Langsung ke konten utama

Masih Refleksi


Refleksi Mengaji Mengasah Jati Diri Indonesia 2
Sebungkus roti tanpa berlabelkan syariah dan segelas air mineral dengan merk popular yang telah saya lumat habis tempo hari, mengingatkan kembali keremang-remangan ingatan saya tentang IAIN mengaji bersama budayawan kondang Sujiwo Tejo, bapak Lukman Hakim Saifudin selaku Menteri Agama RI, Gus Reza sebagai pengasuh pondok pesantren yang beken di Kediri dan tentunya Rektor favorit kita, bapak Maftukhin, pelawak akademik handal yang pandai mencairkan keadaan.
Salah satu agenda acara dalam memeriahkan dies natalis ke 50 IAIN Tulungagung ini telah berhasil menjadi magnet yang memuarakan ratusan masa. Kaum sarungan, pencinta sholawat, mahasiswa dan mereka yang hendak bersapa hangat dengan pak menteri kita. Termasuk para janc*kers yang berambisi bermuajahah dengan sang presidennya. Semuanya berduyun-duyun dan berbaur menjadi satu di lapangan merah yang sebagian permukaannya telah berbalut karpet, bersafari wisata religi ke kampus perabadan dan dakwah tercinta.
Semua jemaah duduk dengan tertata rapih dan terbedakan. Laki-laki dan perempuan membuat shof masing-masing. Untung saja tidak ada tabir yang menghalangi. Tabir lambang perbudakan. Simbol yang akan mencemooh dan mendiskriminasi hakikat dasar kemanusiaan yang pernah dicibir habis panjang lebar oleh Soekarno dalam artikel panji dan surat terbukanya kepada K.H. Mas Mansur selaku ketua PB. Muhammadiyah di tahun 1939, (Soekarno, 2015: 46-54). Sementara di sisi yang lain, jemaah berbaur. Tidak ada sekat sedikitpun. Semua perempuan dan laki-laki menjadi satu. Bak karedok, orang sunda menyebutkan. “Eh, ternyata neng kene malah sego campur”, bisik salah seorang jemaah yang belum aku kenal dengan ekspresi bibir tersungging sumringah. Sementara menteri agama telah hadir di atas panggung dan acara telah beberapa saat di mulai. Namun presiden Janc*kers, belum saja menampakan batang hidungnya. Beberapa orangpun sempat menanyakan keberadaannya dengan berceloteh sedikit keras. “wonge sek ngopi nk njobo”, sahut salah seorang jemaah yang betul-betul aku kenali.
Ah, namun sial! Tetap saja ingatan saya masih terbajak dengan gerak-gerik pejuang rezeki. Penjual tikar plastik yang wira-wiri tepat beberapa meter di depan panggung. Tukang asong kerupuk yang bersemangat menggembol produk dagangannya yang nampak begitu ringan. Penjual getuk pisang yang kedua tangannya disibukkan dengan jinjingan, sehingga tidak sempat memperhatikan kalau salah satu getuknya ada yang terjatuh. Untung saja ada jemaah yang berbaik hati untuk mengingatkan. Dan sesegara mungkin, ia pun mengambilnya kembali. Begitu halnya dengan sales penjual minuman sehat yang bermotto “cintai ususmu, minum ya**** tiap hari” berpakaian seragam menyergap para jemaah dengan bujuk rayuannya. Maklum penjualnya masih muda, perempuan lagi. Dasar, mata keranjang!. Namun dari arah selatan ada penjual yang lebih so sweet, dimana dua sejola pasangan lanjut usia dengan semangat menjajakan kacang rebusnya. Sang kakek pun dengan suara lancang tanpa menhiraukan keadaan bersua, “kacang rebus, kacang rebus, kacang rebus”. Suara khas yang biasanya orang-orang kenali di terminal dan sinteron tukang ojek pengkolan (TOP) yang disiarkan di salah satu channel televisi. Prak toprak, toprak, tropark yang bersahutan piawai dengan burr… cang ijo. Lah dalah kok malah curhat ya?. Duh.
Pandangan dan perhatian saya pun berusaha kembali difokuskan pada pengajian. Kali ini syair-syair asma’ul husna mbah Tejo menyihir hati. Rasanya Makjleb. Menyentuh setiap relung bongkahan rongga dalam hati. Ada kesan, bahwa dalam hiruk-pikuk pengajian ini Rahman-Rahim-Nya Tuhan sedang terjadi. Al-‘Aliimu-Nya Tuhan melimpahi jemaah dengan wujudnya pencerahan bathin. Ar-Rozaq-Nya Tuhan sedang menghujani pejuang rezeki sampai dengan tukang parkir dadakan yang berada tepat di luar kampus. Di satu sisi, seolah-oleh ada titah yang menembus qalbu untuk meneladani sifat-sifat Tuhan tanpa berpandang bulu. Terhalang dimensi ruang dan waktu, termasuk perbedaan agama, suku, ras dan etnik yang berbeda. Mengimplementasikan asma’ul husna dalam realitas kehidupan kebhinnekaan. Menebar kebaikan, menembus benci dengan kucuran cinta dan melimpahkan cinta-kasih yang tak terhingga. Bukan nama-nama mulia Tuhan yang sekadar hafal dan terus memutar dalam untai tasbih usang, melainkan menjadi semangat berkehidupan humanis, profetis dan analitis.
Ah, namun sayang! Lagi-lagi suara soundnya  lebih keras daripada jeritan jangkrik. Sehingga begitu mudah saya dipalingkan dari persoalan yang sedang diulas oleh ketiga narasumber. Ah, mungkin ini hanya alibi saya saja yang mengidam-idamkan hadirnya proyektor di area pengajian yang tidak strategis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal