Langsung ke konten utama

Budaya yang terlupakan

ASIMILASI CUSTOM WESTERN
MEMINORITASKAN NATURA CUSTOM INDONESIA


Iftitah
            Bergantinya zaman menjadikan banyak hal terus berubah dan berkembang, begitu juga dengan kebiasaan (custom) yang  menjadi suatu ciri khas kebudayaan bagi suatu daerah, akan menemukan sikap atau perilaku yang menyimpang dari kebiasaan yang sudah lama dijalankan. Hal itu diakibatkan telah masuknya suatu custom yang baru dan asing dimata kebudayaan, sehingga terjadinya suatu pengadopsian atas custom dari budaya lain dan menghasilkan perpaduan antara custom yang telah lama dijalankan dengan custom yang baru masuk, itulah yang dinamakan dengan istilah Asimilasi.
            Bila kita rasakan sudah tampak banyak hal yang masuk dari barat yang telah mempengaruhi kebiasaan asli atau natura custom dalam lingkungan kita, hal itu menjadikan masyarakat kita lupa dengan kebudayaan yang sudah lama dijalankan. Sehingga dampak negatif yang dihasilkan dari adanya suatu asimilasi custom yaitu terbentuknya suatu kelompok kecil masyarakat yang teguh memegang suatu custom yang telah lama dijalankan, namun kelompok ini dianggap terpojokkan dan tersisihkan oleh kelompok masyarakat yang merasa dirinya telah mengikuti custom yang sedang menjadi tren, kelompok kecil masyarakat terpojokkan dan tersisihkan inilah yang disebut dengan istilah Minoritas. Akan tetapi bagi mereka predikat atau sebutan itu bukanlah suatu hal yang buruk tapi suatu kebanggaan tersendiri bagi kelompoknya, dimana mereka mampu memegang teguh custom yang sudah lama dijalankan. Hal itu mendeskripsikan bahwa mereka bukanlah orang-orang yang lupa akan almamater (asal mula) mereka, sekaligus menunjukkan bukti keloyalan mereka atas kebudayaan daerah mereka yang berarti cinta akan kebudayaan Negara mereka sendiri.
            Suatu contoh fakta yang membuktikan bahwa masyarakat kita yang ada di negara Indonesia ini sudah tidak peduli lagi  atas keberadaan custom, yaitu bila mereka ditanya mengenai kebudayaan yang ada di negara Indonesia pasti tidak semua orang akan mengetahui apa saja kebudayaan yang ada. Padahal negara Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai pulau kurang lebih 17.506 pulau dan mempunyai luas wilayah sekitar 5.193.000 km² lebih, yang terdiri dari daratan yang luasnya sekitar 2.027.000 km² lebih dan lautan yang luasnya sekitar 3.166.000 km² lebih serta terdiri dari 34 provinsi, ini berdasarkan pada pasal 3 ayat 1 Undan-undang no. 20 tahun 2012. Sehingga dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia mempunyai banyak ragam kebudayaan.
            Namun saking banyaknya kebudayaan yang dimiliki oleh negara Indonesia, sehingga ada negara tetangga pun yang  mengklaim beberapa kebudayaan yang ada di Indonesia adalah milik negaranya yang lebih tepatnya negara Malayasia, diantara kebudayaan yang di klaim oleh negara tetangga, yaitu; Batik, Reog Ponorogo, Gamelan, Angklung, Wayang Kulit, Kuda Lumping dan lain sebagainya. Hal ini terjadi pada dua tahun kebelakang.
            Ini adalah sebuah fakta yang konkrit bahwa mayarakat Indonesia  sudah lupa akan kebudayaan yang mereka miliki dan ciptakan sendiri. Dan lebih suka membudayakan custom yang berasal dari barat (western). Sehingga dapat dikatakan lebih baik mereka kelompok kecil mayarakat yang memegang teguh kebudayaan yang dimiliki dan diciptakannya sendiri, karena itu suatu bukti yang konkrit keloyalan dan kecintaan atas natura custom yang dimiliki negara Indonesia.
            Namun terkadang orang-orang salah kaprah dalam menanggapi, memahami dan menyikapi mengenai masalah kelompok kecil yang terpojokkan dan tersisihkan (minoritas) ini, padahal mereka hanyalah korban dari adanya proses perpaduan atau percampurannya custom western dengan custom natural yang ada di  indonesia yang akhirnya menjadi kebudayaan (asimilasi) baru yang dilakukan oleh sekelompok besar masyarakat (mayoritas).

Khotimah
            Bukanlah suatu hal atau perilaku yang buruk apabila kita mempertahankan dan memegang teguhnya sesuatu yang menjadi custom dalam berbudaya di negara kita, apabila custom tersebut tidaklah bertentangan dengan agama dan Nash yang kita anut dan yakini. Dari pada  suatu custom yang sudah menjadi kebudayaan tersebut dengan seenaknya dirampas dan diakui oleh negara lain tanpa seizin pencipata dan pemiliknya. Untuk itu cintailah kebudayaan yang ada di Negara kita ini tanpa harus memadukan (asimilasi) dengan custom western, cukuplah kita menjaganya dengan cara membudayakan dan melestarikannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal