Buku
Sekali Duduk
By Dewar
Alhafiz
Menghela
nafas jauh di ujung pandang. Berikanlah saya izin untuk merenggangkan kembali
jari-jemari mungil yang telah lama membeku ini. Mungkin akan ada berjubel alasan
yang membelenggu kebekuan itu. Sehingga sebagai dampaknya, saya takut pembaca
akan menjadi satru untuk meneruskan patahan tulisan yang penuh dengan kecacatan
dan ketidaksempurnaan ini.
Untuk
permulaan ini, saya juga tidak menghendaki celotehan yang begitu panjang lebar
sampai mulut berbusa-busa. Terlebih-lebih memberatkan diri dengan persoalan
runyam yang terus mengejar dan seakan-akan tidak ada habisnya, bahkan hampir
mencekik. Melainkan hanya bermaksud menyampaikan sedikit refleksi dari hasil
pembacaan acakadut saya terhadap bukunya Syafii Efendi yang berjudul ‘My
Enemy is Me’. Salah satu buku best seller yang lahir dari tangan kreatif
sang inspirator Trainer dan motivator termuda no. 1 Indonesia. Sekaligus
sebagai penulis buku best seller ’10 Langkah Sukses di Usia Muda’. Pertanyaan
besarnya kapan saya sukses? Jika melulu melangkah mundur tanpa ada target yang
jelas. Terlebih-lebih bidikan itu kabur. Jadi melik ih.
Bolehlah
saya sedikit minder guna mengoreksi diri secara pribadi. Jujur, terkadang saya
lebih sering atau mungkin lebih tepatnya disibukkan dengan kegiatan mencari-cari
celah kesalahan orang lain walaupun sekecil apapun. Mengapa demikian? Sebab terbayang-bayangi
oleh persepsi mencari musuh. Tidak mau kalah dalam segala bentuk oleh orang
lain. Apabila dianalogikan dalam lomba lari, saya tidak ingin mendapati diri
memulai langkah diposisi yang paling akhir. Melainkan mencita-citakan langkah
awal yang sangat brilian. Mungkin pembaca sendiri dapat menebak di mana posisi
yang dimaksud. Ya, posisi yang sangat ideal tentunya. Namun, sayang alih-alih
memproyeksikan diri sebagai orang yang besar kepala karena telah mendapatkan
posisi ideal. Terkadang lupa, bahwa ia sedang berkompetisi. Semua hal dapat
terjadi dalam arena kompetisi, 360 derajat lepas dari prediksi. Begituhalnya dalam
alur hidup.
Ketidaksadaran
diri dalam kompetisi inilah yang sejatinya mengaburkan. Terkadang dengan
spontanitas sesuka hati mencari musuh. Membingkai gejolak menang-kalah. Mengjustifikasi
benar-salah. Mengunggulkan diri tanpa memandang potensi terbesar yang dimiiliki
oleh orang lain. Namun justru sebaliknya, jangan terburu-buru cari musuh,
karena musuh tebesar dan terberat adalah dirimu sendiri. (Syafii Efendi, 2016:
5). (Termasuk iri dengan teman yang dalam waktu dekat akan segera melahirkan
buku single pertamanya).
Dirimu
sendiri yang terus mengumbar ego nan
kian terus semena-mena mengontrol diri. (Persoalan
tentang ego ini akan lebih asyik bila dikupas dalam pandangannya Sigmund Freud).
Bersikap permisif terhadap waktu yang terus terbergulir cepat. Padahal apabila
disadari, bukanlah waktu yang menunggumu, melainkan diri sendirilah yang
menjadi tuan atas penentu masa depanmu. Apabila tidak bergerak melakukan
perubahan dari waktu-waktu, sekaligus melakukan koreksi diri (muhasabah
yaumiyah) disetiap celah waktu, mungkin masa depan hanyalah cemooh
penyesalan yang terus menggong-gong di gendang telinga.
Inilah
salah satu bagian persoalan yang saya suka dari buku sekali duduk karya sang presiden
sekaligus senior Trainer dan motivator muda di PT. SE Management dan Indonesian
Enterpreneur Club tersebut. Oh, iya saya lupa menyebutkan kenapa buku best
seller itu saya gadang-gadang sebagai buku sekali duduk. Alasannya cukup simple,
sebab buku tersebut sangat tipis, hanya 90 lembar saja. (masih mendingan,
daripada lho nggak nulis! Duh, mak jleb, mak tratap). Sehingga dapat
membacanya hanya dengan sekali duduk. Semoga apa yang telah disampaikan menjadi
pemula yang baik, sekaligus cambuk pemantik untuk kembali kontinu berolahraga
jari. Bercengkrama syahdu dengan ponem acak di papan keyboard. Salam literasi.
Komentar
Posting Komentar