Langsung ke konten utama

Safari Literasi sebagai Babak Baru Menebar Kemanfaatan

Dokpri flyer Safari Literasi Perdana 

Bahagia bercampur haru menyelimuti diri-- saya secara pribadi--mendapati satu demi satu program terbaru Sahabat Pena Kita Tulungagung (SPKTA) mulai terealisasi. Satu  dari sekian program terbaru besutan SPKTA tersebut yakni Safari Literasi. Safari Literasi dicanangkan sebagai program menanamkan kecintaan terhadap literasi secara dini kepada sumber daya manusia yang ada di berbagai jenjang satuan lembaga pendidikan. Baik itu di sekolah dasar (SD/MI), sekolah menengah pertama (SMP/MTs) atau pun sekolah menengah atas (SMA/MA).

Dalam prakteknya, segelintir anggota SPKTA yang dipandang representatif: kompeten dan siap menjadi pemateri bertandang ke sekolah tertentu. Materi yang didedahkan pun sesuai dengan permintaan lembaga yang bersangkutan. Pendelegasian tugas ini tentu bertumpu pada parameter kesiapan yang kompleks. Penguasaan materi, kesiapan mental dan public speaking yang mumpuni. Selama acara berlangsung, ada citra--marwah SPKTA--yang dipikul dalam benak. Alhasil, performa yang terbaik harus disuguhkan ke muka. Tidak ada pilihan lain dan tidak bisa diganggu gugat. Inilah yang menjadi alasan kenapa program Safari Literasi disebut dengan SPKTA goes to school.

Goal-nya tentu saja tidak semata-mata membidik para siswa sebagai segmentasi utama, melainkan juga memberikan peluang yang sangat terbuka bagi kalangan pendidik yang mau berproses. Utamanya, telah menjadi rahasia umum jika dunia pendidikan lekat akan tradisi literasi sepanjang prosesnya berlangsung. Tampaknya akan menjadi problematika tersendiri sekaligus boomerang atas citra lembaga jika kalangan internal jauh dari budaya literasi. Adalah sesuatu hal aneh--bahkan menyimpang--jika ada dunia pendidikan namun anti literasi. 

Ghiroh yang diusung program Safari Literasi ini sejatinya fokus mengembalikan kesadaran pembelajar: seluruh elemen manusia yang ada di satuan lembaga pendidikan untuk kembali ke khithoh. Khithoh untuk terus melek akan literasi. Melek dalam artian tidak terjerat objektivitas sistem zona nyaman yang dikonstruksi dunia pendidikan. Zona nyaman dalam konteks ini berarti mengarungi samudera literasi sebatas menggugurkan tugas formalitas belaka secara teknis. Pengguguran tugas yang berakhir dengan standarisasi nilai raport. 

Nilai raport yang tinggi belum tentu mencerminkan skill dan kreativitas literasi yang dimiliki sang siswa. Begitupun dengan guru. Guru yang mampu dan disiplin mengajar belum tentu memiliki kompetensi literasi yang mumpuni. Baik-buruk; bagus-jelek; pintar-kurang pintar tidak sepenuhnya dapat direpresentasikan dengan deret angka. Akan tetapi tidak salah juga jika sisi kuantitatif itu dijadikan sebagai salah satu standar kompetensi dan penilaian dari proses pembelajaran. Dimensi deskriptif dan kualitatif inilah yang kemudian menambal celah-celah yang menganga. Dimensi yang berlambar pada kemampuan literasi diri. 

Tegasnya, melalui program Safari Literasi ini SPKTA berusaha memberikan pemahaman bahwa literasi penting digalakkan untuk dijadikan sebagai paradigma, soft skill dan modal personal branding. Kemampuan literasi diri perlu diberdayakan untuk memberdayakan diri. Bukan hanya dalam bingkai status dan peran sebagai pembelajar, sekadar mencari kepantasan, melainkan sebagai kesadaran akan bagian dari peradaban ilmu pengetahuan. 

Di lain pihak secara pribadi saya melihat probabilitas klik bait (relevansi) antara program Safari Literasi dengan implementasi kurikulum merdeka di satuan lembaga pendidikan. Seperti halnya yang diketahui bersama bahwa kurikulum merdeka banyak bertumpu pada pembelajaran berbasis literasi dan numerasi digital. Hemat saya, tentu saja ini adalah peluang emas untuk SPKTA mengepakkan sayapnya di kancang satuan lembaga pendidikan. Entah itu mencakup ruang lingkup kabupaten, lintas kota atau pun nasional.

Kendati demikian harus ditegaskan di muka pula bahwa program ini dirancang bukan untuk kepentingan bermain di wilayah grey literasi. Memuluskan modus operandi sengkarut sisi gelap transaksi teknis dalam dunia pendidikan. Menyebarkan, mendidik dan membidik prospek penerimaan jasa perjokian tugas akhir dan lain-lain misalnya. Bukan, bukan itu tujuannya. Yang benar-benar kami hujamkan adalah upaya membumikan geliat literasi seluas mungkin. 

Ada harapan yang digenggam, semoga setelah dilakukan Safari Literasi di lembaga tertentu perpustakaan, mading dan potensi sumber daya manusia yang bersangkutan kian menampakkan perubahan. Perubahan menuju kebaikan. Kebaikan yang berdampak positif terhadap lahirnya karya sebagai jejak peradaban. Tampaknya menjadi pemandangan elok dan suatu kebanggaan tersendiri jika di antara para siswa dan dewan guru saling berkompetisi dalam mengusung kontribusi karya untuk peradaban. Verba volan skripta manen!


Tulungagung, 10 November 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal