Ini adalah tulisan bagian 3 dari tulisan yang berjudul Proses Pembelajaran Mengaji di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung. Lanjutan dari postingan sebelumnya. Maka saya sarankan Anda membaca dari sesi awal supaya jalan ceritanya dapat dipahami secara utuh.
***
Tahapan ketiga, yakni mengaji. Penyelenggaraan mengaji di TPQLB disesuaikan dengan jenis disabilitas para santri. Santri tunarungu, tunawicara, tunanetra dan tunadaksa mengaji pada sesi yang pertama. Sedangkan pembelajaran mengaji sesi dua dikhususkan untuk santri tunagrahita, hiperaktif dan down syndrome. Jadwal penyelenggaraan mengaji tersebut dengan sengaja dibuat sedemikian rupa mengingat efektivitas dan efisiensi waktu. Ada asumsi, kategori santri yang mengaji pada sesi pertama lebih ringan di hadapi (dikontrol, diarahkan dan ditata) daripada sesi yang kedua. Termasuk mengakali kapasitas tempat duduk, meja belajar dan manakala dewan asatidz yang hadir tidak sesuai kuota.
Atas dasar demikian cara mengaji santri yang tunarungu, tunawicara dan tunadaksa berbeda dengan santri tunanetra, tunagrahita, hiperaktif dan down syndrome. Santri tunarungu, tunawicara dan tunadaksa umumnya mengaji menggunakan jilid An-Nahdliyah. Selama ini, kami mengajari mengaji semua santri melalui mulut. Komunikasi via verbal. Kendati demikian, santri yang tunarungu dan tunawicara kami berusaha memberikan pengertian kepada mereka melalui verbal dan bahasa isyarat. Terkadang juga komunikasi dilakukan menggunakan tulisan yang ditulis di buku.
Tentu saja ini adalah salah satu kategori tantangan menggigit (lumayan sulit) yang saya suka. Bagaimana caranya memahamkan satu demi satu huruf Hijaiyah, huruf Hijaiyah yang bergandengan dan panjang pendek bacaan serta makhorijul huruf benar-benar membutuhkan usaha yang ekstra. Dalam hal ini, semua pelafalan huruf Hijaiyah selama proses mengaji tersebut tentu disesuaikan dengan kemampuan santri. Tidak dilakukan atas dasar paksaan salah satu pihak.
Pada kenyataannya tidak semua santri tunawicara dan tunarungu memiliki kemampuan pelafalan huruf Hijaiyah yang sama. Semua itu dipengaruhi oleh tingkat ketunaan yang santri derita. Dalam pelafalannya, ada santri yang hampir mendekati jelas, sedang, kabur bahkan tidak bersuara. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, pelan-pelan segelintir dari santri tunawicara dan tunarungu lama yang konsisteni masuk justru menampakkan perubahannya. Pelafalan huruf saat mengaji tampak lebih jelas dan terbedakan antara satu sama lainnya.
Setelah diamati lebih jauh, hemat saya, tatkala belajar mengaji santri tidak hanya berusaha mengenali huruf demi huruf Hijaiyah melalui nyaring suara yang mungkin terdengar tidak sempurna atau kabur, akan tetapi mereka juga mengamati gerakan mulut yang dicontohkan oleh asatidz yang mengajarinya. Sehingga kepiawaian masing-masing asatidz dalam mengajari mengaji--utamanya melafalkan huruf demi huruf Hijaiyah dengan menggunakan verbal sesuai makhorijul hurufnya--juga sangat memengaruhi informasi materi pelajaran yang santri terima. Biasanya setiap sesi mengaji santri akan membaca dua-tiga lembar halaman jilid. Satu lembar mengulang pelajaran sebelumnya, satu lembar bacaan baru yang dipelajari dan satu lembar bocoran bacaan untuk sesi berikutnya.
Sebagai barometer dan standaritas yang diberlakukan khusus untuk mengontrol sekaligus mengevaluasi proses pembelajaran mengaji santri tunarungu dan tunawicara, belakangan ini dewan asatidz sedang berusaha menyusun modul yang efektif dan efisien berbasis bahasa isyarat. Modul yang sedang digarap ini, fokus menekankan pembelajaran mengaji tunarungu dan tunawicara ditopang dengan bahasa isyarat huruf Hijaiyah. Sehingga sangat dimungkinkan di masa yang akan datang para santri dapat mengaji tanpa suara. Melainkan mengaji menggunakan bahasa isyarat tangan.
Kendati langkah penyusunan ini berjalan alot dan tampak terlambat, sebab beberapa pesantren disabilitas yang ada di negara tetangga dan di beberapa daerah telah terlebih dahulu menerapkan metode mengaji menggunakan bahasa isyarat tangan, kami dengan telaten dan sungguh-sungguh berusaha mewujudkan penyusunan modul yang diproyeksikan tersebut. Semoga lekas terwujud. Dengan kehadiran modul pembelajaran mengaji khusus untuk santri tunarungu dan tunawicara tersebut setidaknya dapat memudahkan dan meminimalisir miss pengertian dan pemahaman atas materi yang diajarkan.
Adapun cara mengaji santri tunanetra, biasanya lebih sering mengandalkan kemampuan indera pendengaran saja. Terdapat beberapa materi yang diajarkan, di antaranya: menghafal surah-surah pendek (juz 'Ama), salawat, bacaan salat, Asma'ul Husna hingga belajar tilawah Al-Qur'an. Adapun agenda besar yang harus segera dituntaskan adalah membuat modul khusus untuk santri tunanetra. Isi modul tersebut menyangkut seputar materi yang harus diajarkan secara bertahap dan sesuai usia. Termasuk mulai belajar mengenali bentuk -bentuk dasar huruf Braille. Serta memaksimalkan fungsi indera peraba untuk mendapatkan informasi tentang sesuatu hal selama dalam proses belajar.
Lain halnya dengan mengaji santri tunagrahita, hiperaktif dan down syndrome. Santri tunagrahita yang berusia sudah dewasa dan termasuk kategori tunagrahita ringan masih dapat diarahkan untuk membaca jilid. Sementara santri tunagrahita kategori sedang sangat susah dibujuk dan diarahkan untuk membaca jilid. Sebagai solusinya, biasanya asatidz lebih memilih mengajak mereka bermain sambil belajar dengan menggunakan educational toys yang mereka sukai.
Proses mengaji menggunakan educational toys tersebut tampak jauh lebih efektif bagi santri tunagrahita kategori sedang daripada harus dituntut untuk membaca jilid. Sebab, karakter masing-masing santri tunagrahita kategori sedang pun berbeda-beda. Masing-masing mereka banyak dipengaruhi oleh mood yang meliputi dirinya. Terkadang mau bermain sambil diajari beberapa materi, akan tetapi ada juga yang hanya mau bermain dan tidak mau diajari sesuatu hal.
Hal yang sama juga berlaku untuk santri yang hiperaktif, mereka cenderung mau mengaji jikalau moodnya sedang baik. Akan tetapi jika moodnya sedang tidak bersahabat, dan sukar untuk dibujuk secara verbal, maka asatidz mengajaknya mengaji sambil bermain. Mengaji dengan menggunakan educational toys bagi kategori santri hiperaktif sangatlah efektif. Fokusnya lebih baik, mampu menerima materi atau pun tanggap dalam memberikan respon. Jika telah demikian dan dimungkinkan, santri hiperaktif yang sudah terkendalikan dapat diajak mengaji menggunakan jilid yang ada di hadapannya.
Sedangkan untuk santri down syndrome, mereka cenderung mau mengaji menggunakan jilid asalkan dengan asatidz pilihannya. Ia dapat mengaji dengan baik manakala diperhatikan dan didimbing dengan penuh ketulusan. Meskipun tekadang, masing-masing mereka akan cepat lupa dengan materi yang sebelumnya telah diajarkan. Aka tetapi pada umumnya mereka adalah penyimak, peniru dan pembelajar yang baik sekaligus dapat dikendalikan.
Catatan penting untuk kategori santri tunagrahita, hiperaktif dan down syndrome umumnya mereka adalah tipikal pemilih asatidz untuk mengajarinya mengaji. Meski begitu, ustadzah perempuan yang mengajarinya lebih menarik antusias dan perhatian mereka. Entah kenapa. Mungkin karena citra, kelembutan dan jiwa keibuan yang dimiliki oleh seorang ustadzah membuat mereka begitu nyaman berada di dekatnya. Sehingga proses pembelajaran mengaji sangat meneduhkan dan dengan mudah diterima.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar