Kesuksesan
itu Seperti ini, Katanya
Nasihat
sang motivator muda masih saja jengah terngiang dikedua telinga. Risau rasanya,
apabila isi kepala ini dibajak semena-mena oleh serangkaian kalimat kompor yang terus meluap-luap. Semoga
saja tidak membawa kabar duka layaknya tabung elpiji yang meledak. Untuk itu,
biarkanlah si fakir ini, sedikit berceloteh ngawur kemana-mana. Anggap saja,
benang ruwet yang harus anda pintal dengan penuh kesabaran dan harapan menuai
makna.
Kesangsian
mendefinisikan istilah sukses menjadi bidan handal tertuangnya seonggok tulisan
ini. Rong-rongan pertanyaan pun tidak dapat dinafikan. Seperti halnya, apa sebenarnya
yang dimaksud sukses itu? Siapakah orang sukses itu? Bagaimanakah cara untuk
mencapai kesuksesan? Dan kenapa seolah-olah hidup selalu harus menuju dalam
wujudnya yang sukses?. (Pertanyaan sama yang pernah disodorkan salah seorang
teman saya tempo hari dikala mulutnya belepotan dengan sambal). Di satu sisi
seolah-olah sukses itu adalah titah Tuhan yang tidak dapat terbantahkan. Dan hukumnya
fardu ‘ain yang tidak dapat diwalikan. Namun apakah benar setiap orang
mempunyai ukuran sukses masing-masing?.
Ada
pandangan lumrah yang memuarakan sukses pada wujud kemapanan. Mempunyai harta
yang melimpah, mobil berderet mewah, rumah megah dan bisnis yang bercabang
dimana-mana, itulah definisi sukses
sejati, katanya. Terdapat pula, keyakinan akut sebagian orang, dimana sukses
digadang-gadang memiliki sangkut paut yang erat dengan cita-cita terbesar di
masa depan. Sehingga untuk mencapai kesuksesan, harus mengontrol dan
mengarahkan tujuan hidup untuk sampai pada cita-cita tersebut. Selain itu
dituntut pula menaiki anak tangga yang terjal. Jatuh bangun merangkai jalan
menerjang ombak, pahit-asam rasa cemooh kehidupan.
Dalam
pandangan Syafii Efendi sukses merupakan akibat dari rangkaian sebab yang
secara sadar kita lakukan secara terus-menerus. Sehingga untuk mencapai sukses
harus ada action positive yang menjadi kebiasaan kontinuitas supaya dapat
menjadi manusia yang efektif. (Syafii Efendi, 2016: 47-48). Nampak jelas sekali
bahwa pandangannya lebih condong pada pendefinisian sukes yang disandarkan pada
hadirnya cita-cita terbesar dalam hidup. Memproyeksi jelas, seolah-olah manusia
tidak akan pernah mencapai kultuminasi hidup yang dilabeli sukses tanpa adanya
cita-cita. Namun harus digaris bawahi pula, bahwa dalam proses itu sudah pasti melibatkan
waktu sebagai kekuasan penuh yang harus dikendalikan, bukan sebaliknya. Memilah
kesempatan sesuai dengan proporsinya, sekaligus melibatkan hal penting dan
tidak mendesak. Di sinipun, ada benarnya pula apa yang dipekikan Dale Carnegie,
“If you fail to plan, you plan to fail”.
Berbeda
halnya dengan pandangan Ibrahim Ibn Adham, sang pangeran pengembara tanpa alas
kaki yang menghendaki kesuksesan hidup sebagai keluasan dan kedamaian batin.
Kesuksesan sejati bukanlah diukur dengan
gemilang harta yang mudah sirna dalam keserakahan kedipan mata. Bukan pula
karena strata sosial yang dimiliki. Melainkan, pemaknaan yang dalam terhadap
serangkaian proses kehidupan yang secara sadar dapat menikmati dan menghayati
penuh setiap keadaan.
Jika
demikian, lantas apa yang akan dilakukan tatkala sukses yang sesungguhnya
terwujud? Menghubungi malaikat izroil, menandaskan diri untuk mengutarakan
belum siap dijemput?. “Aku ingin hidup seribu tahu lagi!”, sang maestro Chairil
Anwar berujar penuh harap.
Komentar
Posting Komentar