, menekuni, dan bersungguh-sungguh dalam bidang kemampuan (skill capabelity) yang kita gemari supaya mampu melonjak dan mampu menarik perhatian negara lain dengan prestasi yang tidak pernah terukirkan sebelumnya, sehingga bangsa lain tidak akan melirik bangsa ini sebelah mata. Akan tetapi dengan syarat usaha itu tidaklah dilaksanakan di satu sektor saja, tapi di berbagai sektor yang sekarang belum terjamah oleh mereka para serigala berbulu domba.

Realitas Konkret
            Sebenarnya bila kita menelaah dari realitas yang nyata, kita sendiri sudah bisa menyimpulkan bahwa kita boleh berbangga dengan kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia, tetapi disisi lain kita pasti miris dan menangis jika melihat realita bahwa kekayaan alam kita dikuasai oleh Bangsa asing. Sumber kekayaan alam Indonesi dieksploitasi hanya untuk memenuhi kebutuhan industri Negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Australia, Jepang dan China.
            Berdasarkan catatan Badan Pemeriksa keuangan (BPK) pada tahun 2013, dominasi bangsa asing di sektor Migas 70%, batu bara, bauksit, nikel dan timah 75%, tembaga dan emas sebesar 85% serta diperkebunan sawit sebesar 50%. Hal ini sangatlah jelas bahwa jumlah ini menunjukkan betapa lemahnya posisi pemerintah negara Indonesia untuk melindungi aset Negara. Selain itu juga di tambah dengan bukti mengenai adanya gunung yang dikuasai dan di jadikan lahan pertambangan oleh bangsa asing. Pertama,  Gunung Tembagapura yang ada di Mimika (Papua) dikuasai oleh Freeport sejak 1967, yang memfokuskan pada pertambangan emas. Kedua, Gunung Meratus yang ada di Kalimantan Selatan dikuasai oleh PT. Antang Gunung Meratus (AGM) sejak 1999, yang memfokuskan pada pertambangan batu bara. Ketiga, Gunung Salak yang ada dibogor dikuasai oleh PT. Chevron sejak tahun 1997, yang memfokuskan pada pertambangan geothermal. Keempat, Gunung Pongkor yang dikuasai PT. Aneka Tambang (Antam), yang memfokuskan pada pertambangan emas. Dan kelima adalah Gunung Ceremai yang ada di Jawa Barat yang dikuasai Chevron baru-baru ini yang memfokuskan pada kegiatan pertambangan emas.
            Dengan demikian sangatlah real bahwa ini menunjukan peran pemerintah belum mampu mempengaruhi perubahan bangsa yang signikfikan. Dan ini menunjukan bahwa bangsa ini belum mampu untuk mencapai kesejahtraan dan mobilitas menuju kejayaan. Apalagi menyandingkannya dengan mereka bangsa yang predikatnya maju, terlebih-lebih mengalahkan mereka.
    
Inovasi Mobilitas
Pergerakan itu mulai muncul di kampus tercinta ini (IAIN TULUNGAGUNG), yaitu dengan dibentuknya lembaga PUSDIKHAMI yang mencoba berinovasi untuk menegakkan HAM, yang cakupannya masih khusus daerah timur jawa (Jawa Timur). Lembaga ini baru saja diresmikan langsung oleh Prof. DR. Hafid Abbas (Ketua Komnas HAM Republik Indonesia) pada hari senin, 29 April 2014 yang tempat pelaksanaannya di Auditorium kampus. Kemudian setelah peresmian tersebut selesai, dilanjutkan dengan seminar nasional yang bertemakan “Hak Asasi Manusia (HAM), Islam, dan Kebangsaan” yang diisi langsung oleh tiga narasumber, yaitu : Bapak Imdadun Rakhmat (Komisioner Komnas HAM Republik Indonesia), DR. Ngainun Naim (Kepala Pusat Penelitian dan Penerbitan IAIN Tulungagung) dan Bambang Budiono (Direktur Pusham Surabaya), yang dimoderatori oleh Bapak Dekan FUAD tercinta yakni DR. Abad Badruzaman, Lc., M.Ag.
Hal ini juga bukti yang real bahwa kampus IAIN Tulungagung ini menuju kepada level go internasional sehingga tidak bisa dipandang sebelah mata oleh kampus-kampus yang lain. Dikarenakan pembentukan lembaga PUSDIKHAMI ini merupakan pertama kalinya dibentuk (first launching) ditataran Perguruan Tinggi (PT) yang ada di Indonesia.

Khotimah
            Dengan demikian semoga kita sadar bahwa perubahan itu sangat penting apalagi dalam rana yang positif. Lebih baik ada perubahan walaupun sedikit demi sedikit daripada diam ditempat meratapi penderitaan yang tidak ada akhirnya. Saatnya kita bangkit dari hegemoni Borjuis terhadap kaum Proletar, mari kita buktikan bahwa kemerdekaan yang telah ditebus dengan darah ini bukanlah sebuah simbol belaka, akan tetapi bukti real atas kesungguhan yang tak terbohongi. Perubahan itu akanlah mudah ketika dimulai dari hal yang kecil, yaitu dari diri kita sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal