Langsung ke konten utama

Mukadimah Teras Aksara

(Dokpri Buku Teras Aksara Mengabadikan Jejak Menjaring Makna yang Telah Dicetak)

Harus ditegaskan di muka bahwa tulisan di bawah ini merupakan kata pengantar dari buku ke-6 yang berjudul Teras Aksara Mengabadikan Jejak Menjaring Makna. Tulisan ini saya upload dalam rangka sebagai mukadimah kepada khalayak pembaca. Ada harapan yang saya selipkan, semoga kemanfaatan dan berkah meliputi segenap pembaca, utamanya saya pribadi sebagai penulis pemula secara kualitas terus meningkatkan. Amin. 

***

Lembaga pendidikan pada dasarnya merupakan tempat penempaan diri para pembelajar. Pembelajar secara normatif adalah status yang selalu disangkutpautkan dengan himbauan perundang-undangan pemerintah wajib belajar 12 tahun. Identitas ideal yang umumnya disandang oleh khalayak ramai yang termasuk dalam rentang usia 7-19 tahun. Padahal hakikat aktivitas belajar dengan tujuan mencari ilmu itu sendiri berlaku sepanjang hayat masih dikandung badan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits: "Carilah ilmu dari sejak buaian hingga ke liang lahat", (H. R. Muslim). Dalam redaksi hadits lain, bahkan ditegaskan "kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina". 

Simpulan kedua redaksi hadits di atas menegaskan bahwa mencari ilmu (menjadi pembelajar) itu tidak terbatas usia. Yang membedakan dari pelekatan status itu hanya ruang kontestasi keilmuannya: pendekatan, metode, model dan bentuk instansinya. Untuk anak-anak usia dini misalnya sosok orangtua--utamanya ibu--menjadi madrasatul ula. Jika sudah lulus dari sekolah menengah atas atau bahkan kuliah bukan berarti menuntut ilmu juga berakhir seiring terhentinya proses di lembaga, melainkan harus terus berlangsung sesuai dengan konteks lingkungan hidup sekitar di mana ia berada. 

Dengan demikian maka makna belajar sesungguhnya dapat ditinjau dari berbagai konteksnya: teoretis dan praktis. Belajar teoretis dalam prakteknya pembelajar fokus mempelajari, memahami dan menguasai konsep yang terhimpun dalam sebuah buku. Sedangkan belajar secara praktis determinasi pada pelibatan langsung alat-alat indera manusia melalui berbagai jenis pengalaman yang dilalui dalam kurun waktu tertentu. Pengalaman personal itu lantas akan membentuk abstraksi simbol-simbol dan data pengetahuan yang kemudian disimpul menjadi kompleksitas pemahaman yang terproyeksikan secara signifikan. Tatkala manusia terus melakukan pembelajaran merdeka secara dinamis--sesuai dengan konteks lingkungan hidup sekitar yang berlaku--itulah manusia disebut sebagai long life learner. Pembelajar sejati sepanjang hayat. 

Proses adaptatif dan transformasi pengetahuan dari waktu ke waktu baik dalam ruang lingkup pendidikan formal atau pun non formal tentu lekat dengan budaya intelektual. Budaya yang melibatkan tradisi membaca, menulis, memahami, mengkaji, meneliti dan mengaktualisasikan diri. Budaya intelektual ini tidak berlaku khusus hanya untuk penyandang status siswa-mahasiswa; santri-mahasantri namun juga untuk dewan pengajar: guru, ustadz, dosen dan khalayak umum yang berusaha merawat akal sehat dan kewarasannya. Kendati demikian adakalanya upaya memenuhi hasrat budaya intelektual itu, dalam tataran pendidik, tersendat dan tersandung beban kerja. Sehingga pendidik sebagai transmisi pengetahuan justru kehilangan marwah intelektualitasnya. 

Sebagai bukti konkret, tak sedikit--utamanya di lembaga pendidikan yang saya terlibat di dalamnya--kita menjumpai pengajar yang menunaikan peran, tanggung jawab, tugas pokok dan fungsi sekadar menggugurkan beban kerja. Terbilang sedikit mereka yang mau dan mampu membagi waktu untuk merawat semangat intelektualitas dengan menggeluti dunia literasi: meng-upgrade kapasitas diri dengan gemar membaca, mencatat hasil bacaan atau gagasan, mengkaji dan meneliti sesuai dengan minat keilmuannya, terlebih-lebih berkontribusi terhadap peradaban ilmu melalui karya. Mungkin jika boleh disebutkan, yang demikian itulah deskriptif manusia sistemis.

Manusia sistemis tersebut di lain sisi saya kira tidak terbentuk secara alami karena beban kerja namun juga didorong oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah sebab yang berasal dari dalam diri sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah sebab yang berasal dari luar dirinya. Faktor internal bentuknya bisa berbagai macam. Sebagai contoh nihilnya tekad, kemauan, motivasi, cita-cita dan lain sebagainya akan tetapi dalam konteks ini ketidaksadaran akan pentingnya tradisi literasi adalah faktor utamanya. Padahal jikalau masing-masing kita sadar, literasi senantiasa menawarkan transformasi diri bagi siapapun yang mau menggelutinya, (Ngainun Naim, 2023: 89). 

Adapun faktor eksternal yang tampak nyata adalah mengakar rumputnya tradisi lisan dan tidak adanya sistem yang menuntut masing-masing pendidik untuk berkarya tulis secara nyata. Tradisi lisan yang mengakar rumput itu ditandai dengan santernya perbincangan tidak berfaedah di antara sesama kolega. Misalnya saja menggunjing, membahas penggalan sinetron yang sebelumnya mereka tonton, curhat bagaimana konflik internal antar anggota keluarga, sibuk menilai dan menggali kesalahan orang lain (tajasus) dan aktivitas unfaedah lainnya. 

Aktivitas demikian terus-menerus dilakukan hingga mengerak di benak mereka. Keadaan itu didukung dengan tidak adanya sistem yang menuntut masing-masing pendidik untuk berkarya tulis. Yang demikian ditandai dengan mati surinya fungsi dari mading, tidak adanya buletin, majalah atau koran terupdate sebagai bahan bacaan langganan bahkan sejauh ini saya mengamati belum adanya buku karya pendidik yang dipajang di rak perpustakaan. Baik di rak buku kebanggaan yang ada di kantor ataupun rak buku perpustakaan siswa yang kerap dijamah saat jam istirahat tiba. Keadaan "kurang bergairah" demikian itu yang menjadikan mereka terjebak pada zona nyaman sebagai manusia sistemis.

Dalam konteks menentang sekaligus keluar dari zona manusia sistemis dan berusaha mematahkan keadaan ironis yang demikian itulah buku sederhana ini lahir. Kelahiran buku ini tidak ujug-ujug dan hadir di ruang yang hampa melainkan postulat dari observasi partisipatif dan kegelisahan intelektual selama saya berperan sebagai guru honorer di SDIT Baitul Qur'an Mangunsari Tulungagung. Satu bulan penuh penulis adaptasi di lingkungan kerja baru dengan bekal berbagai pendekatan, penghayatan dan kesempatan terus digencarkan. Tekad untuk memberikan kontribusi gagasan dan tahap-tahap perubahan secara nyata menjadi motivasi yang terus terngiang di dalam kepala. Ada tekad yang terpatri di dalam hati tentang ide kreatif dan inovatif apa yang sekiranya bisa saya lakukan untuk lembaga.

Gayung bersambut, niat baik itu akhirnya pecah telur tatkala ustadz Edi dan ustadz Ali (1/10/2022) selaku pengurus yayasan mengamanahkan blogger lembaga untuk penulis kelola. Blogger lembaga itu sendiri telah dikelola semenjak tahun-tahun perintisan. Meski kemudian jikalau ditinjau dari kualitas konten yang disodorkan masih sebatas publikasi foto rangkaian kegiatan, rekaman audio siaran di radio Liur FM dan testimoni dari berbagai kalangan sebagai upaya penjaringan peserta didik baru. Sisanya tidak pernah ada tulisan yang menarasikan perhelatan kegiatan, menampung gagasan ataupun karya yang dihasilkan oleh sumber daya manusia lembaga: pendidik dan terdidik. Tentu ini adalah keadaan yang jomplang bahkan telah menciderai status lembaga pendidikan yang lekat dengan tradisi literasi. 

Tahapan demi tahapan untuk menghidupkan blog yang telah lama mati suri terus saya lakukan. Terbersit, saya hendak mengisi blog dengan menarasikan perhelatan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga. Mulai dari isi amanat upacara bendera, apel pagi, kegiatan Tahfidzul Qur'an, outing class dan pengembangan lainnya. Namun seiring dengan berjalannya waktu saya juga tertantang untuk mampu mengunggah karya dewan asatidz dan para siswa; pendidik dan terdidik ke dalam blog. Alhamdulillah, upaya menghidupkan blog itu berjalan selama 9 bulan. Meski kemudian dalam satu bulan maksimal saya hanya mampu mempublikasikan 10 tulisan dan paling minimal mengunggah 5 postingan. 

Tidak puas dan hanya berhenti sebatas mengelola blog, untuk membangun tradisi literasi yang maksimal di lembaga saya juga berusaha mendedahkan gagasan dan inovasi lain yang sekiranya mampu menjadi jembatan meningkatkan geliat literasi pendidik dan terdidik kepada kepala sekolah. Kala itu saya mengusulkan untuk membuat buletin sekolah disusul dengan ekstrakurikuler literasi dan majalah sebagai produk baru jangka panjang. Dalam merintis buletin sekolah saya banyak bertumpu pada pengamatan dan pengalaman silam tatkala mendapuk peran sebagai pimpinan redaksi buletin Al-Irfan dan HaKaSi di jenjang kuliah strata satu di kampus peradaban dan dakwah: UIN SATU Tulungagung. 

Perintisan buletin sekolah dimulai dengan melakukan observasi atas beberapa model, struktur dan komposisi konten buletin yang terserak di google. Pembentukan struktur dewan redaksi buletin sekolah berbasis sukarela. Begitupun dengan siapa kiranya yang akan mengisi wajah buletin sekolah perdana dilakukan secara sukarela. Meski demikian saya "ngotot" menghendaki buletin sekolah perdana terbit dengan menyodorkan komposisi hidangan yang porposional. Buletin harus memuat karya pendidik dan terdidik; guru dan siswa. Namun yang menjadi masalah selanjutnya adalah apa gerangan nama yang tepat untuk buletin sekolah itu. Selama tiga hari saya melakukan kontemplasi dan konsultasi untuk mendapatkan nama yang cocok. Hingga akhirnya nama Syahada seketika terbersit di kepala. 

Satu bulan berselang (22/11/2022) buletin Syahada perdana resmi terbit. Buletin Syahada perdana memuat tiga tulisan dengan komposisi 1 artikel dan 2 puisi. Slot artikel merupakan karya saya sedangkan masing-masing puisi adalah karya guru dan siswa. Fungsi utama dari buletin Syahada ini memang saya proyeksikan untuk menampung rupa-rupa gagasan, kreativitas dan inovasi sumber daya manusia lembaga yang ada tanpa terkecuali. Wadah yang menampung segala bentuk ekspresi kreativitas diri bagi siapa pun. Hingga detik ini, terhitung sudah 5 kali edisi buletin Syahada terbit. Semuanya menampilkan kompilasi karya guru dan siswa. 

Dua kali edisi buletin Syahada terbit lantas saya menginisiasi kelas literasi. Meski dalam proses perintisannya berjalan alot, Alhamdulillah, ekstrakurikuler literasi terbentuk dan berjalan lancar sampai hari ini. Ekstrakurikuler rintisan ini kurang lebih beranggotakan 9 orang siswa dengan komposisi mayoritas adalah kelas 4 dan 1 orang siswi kelas 3. Jumlah yang sedikit lebih banyak jika dibandingkan dengan kelas IPA dan lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelas Tilawah, Pidato, Khot, Pramuka dan bahasa Arab. Jumlah itu pun di luar prediksi sebelumnya, sebab mulanya saya mengira tidak akan ada yang tertarik. 

Pertanyaan mendasarnya, apakah semua proses itu berjalan dengan lancar tanpa ada kendala yang berarti? Tentu saja tidak. Sebab dalam prakteknya semua yang saya inisiasi saya juga yang harus sigap memasang badan di garda terdepan: berjibaku dan berjuang keras menghidupkannya--menelurkan konsep, berkontribusi dan mengelola--tanpa ada satu pun pendidik yang merasa terpanggil untuk berjuang bersama. Dalam hal ini saya dituntut dan ditekan habis-habisan menjadi mesin produksi karya yang tak ada habisnya. Namun tidak dinafikan pula ada seorang pendidik yang beberapa kali sempat membantu dalam proses lay out buletin. 

Di lain waktu ada pula segelintir orang yang bersikap sinis dan menutup sebelah mata terhadap upaya-upaya yang saya inisiasi. Ada pandangan bahwa upaya menghidupkan kembali blog, membuat buletin, merintis kelas literasi dan majalah sekolah adalah sesuatu hal yang tidak penting. Sempat pula di awal-awal pengusulan untuk merintis ekstrakulikuler kelas literasi menuai pro-kontra di antara dua kubu. Kubu yang sepakat dan kubu yang menolak. Kubu yang sepakat memiliki pandangan optimistik dan positif thinking bahwa perubahan besar bermula dari adanya wadah yang variatif sesuai dengan passion siswa. Passion siswa yang terus ditempa dan dilatih secara nyata akan menghasilkan output unggulan yang luar biasa. 

Sedangkan kubu yang menolak berkeyakinan kolot dan keras kepala mempertahankan warisan yang ada. Ada pandangan bahwa jumlah ekstrakulikuler yang ada lebih dari cukup, dikotomi jumlah siswa tidak sesuai porsi, tidak enak hati kepada pendidik yang mengajar dan alasan penolakan lainnya. Kekhawatiran yang berlebihan saya kira. Bagaimana pun perbedaan pandangan pada tataran pendidik tersebut sudah selaiknya disikapi dengan bijak dan putusan yang disepakati senantiasa berpijak pada orientasi berkemajuan, dampak positif yang akan disemai dan transformasi output unggulan lembaga adalah pertimbangannya.

Kontradiktif yang dilakukan oleh salah satu kubu tersebut justru saya melihat sebagai banalitas pandangan tentang manfaat literasi. Seakan-akan mereka tidak percaya bahwa tradisi literasi adalah kunci kemajuan satu peradaban. Kunci yang memiliki peranan penting akan eksistensi dan carut-marutnya ritme satu peradaban. Padahal dapat dipastikan, jikalau tradisi literasi tumbuh dan berkembang dengan baik di lembaga maka akan berdampak pada meningkatnya prestasi, kualitas dan kesadaran intelektual siswa serta tidak menutup kemungkinan membentuk kesiapan mental siswa untuk berkompetisi di berbagai ajang lomba. Sebaliknya, jika tradisi literasi yang ada di lingkungan sekolah lemah maka dapat dipastikan tidak ada kemajuan dan peradabannya lemah. 

Akhirnya saya harus menegaskan bahwa buku yang ada di hadapan Anda ini merupakan bukti keseriusan saya dalam upaya memberikan kontribusi untuk memajukan lembaga sekaligus merayakan sepuluh bulan saya berkhidmat di sana. Rangkaian kegiatan lembaga terdeskripsikan jelas dalam himpunan refleksi di buku ini. Besar harapan saya, apa yang saya lakukan ini akan memberikan dampak positif terhadap lingkungan sekitar, baik pembaca utamanya yang berperan sebagai pendidik bahwa di mana pun Anda berkhidmat di sanalah kita harus memaksimalkan kerja. Bukan semata-mata memaksimalkan kerja dengan orientasi materialistis namun juga sebagai ladang amal ibadah serta inspirasi untuk berkarya. Karya tulis dengan genre apa pun itu bentuknya.

Sebagai bentuk refleksi selama berkhidmat, ada beragam tema yang dimuat dalam buku ini. Tidak ada pretensi apa pun yang bersifat personal atas terbitnya buku ini, melainkan sebatas dokumentasi dan salah satu warisan intelektual yang semoga saja dapat dijadikan rujukan manakala menyoal banyak dan meninjau tentang transformasi lembaga yang bersangkutan dari waktu ke waktu. Adapun jika kemudian saya terlibat dalam perubahan itu semata-mata terjadi atas kehendak Allah SWT. Tak ketinggalan, siapa tahu melalui tulisan demi tulisan sederhana yang terhimpun dalam buku ini khalayak pembaca dapat menyemai manfaat. Terlebih-lebih menggugah geliat literasi yang bersemayam di dalam diri, dan memotivasi diri untuk turut mengabadikan setiap jejak petualang hidup. 

Sepenuhnya saya menyadari bahwa buku ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangannya, untuk itu kritik dan saran yang konstruktif senantiasa saya terima dengan hati yang lapang dan suka cita. Semua masukan saya akan jadikan pembelajaran dan berbaikan untuk penyusunan karya tulis berikutnya. 

Selanjutnya saya merujuk pada tradisi yang berlaku dalam penerbitan buku. Buku ini saya persembahkan kepada beberapa pihak yang berperan penting dalam hidup saya. Pertama, terima kasih tak terhingga kepada kedua orangtua saya: Ibu Juarsih dan Bapak Eman yang senantiasa mendidik, mendoakan tanpa henti dan mendukung yang terbaik sepenuh jiwa. Kepada kakak dan adik-adik saya semoga diberikan kesehatan, kelancaran rezeki sehingga lekas menuai kesuksesan dan menjalani hidup dengan penuh berkah. 

Kedua, terima kasih juga saya sampaikan kepada kawan-kawan Sahabat Pena Kita (SPK) Tulungagung dan para suhu yang tergabung dalam grup Rumah Virus Literasi (RVL) yang senantiasa memantik geliat literasi sekaligus menjadi inspirasi untuk terus berkarya. Dari beliau semua saya belajar banyak tentang menulis dan konsistensi dalam menelurkan karya.

Sebagai pamungkas tak terlupakan pula kepada semua guru saya yang tak bisa saya sebutkan satu persatu, terbitnya buku ini tidak lain adalah bentuk nyata dari ilmu yang panjenengan ajarkan. Semoga keberkahan, kemurahan rezeki dan kebajikan menyertai beliau semua. Amin. 


Tulungagung, 17 Mei 2023



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal