Manusia terlahir dari rahim yang berbeda namun tercipta dari sumber yang sama. Manusia memiliki orangtua yang tidak sama, namun terbesarkan dari sari pati unsur yang sama. Bertumbuh-kembang di lingkungan masyarakat yang berbeda-beda, namun berpijak pada bumi yang sama.
Dalam persepsi eksistensialisme; terpahami, masing-masing manusia seolah-olah sebelum lahir ke dunia telah bersepakat untuk menjadi pribadi yang dikehendaki versi dirinya. Mulanya terlahir tanpa secarik busana, namun kemaruk kemudian menjadi karakter candu yang terbenam jauh dalam benaknya.
Karakter candu yang menghendaki segala sesuatu berada dalam genggamannya. Semua hal yang ada di dunia ini ingin dimilikinya. Ini-itu adalah deretan target yang melulu dikeruk dan ditarik untuk menyumpal hasrat nafsunya. Sayang, semakin tersumpal hasrat nafsunya justru semakin banyak tuntutan yang harus dipenuhi oleh dirinya.
Besarnya hasrat untuk memiliki dan mengejar kepuasan untuk mengecap segala sesuatu pun menjadi mimpi yang terus menggila, terjaga harapan melintasi dimensi ruang dan waktu.
Terus mencari tanpa mengenal hari. Kian berjimbaku mengabaikan pergantian minggu. Menatap jauh ke depan tanpa menghiraukan berapa banyak pasang-surut cahaya rembulan. Terus membangun kenikmatan hidup yang paripurna dari tahun ke tahun dalam lamunan.
Takala itulah sebenarnya manusia sedang hidup di masa depan. Ia menyadari, penolakan terhadap harapan berarti penolakan untuk percaya apapun melebihi apa yang ada dalam kehidupan. Namun, di sana juga sesungguhnya manusia sedang melupa, bahwa terlalu banyak harapan tanpa aksi hanya akan membuatnya hidup di masa depan. Terlalu banyak harapan terkadang membuat orang tidak fight, tidak mau turun gelanggang. Terbuai hidup dalam dunia imajinasi yang piawai memalingkan kesadaran atas wajah nyata realitas dunia.
Sampailah manusia pada satu kesimpulan yang membingungkan; justru dengan tidak memiliki harapan, bukankah manusia akan termotivasi untuk hidup sepenuhnya di setiap momen peristiwa yang dia hadapi saat ini?. Tapi masalahnya, apakah ada manusia yang mampu menjalani hidup di dunia ini tanpa ada setitik harapan? Bukankah hidup tanpa setitik harapan itu sangat mengerikan? Keadaan yang hanya akan menggiring kita pada kubangan keputusasaan.
Lain halnya menurut Albert Camus; He who despairs of the human condition is a coward, but he who has hope it is a fool. Penegasan Camus ini menunjukkan bagaimana cara kita menghadapi kenyataan hidup di dunia. Hiduplah hari ini jangan mudah tertipu bejibun harapan dan tenggelam di dalamnya.
Lakukanlah yang terbaik sekarang, karena tidak ada yang tahu dengan hari esok. Hidup itu bagaikan uap yang tampak sejenak lalu menghilang (life is like a vapor, it's there and gone in a second), nasihat si Akoh dalam hikayat Martabak Bangka.
Mungkin iya, manusia akan mengalami kegoncangan diri yang sesungguhnya, tatkala ia berusaha keras memaknai hakikat kehidupan yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Namun, dalam kebuntuan dan absurbditas yang sedang dihadapi itulah sesungguhnya manusia akan menemukan rumus dalam menatap arti kehidupan. When you lose your ways, you find yourself, (Dunia dalam kita).
Disadari ataupun tidak, kehendak ingin memiliki-meng-Aku-kan- segala sesuatu yang disandarkan pada rapalan harapan itu lambat laun menjadi benalu dalam hidup manusia. Benalu yang kemudian menjadi rambu-rambu yang akan lantang mendikte kesadaran diri tentang bagaimana cara ia harus bekerja.
Kesadaran diri ini terus menggema dan menggelora di dalam dada, hingga akhirnya menjadi obsesi dan cita-cita. Dua hal yang seakan-akan menjadi tujuan utama khalayak manusia yang harus diraih semasa hidupnya. Dua hal sakral yang terkadang -khalayak asumsikan- menjadi lambar alasan mengapa manusia terlahir ke dunia.
Pertanyaan selanjutnya, apakah atas dasar itu pula setiap manusia memaknai hakikat kehidupan di dunia ini, adalah kompetisi sengit yang melulu menuntut posisi strategis sebagai juara? saling menyikut di antara sesama, guna melenggang seenaknya. Sementara menjatuhkan orang lain dianggap lumrah adanya.
Selalu ada jalan keluar untuk membenarkan apa-apa yang dikehendaki dirinya. Apapun itu yang ada di sekitarnya adalah tunggangan terbaik memuluskan akal muslihatnya. Meraih cita-cita pribadi jauh lebih penting dari seberapa banyak mengorbankan nyawa orang lain. Mengukuhkan diri pribadi sebagai superioritas dalam setiap keadaan sembari menuding-nuding yang lain sebagai musuh abadi yang harus ditundukkan. Memposisikan yang lain sebagai objek opresi ego -keakuan- yang dipandang tenggelam dalam lautan inferioritas.
Ah, gila memang, carut-marut pertarungan kehendak manusia, hukum alam dan takdir Tuhan terus-menerus berkecamuk dalam diri manusia. Belum lagi, ditambah dengan pertarungan yang disebutkan oleh Ibnu Miskawaih; kecenderungan berbagai kehendak jiwa yang terus bergejolak di dalam lubuk hati manusia itu sendiri. Kecenderungan gejolak kehendak jiwa yang selanjutnya mendorong seseorang untuk melakukan tindakan apa saja tanpa memerlukan pemikiran dan perhitungan sebelumnya.
Sampai di sini, saya pikir, untuk memahami hakikat kehidupan kita di dunia, alangkah baiknya dimulai dengan mengenal diri pribadi secara mendalam. Sebagaimana Al-Ghazali berpesan; "Ia yang mengenal dirinya adalah yang merasakan kebahagiaan sejati".
Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbuhu, (barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya). Hadits Rasulullah Saw.
Logikanya sederhana, jikalau manusia tidak mengenali siapa diri pribadi sesungguhnya, bagaimana mungkin manusia akan mampu memahami, menyadari dan mengerti hakikat dari kehidupannya. Jika tidak mengerti hakikat kehidupannya lantas bagaimana mungkin manusia akan sampai pada kebahagiaan hakiki yang dicita-citakannya.
Ah, nampaknya benar apa yang ditandaskan Fahrudin Faiz; "Tipuan paling besar yang dialami oleh manusia itu bukan karena ditipu oleh orang lain, tapi ditipu oleh pandangannya sendiri".
Atas dasar itu pula, sebelum tersesat lebih jauh, mari kita sama-sama mengoreksi tujuan hidup, cita-cita dan pandangan diri pribadi masing-masing secara intensif. Jangan sampai, apa-apa yang kita yakini sebagai kebenaran hanya sekadar egoistis yang diam-diam mencari keuntungan sepihak. Jangan sampai, apa-apa yang kita cita-citakan hanyalah wujud kenistaan yang bertolakbelakang dengan kebahagiaan sejati yang diidamkan.
Ah, ini hanya sekadar gubrisan menohok untuk diri pribadi saja, bukan lantas menggurui atau menasehati orang lain. Bagaimanapun, syukur Alhamdulillah, saya masih diberi kesempatan untuk mengoreksi banyak celah kekurangan yang ada di dalam diri pribadi saya.
*Catatan pembelajaran: tulisan ini tertuang begitu saja di balik persimpangan kehendak; antara mereview buku "Filosof Juga Manusia" karya Fahrudin Faiz, mereview hasil webinar seminar nasional membangun budaya literasi pada hari Sabtu, pekan kemarin, menyikapi opini tentang new normal dan mereview film "Ketika Bung Karno di Ende". Semoga di lain waktu semuanya berhasil saya wujudkan.
*Semoga tulisan receh ini bermanfaat bagi khalayak pembaca dan semata-mata bukan sekadar usaha menggugurkan kewajiban saya untuk menulis.
Tertanda manusia yang papa,
Tulungagung, 6 Juli 2020
Menarik Ada Catatan pembelajarannya 👍🙏
BalasHapusHeuheuheu... catatan untuk target tulisan selanjutnya.
Hapusmantap
BalasHapusIya bagus sekali kang dewaralhafis
BalasHapusTerimakasih banyak atas kunjungannya ke blog saya.
HapusFilosofis
BalasHapusHehehe belajar jadi kaum shofis..
Hapus