Langsung ke konten utama

Telat Mengikuti Webinar

Salah satu dampak positif dari merebaknya pandemi Covid-19 di masa new normal, ialah maraknya seminar virtual. Atau yang lebih familiar disebut dengan istilah webinar oleh khalayak ramai.

Webinarpun kerap dihelat melalui berbagai platform aplikasi, misalnya saja  Zoom, Google meet, Talkfusion, Ruang Guru, Streaming via YouTube dan lain sebagainya. Pada akhirnya platform aplikasi apapun itu yang digunakan sesuai dengan kapasitas dan kepentingan pihak-pihak penyelenggara acara. 

Pihak pelenggara acara pun berbeda-beda dalam menelisik wacana, mulai dari webinar yang bertajuk pendidik, keagamaan, kebudayaan, ekonomi, sosial, sejarah, pelatihan sampai dengan agenda rutin beberapa MLM online yang merekrut anggota baru sebagai target kesuksesan.

Namun setelah saya amati lebih jauh, dari sekian banyak agenda webinar yang dishare di sosial media, umumnya pelaksanaan acara tersebut lebih dominan dilakukan di aplikasi Zoom plus streaming YouTube. 

Misalnya saja perhelatan webinar dua pekan lalu yang pernah saya ikuti. Webinar Lecture Series #15 yang merupakan sreial diseminasi hasil penelitian Dosen IAIN Tulungagung yang diadakan oleh LP2M IAIN Tulungagun dengan topik, "Deradikalisasi dan Rekonstruksi Kebijakan Negara". 

Acara ini dimeriahkan oleh tiga Dosen IAIN Tulungagung yang sudah tidak asing lagi di mata tak heran lagi mendengar namanya; Bapak, Dr. Ahmad Zainal Abidin, M. A., Budi Harianto, M. Fil dan Muhammad Ridho, M. A. 

Dua di antara tiga dosen tersebut bahkan pernah mengampu matakuliah di jurusan saya dulu. Ulum Al-Hadits dan Studi Hadits adalah matakuliah yang diampu oleh bapak kandidat Professor, Dr. Ahmad Zainal Abidin. Sementara bapak Muhammad Ridho, pernah mengampu matakuliah Ulum Al-Qur'an, dikala saya semester 2 strata satu. Adapun Bapak Budi Harianto, seingat saya beliau baru menjadi dosen di kampus setelah saya semester tua, kurang lebih tatkala semester 7-8. 

Selain dinarasumberi oleh ketiga dosen lokal (red; selaku orang dalam, dosen IAIN Tulungagung), acara webinar kali itu juga mendatangkan bapak Dr. Phil. Suratno, M. A. selaku pembahas. Sejauh ingatan saya, beliau adalah dosen IAIN Jember. Sementara  laju acara dinahkodai oleh senior, mas Saiful Mustofa. 

Sayang seribu sayang, nasi telah menjadi bubur, saya telat bergabung dengan acara webinar tersebut. Alhasil, saya hanya mampu mencicipi renyahnya diskusi persis di penghujung sesi tanya jawab. 
Meski demikian, ada beberapa catatan penting yang berhasil saya sisipkan dalam ingatan.

Poin penting pertama, isu-isu strategis radikal secara tidak langsung dilekatkan pada kalangan umat beragama yang ortodoks; fanatik, jumud dan tekstualis dengan semboyan 'ruju' Ilal Qur'an wa hadits'. 

Poin kedua, wacana radikalisme agama yang kerapkali digencarkan kepada kampus-kampus yang bernotabene umum, nyatanya terpatahkan dengan adanya salah seorang mahasiswi IAIN Tulungagung yang di diperotsi sebelum ia berangkat ke Suriah bergabung menjadi afiliasi ISIS.

Poin ketiga, terminologi radikal seharusnya tidak melulu menyasar dan menstigmasi agama sebagai satu-satunya sumber alasan yang melegitimasi munculnya kalangan radikal. Sebab, bagaimanapun radikalisasi bisa saja muncul karena ideologi yang dianut berbeda, anak tiri politik, kesenjangan ekonomi yang timpang keterlaluan, adanya pihak-pihak tertentu yang berkepentingan dan lain sebagainya. 

Sebagai upaya deradikalisasi, rekonstruksi dan pemberlakuan kebijakan penguasa pemerintahan menjadi salah satu kunci penting. Secara tidak langsung posisi siapa tokoh yang duduk dalam kuasa pemerintahan tersebut juga turut mempengaruhi. Sebab, dalam hadirnya suatu produk hukum tidak terlepas dari rangkaian; tokoh yang berkepentingan (penjabat yang memiliki posisi strategis), mayoritas kekuatan (latar belakang partai politik yang ditunggangi) hingga akhirnya sampai pada musyawarah untuk mufakat suatu produk hukum yang dikenakan untuk khalayak umum.

Rangkaian pos-pos itu pula harus tersterilkan dari doktrin, paham dan pandangan tentang ruang lingkup bahaya atas radikalisme. Dalam konteks ini, sikap tawazun, tawasuth, ta'adil, amar ma'ruf nahi mungkar dan ihsan sangat ditekankan untuk menjadi karakter dalam masing-masing personal. 

Mengapa demikian? Karena gerak dari persebaran radikalisme itu sendiri nampak seperti spiral yang terus berkembang. Dengan tercerahkan dan tercetaknya generasi yang lebih mawas, disertai dengan dzikir, fikir dan amal shaleh setidaknya dapat memutuskan mata rantai sekaligus memberanguskan pergerakan paham yang menjurus pada kemafsadatan dan kemadaratan khalayak umat.

Ah, sayangnya, saya hanya mampu mencatat poin-poin kecil menjelang pungkasan. Itu berarti saya hanya mengikuti webinar ini dalam durasi 20 menit. Semoga di lain kesempatan lebih baik lagi, mampu mengikuti acara lebih ontime.

Akhirul Kalam,
Wallahu'alam bi shawwab.
Tulungagung, 20 Juli 2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal