Hampir genap dua tahun yang lalu, saya membeli salah satu karya Fahrudin Faiz yang berjudul, "Filosof Juga Manusia". Kebetulan, buku yang saya koleksi ini adalah cetakan yang kedua, terbitan tahun 2018.
Pembelian buku ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai wujud ketidaksengajaan semata-mata. Sebab, awalnya tidak ada niatan yang bulat untuk membeli produk terbaru (red; buku) di tahun itu. Bagaimanapun yang terpatri di dalam hati, hanya hendak menambah wawasan ilmu pengetahuan dengan mengikuti acara menyemarakkan maulid nabi Muhammad Saw.
Ya, saya ingat sekarang, dikala itu forum mahasiswa Bidikmisi (red; formasi) menghelat ngaji bareng bersama Dr. Fahrudin Faiz, tepatnya berlangsung di aula utama kampus IAIN Tulungagung.
Sebagian orang peserta mengelu-elukan tokoh utama pengisi kajian. Namun, sayang seribu sayang, tatkala itu, saya belum tahu-menahu betul tentang siapa yang sebenarnya sedang dipergunjingkan. Mungkin betul, saya termasuk golongan orang-orang yang kudet (red; kurang up to update).
Ketidaktahuan itu terus membuncah sampai ke ujung ubun. Rasa-rasanya, ada dua-tiga pertanyaan yang kian menggema dan menggelayuti dua daun telinga. Deret pertanyaann itu pun bersambung dan saling berkelindanan; siapakah itu Fahrudin Faiz?, Kenapa khalayak peserta sangat antusias mengikuti acara ini? Apakah itu berarti suatu tanda, bahwa sejatinya pemateri malam ini sangat tersohor? Tapi mengapa, saya tak pernah mengendus aroma popularitas beliau.
Baiklah, saya berusaha berdamai dengan deretan pertanyaan itu. Namun tetap saja, rasa penasaran itu terus bergemuruh, memberondong diri saya hingga akhirnya sepenggal curiculum vitae dibacakan moderator dalam sambutan pembuka. Saya melongo, rasa penasaran pun mulai sedikit teratasi. Ditambah lagi dengan sentilan capaian yang dibeberkan dalam sambutan bapak wakil rektor bidang akademik. Semakin sumringah saya mengetahuinya. Temaram akan tokoh itu pun semakin terang-benderang tatkala beliau sendiri mencecar daftar riwayat hidupnya.
Rasa penasaran yang terbenam dalam diri pun melenggang pergi berganti dengan rasa ketertarikan akut akan buah pemikiran beliau. Terlebih-lebih, cara penyampaian materi filsafat yang dipandang njlimet oleh khalayak itu dikemas sangat renyah dan syarat akan penafsiran yang menggugah hati nurani dalam genggaman beliau. Hampir-hampir, tidak ada secuil pun ruang kosong yang dikhususkan kepada khalayak untuk menaruh kesanksian atas apapun yang beliau sampaikan. Yang tertuang dalam tutur katanya seolah-olah secercah cahaya ilmu yang melampaui keterbatasan, menembus kebebalan semua kalangan.
Tutur kata yang penuh hikmah itu pula yang saya pikir berhasil menggerakkan tekad yang mendadak bulat untuk membeli karya beliau. Alhasil, setelah acara selesai, saya langsung menghampiri bazar yang ada di depan aula. Tatkala itu, beberapa karya Fahrudin Faiz di pajang di atas meja, persis di samping kedua sisi daun pintu. Sontak saya pun membuang wajah sejenak kedua arah tersebut. Hingga akhirnya langkah kaki tertuju ke arah kiri, meja yang terletak di bagian barat.
Buku-buku yang masih terbalut plastik pun tertata rapih sedemikian rupa. Dan itu berhasil menyakinkan selera saya untuk membelinya. Padahal pada masa itu sedang terik-teriknya musim paceklik. Ah, tapi tak apalah, bagaimanapun untuk mendapatkan sesuatu memang membutuhkan yang namanya pengorbanan. Termasuk, harus banyak belajar berteman dengan rasa lapar.
Nah ini dia, si lapar kunci jawabannya. Dulu tatakala pesantren kilat, saya pernah mendengar nasihat dari Syaikh Ibrahim Bin Ismaill yang termaktub dalam kitab Ta'alim Al-muta'alim, tepatnya dalam bab Adabul muta'alim, pasal thalabul ilmu. Ringkas intisarinya kurang lebih seperti ini; berhasil-tidaknya seseorang meraih ilmu tergantung pada kebiasaannya mengosongkan perut. Dalam artian terbiasa berteman dengan lapar. Mampu mengendalikan diri atas apa-apa yang diidamkan oleh hawa nafsunya yang berjenis kelamin kepuasan.
Lah, mengapa demikian? Sebab ilmu akan mudah terserap tatkala jiwa tidak terbelenggu oleh hawa nafsu. Sementara tatkala manusia terlena dalam kekenyangan dan kepuasan, sejatinya hawa nafsu telah mengendalikan diri kita. Bukti konkretnya, apabila kita makan dengan kenyang, yang tersisa dalam benak kita hanya rasa malas dan kantuk. Lantas bagaimana mungkin ilmu itu akan dengan mudah didapatkan dan terpahami? Kalau memang diri kita lebih nyaman dalam kubangan rasa malas dan kantuk. Alhasil, semangat dan niat awal mengkaji ilmu pun akan kandas begitu saja, terkalahkan rayuan maut hawa nafsu.
Hal yang senada juga disampaikan oleh hujjatul Islam, imam Al-Ghazali dalam Magnumopus-nya, kitab Ihya' Ulumuddin. Kurang lebih Intisarinya dapat disederhanakan seperti ini; seorang salik yang hendak mendekat diri kepada Allah SWT (melakukan suluk) hendaknya membiasakan diri mengosongkan perut. Sebab hanya dengan lantaran kekosongan perut, jiwa (hati nurani) mampu mengendalikan diri manusia dan terbebas dari cengkeraman tangan hawa nafsu yang cenderung mengejar kepuasan sebangsa duniawi.
Apabila manusia telah terlanjur terjebak dalam cengkeraman tangan hawa nafsu yang cenderung mengejar-ngejar kepuasan duniawi, dirinya akan sulit mendekatkan diri kepada Allah SWT. Nikmat yang telah diberikan takan pernah sempat tersyukuri, yang ada hanya tumpukan hasrat untuk terus meningkatkan rasa memiliki. Di sanalah hati manusia akan mengeras dan terus tertutupi oleh hasrat menggenggam duniawi.
Hasrat menggenggam duniawi yang terus menggebu di dalam diri, pada akhirnya dapat menjadikan manusia memalingkan tujuan hidupnya sebagai hamba. Di mana manusia tidak segan-segan lagi menghalalkan segala cara untuk meraih kepuasan dunia yang membuatnya tergila-gila. Bahkan dapat lebih dari itu, tindak-tanduk kehidupannya di dunia luput dari norma etis yang ada, belum lagi kedudukannya di hadapan Allah SWT dapat lebih rendah daripada hewan.
Sampai di sini, nampaknya saya harus mengamini apa yang ditegaskan Ibnu Miskawaih, dalam gagasan besarnya tentang etika. Bagaimanapun manusia tidak akan pernah mampu dinilai dari sudut pandang fisiknya. Setiap tindakan yang keluar dari dirinya bukan semata-mata bersifat refleks, melainkan ada dorongan kuat yang tersembunyi di dalam hatinya.
Dorongan kuat yang tersembunyi di dalam hatinya ini tidak lain adalah kecenderungan jiwa mana yang menguasai dirinya. Jika manusia itu dalam setiap tindakannya memiliki karakter kasar, pemarah dan pemberani maka kekuatan yang menguasai dirinya adalah jiwa kebinatangan.
Jika manusia memiliki kecenderungan hanya sekadar mengutamakan egoistis, urusan perut dan hanya bergerak di tempat (red; tidak ada inisiatif, produktivitas dan inovatif) maka yang menguasai dirinya adalah jiwa tumbuh-tumbuhan.
Sementara, jika setiap tindakan manusia yang keluar itu adalah wujud kebijaksanaan, kebaikan, menunjukkan adanya nilai-nilai yang luhur dan kemaslahatan untuk umat manusia yang lain, maka dirinya dikuasai oleh hati nurani, jiwa ilahiah, cahaya Tuhan.
Ah, nampaknya ada benar juga atas apa yang telah dikemukakan oleh Badi'uzzaman Said Nursi dalam satu karyanya yang berjudul, Risalah Nur.
"... Spritual dan intelektualitas perlu digabungkan. Tanpa cahaya hati, cahaya pikiran tidak akan bersinar. Selama kedua cahaya itu tidak digabungkan semuanya gelap...
.... Pengetahuan yang tercerahkan dengan keimanan dan terbingkai dalam Islam, adalah tingkat yang harus dicapai oleh semua jenis pengetahuan...
...Apabila manusia tidak mencapai tingkat pengetahuan yang tercerahkan, itu berarti pengetahuannya sama halnya dengan ketidaktahuan, sehingga pengetahuan itu bahaya bagi manusia..."
Yang demikian sebagaimana Firman Allah SWT yang termaktubkan dalam surat Al-Anam; 119.
"Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan".
Jika ilmu itu cahaya keilahian, maka bagaimana mungkin akan sampai menyatu dengan cahaya hatimu? Sementara engkau berada dalam kubagan nitsa dan kemaksiatan.
Tertanda manusia nista,
Tulungagung, 13 Juli 2020
Mantab
BalasHapusTerimakasih banyak atas kunjungan dan komentarnya,bapak.
HapusMantab
BalasHapusAlhamdulillah nderek nyimak kang,,,Sae Kang Tulisan nya, ,,Semoga tambah manfaat barokah Ilmunya kang,
BalasHapusInggih terimakasih banyak telah mampir. Semoga bermanfaat.
Hapus