Langsung ke konten utama

Meraba Kalangan Netizen

Detik jam masih menunjukkan pukul 06.05 wib. Satuan angka yang masih ranum untuk waktu di hari weekend, dan itu terpampang jelas di layar depan smartphone. Informasi yang kudapat beberapa saat setelah telunjuk tangan kananku menekan tombol power di bagian kanan.

Entah mengapa, rasanya kedua tangan ini telah terlalu reflek dan sangat akrab dengan gawai belakangan ni. Rasa-rasanya  selalu ada jalan pintas yang mengharuskan adanya mufakat final antara gawai, kedua bola mata, kasur dan jari-jemari dalam kurun waktu yang tak terhingga. Mungkin iya, mereka sedang sibuk menghelat acara semacam reuni Akbar di hingar-bingar new normal yang tak kunjung normal.

Harus diakui secara jujur, kelanyahan itu tidak lain berkutat pada muara sejubel alasan; entah itu urusan pekerjaan, organisasi, menuntaskan kewajiban, membayar hutang tulisan, mengintip informasi yang up to date, mengikuti postingan tulisan terupdate di kanal platform tertentu sampai dengan merefresh otak yang sudah mulai spaneng. Main game.

Begitu halnya yang terjadi di pagi hari Minggu kemarin, si kedua tangan tanpa sungkan candu berselancar di layar gawai sesuka hati. Mula-mula kubuka WhatsApp, barangkali saja memang ada chat yang penting dan mengharuskanku untuk membalasnya. Meski demikian, harus diakui pula, bahwa yang menjadi nafas kehidupan WhatsApp milikku tidak lain hanyalah grup. Dan notifikasi dari akun media sosial lain adalah titik nadir penghabisannya.

Sesekali aku berinisiatif menyelinginya dengan berkunjung ke situs Artikula.id, di sana memang ada beberapa tulisan terbaru yang sudah aku tandai dan merencanakannya untuk dikunyah. Satu-dua artikel ringan berhasil dilahap dan tidak ketinggalan pula, sebagai tanda telah mencicipinya aku menyelipkan bubuhan kalimat pada kolom komentar.

"Tak usahlah mencecarnya dengan semangat menjatuhkan, cukup beri koreksi mendasar sebagai masukkan yang membangun", gerutuku dalam hati tatkala mulai berani menjadi seorang netizen.

"Lagian semenjak aku bergabung di platform ini, kok mesti ya... rata-rata orang tidak pernah meninggalkan satu jejak pun, sebagai tanda kalau mereka telah mencicipi satu tulisan. Like, meresponnya dengan bantuan emoticon yang tersedia ataupun komentar", lanjutku.

Memang terkadang pembaca sungguh keterlaluan. Termasuk aku di dalamnya. Setidaknya dengan memberikan respon, sang penulis bisa tahu-menahu betul tentang sejauh mana kualitas tulisannya di mata orang lain sebagai seorang pembaca. Baik itu dari segi kekurangtepatan yang harus diperbaiki dan ditingkatkan maupun sisi keunikan dan keunggulan yang berhasil menginspirasi.

Jika realitanya demikian, terkadang rasanya ingin sesekali aku bersu'udzon tanpa mengarahkan telunjuk pada siapapun. "Sebenarnya sudah seberapa akut si tingkat kemalasan mereka sebagai kaum rebahan?. Sampai-sampai hobi baru sebagai andalannya adalah cekikikan sembari memilah-milah dan mengebiri potensi minat baca yang mereka miliki", pikirku dalam lamunan.

Mungkin iya media sosial secara tidak sadar telah banyak mendikte, berkontribusi dan mengondisikan kebiasaan hidup kita. Anda tidak percaya? Baiklah sekarang mari kita buktikan bersama-sama.

Anda pasti punya akun media sosial bukan? Jika iya, mulai detik ini mari kita belajar menilai dan memberi pendapat tentang riwayat singkat penggunaan Facebook, Twitter dan Instagram secara seksama.

Kita mulai dengan beberapa pertanyaan ringan. Di akun media sosial apa Anda sering aktif? Sejauh ini postingan apa saja yang sering Anda lihat? Bagaimana cara Anda merespon deret postingan tersebut? Atas tujuan apa Anda membuka media sosial?

Saya yakin seyakin-yakinnya, apabila deret pertanyaan itu diunggah menjadi status di media sosial maka akan ada empat kemungkinan kelompok koresponden; pertama, kalangan emoticon. Di mana orang-orang yang termasuk dalam kelompok ini lebih suka memberi jawaban singkat melalui emot yang digunakan. Mereka lebih suka menyikapi kondisi dengan pandangan yang ekspresif.

Kedua, kalangan julid dan nyinyir. Mereka yang tergolong dalam kalangan ini hanya akan beraksi makala sesuatu yang di posting itu membuatnya risih dan diasumsikan sebagai acamanan yang merugikan diri secara personal. Namun tatkala sudah beraksi, kadangkala komentarnya menyisakan luka, sesak dan benci terhadap korban yang dikuliti. Representasi sikap tersebut terwakili oleh kata sarkas yang mengabaikan pola-pola yang berlaku dalam norma sosial dan undang-undang ITE.

Ketiga, kalangan yang cenderung memilih bersikap apatis terhadap apa yang telah iya baca. Sikap apatis terhadap segala sesuatu yang dicecapnya di media sosial tersebut bisa jadi dilatarbelakangi oleh beberapa hal, misalnya saja; informasi yang ditampilkan di media sosial tersebut memang telah diketahui, dengan sengaja ia mengambil jarak, merasa bosan dengan postingan yang monoton, atau memang postingan yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan yang dicarinya.

Dalam konteks ini, sudah barang tentu akan ada banyak alasan yang tak mampu diutarakan dan disamaratakan. Dipukul rata dari satu sudut pandang pihak ketiga itu adalah sesuatu hal yang sangat dipaksakan.

Sementara kalangan yang terakhir, yakni pengguna media sosial yang bijak. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini memiliki tujuan yang jelas, ada target yang hendak dicapai, bertandang sesuai kebutuhan, alokasi waktu yang jelas dan pandai mengontrol diri dalam menyikapi setiap fenomena yang disodorkan dalam media sosial.

Dari keempat korespondensi yang telah dipaparkan di atas, jika bercermin dari kasus-kasus yang telah terjadi, umumnya khalayak orang lebih cenderung memilih menjadi kalangan julid dan nyinyir. Mereka memiliki bakat menulis kritik yang luar biasa.  Jika harus dideklarasikan, mereka memiliki potensi besar menjadi komentator ulung yang pandai mengkritisi.Namun sayang, potensi itu tidak disertai dengan tradisi analisis wacana yang baik, penggunaan logika yang sistematis dan hati nurani yang bersimpati.

Pada akhirnya, segala sesuatu itu kembali pada kehendak diri masing-masing. Meski demikian, tidak salahnya jika kita menaruh secercah harapan; semoga kita termasuk golongan warganet yang bijak dalam menyikapi perbedaan.

Tulungagung, 3 Agustus 2020


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal