Langsung ke konten utama

Tahapan Keempat dalam Proses Pembelajaran Mengaji di TPQLB Spirit Dakwah

Tahapan keempat, menulis jilid. Setelah selesai membaca jilid (mengaji), lantas setiap santri diminta untuk menuliskan satu lembar atau beberapa bagian dari jilid yang mereka baca. Itu berlaku untuk semua santri, kecuali santri yang tunanetra. Yang unik dalam proses menulis jilid itu adalah cara masing-masing santri membentuk karakter huruf Hijaiyah. Umumnya, santri yang tergolong tunarungu dan tunawicara dewasa akan sangat cepat menyelesaikan tugas menulisnya. Meski kemudian hasil tulisannya beragam juga. Ada yang bagus, lumayan bagus dan biasa saja serta sukar untuk dibaca. 

Kesalahan-kesalahan penulisan huruf Hijaiyah tertentu juga sangat sering tampak. Misalnya saat menuliskan huruf Shad, Dhad, dha, tha, sin, syin dan bentuk huruf Hijaiyah yang disambungkan. Terkadang ada pula santri yang menulis huruf arab dari arah yang berlawanan dengan kebiasaan pada umumnya. Ada pula santri yang merasa kebingungan terkait bagaimana cara menyambungkan huruf demi huruf. Dan ada pula santri yang menulis huruf Hijaiyah tanpa syakal dan tidak simetris dengan garis buku.

Pada kenyataannya kesalahan dan kesukaran mereka dalam menuliskan huruf demi huruf Hijaiyah tersebut tidak hanya berkorelasi dengan jenjang usia santri, melainkan juga bertautan langsung dengan kategori disabilitas yang ada pada diri mereka. Santri tunarungu dan tunawicara mungkin akan baik-baik saja dan lancar dalam mengerjakan tugas menulisnya. Berbeda dengan santri tunadaksa pada bagian tangan yang mungkin akan sedikit kesusahan menuliskan berbagai macam huruf. 

Begitu halnya dengan santri tunagrahita kategori ringan dewasa, sebenarnya mereka memiliki kemampuan yang baik untuk menulis meski terkadang kesulitan dalam menuliskan beberapa huruf dengan sempurna. Jika tidak demikian, mereka menulis huruf secara keliru atau tertukar dan tidak simetris dengan garis buku. Lain halnya dengan santri hiperaktif garis keras (berat) dan tunagrahita kategori sedang, mereka sukar untuk menulis. 

Sementara kategori santri down syndrome, umumnya mereka mampu menulis dengan baik, asalkan diperhatikan, dibimbing dan tunjukkan setiap bagian huruf yang harus ditulis. Jika tidak demikian, mereka akan tampak kebingungan dengan apa yang harus mereka tulis. Bahkan mereka seringkali asal-asalan menulis huruf dengan bentuk yang tidak jelas. Terlebih-lebih mereka sering mengulangi menulis huruf yang sama dan yang mereka tahu saja. Tidak berdasarkan lembar halaman jilid yang telah mereka baca sebelumnya. 

Tak ketinggalan, setelah para santri selesai menulis, buku tulis mereka dikumpulkan. Lantas diperiksa satu persatu. Dikoreksi mana tulisan yang sudah benar dan mana bagian yang belum tepat. Tak jarang, jika tulisan masih ada yang kurang tepat, maka di ruang kosong dari kertas--baik itu di samping, di bawah atau pun di bagian atas dari tulisan santri--diberikan contoh penulisan huruf yang benar. Dalam proses koreksi itu santri pemilik buku dipanggil untuk memperhatikan bagian-bagian tertentu yang harus diperbaiki. 

Sebagai bentuk apresiasi, semua tulisan santri dikasih nilai. Passing grade nilai tulisan terbaik biasanya mencapai nilai A+. Namun hal itu hanya diberikan kepada segelintir santri yang tulisannya benar-benar bagus dan rapi. Sementara kualitas tulisan yang tampak rapi namun kurang bagus dinilai A. Serta tulisan yang selesai namun kurang rapi dinilai A-. Pernah satu ketika, seorang santri request ingin dinilai dengan tiga bintang. Ada kemungkinan, hal itu ia lakukan, karena menilik kebiasaan di sekolahnya yang kerap dinilai oleh sang guru dengan menggunakan gambar bintang. 

Sempat pula dewan asatidz membelikan stempel emoticon wajah sebagai media untuk memberikan nilai. Stempel tersebut terdiri dari tiga jenis emoticon: ekspresi wajah senang, ekspresi wajah datar dan ekspresi wajah sedih. Akan tetapi stempel itu hanya pernah digunakan beberapa kali saja. Sisanya stempel itu terbengkalai. Bahkan kini wadahnya mengalami kerusakan. 

Catatan penting terkait penilaian terhadap tulisan para santri tersebut adalah tidak lain sebagai motivasi dan reward atas kerja keras mereka. Dampaknya bisa saja nilai-nilai yang diberikan tersebut memantik semangat, keuletan dan kegigihan mereka untuk terus melejitkan kemampuan sekaligus kualitas menulis jauh lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Yang terpenting, mereka mau terus belajar dan berproses, sehingga kemampuannya lebih tajam lagi. 

Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal