Langsung ke konten utama

Puasa Ramadan Sebagai Ajang Pemberdayaan Diri

(Dokpri foto keindahan alam)

Tidak terasa kita telah sampai di paruh ketiga puasa. Ramadan tahun ini kita tidak hanya belajar toleransi, namun juga tentang pemberdayaan diri. Belajar toleransi karena memang umat Islam memulai puasa Ramadan bertepatan dengan perhelatan hari raya Nyepi. Di Minggu kedua puasa, saudara kita--umat Nasrani--memperingati wafatnya Isa Al-Masih dan disusul dengan peringatan hari Paskah. 

Toleransi mengajarkan sekaligus menyadarkan masing-masing diri--utamanya umat Islam--bahwa kita hidup di Indonesia berdampingan dengan pluralitas agama yang ada. Realitas sosial yang tidak mungkin kita diskreditkan dengan semena-mena. Justru dari pluralitas keberagamaan itulah kita banyak belajar memancangkan sikap dan ideologi Pancasila. Sehingga kita mampu berpikir jernih bahwa adalah sesuatu hal yang wajar jika kemudian di bulan puasa Ramadan warung makan tepat beroperasi seperti biasanya. 

Mengapa demikian? Sebab bisa jadi warung-warung makan yang beroperasi 24 jam nonstop itu merupakan salah satu tonggak untuk mencukupi kebutuhan mendasar (primer) saudara-saudara kita yang lain. Baik itu non muslim atau pun umat Islam yang sedang berhalangan menjalankan ibadah puasa. Para musafir, perempuan haid, ibu hamil dan menyusui misalnya. Pandangan dan sikap positif thinking (khusnudzan) yang meneduhkan inilah yang menjamin tegaknya kerukunan antarumat beragama di Indonesia.

Sedangkan puasa Ramadan sebagai ajang pemberdayaan diri meliputi tiga dimensi: introspeksi, penempaan dan transformasi diri. Proses pemberdayaan ini berlaku khusus untuk umat Islam. Dalam konteks ini, introspeksi bermakna fokus menimbang dan mengevaluasi ibadah puasa Ramadan yang kita jalani. Introspeksi ini penting guna meninjau lebih lanjut kualitas puasa yang telah kita jalani. Apakah dua pekan belakangan kita sudah menjalankan ibadah puasa secara optimal atau memang "sekadar alakadarnya"? Hanya masing-masing diri kita yang tahu pasti jawabannya.

Memang apa perbedaan mendasar antara menjalankan ibadah puasa Ramadan "alakadarnya" dan secara optimal? Puasa Ramadan yang dijalankan alakadarnya hanya fokus pada dimensi pemenuhan puasa dalam makna formalitas belaka. Puasa dipahami sebatas menahan dahaga dan lapar serta menghindari hal yang membatalkan yang bersifat "dhohir" dari mulai terbit hingga terbenam matahari. Tanpa ada penghayatan, evaluatif dan mengejar hakikat dari proses panjang menjalankan perintah rukun Islam yang keempat, puasa. 

Bagi kelompok ini menjalankan ibadah puasa sampai Magrib saja sudah beruntung dan dipandang baik. Seakan-akan dirinya telah menjadi hamba yang paling taat menjalankan titah Allah SWT. Alhasil, tidak menjadi soal jika kemudian waktu puasanya hanya diisi dengan tidur seharian penuh. Tren kekinian, tidak menjadi soal jika kemudian waktu puasanya habis hanya untuk berselancar di media sosial. Scroll tik tok, menonton infotainment di YouTube dan hal-hal yang tidak senonoh. Perutnya perih menahan kosong namun mata, telinga dan mulutnya tidak pernah kenal dengan istilah puasa. 

Perutnya puasa namun matanya tetap tidak terjaga. Tontonan mengundang nafsu syahwat tetap dinikmati. Perutnya puasa namun kedua telinganya tetap berfungsi sebagai corong bolong. Gemar mendengarkan umpatan-umpatan, misuh dan kata-kata kotor. Perutnya puasa namun mulutnya tetap tidak terkontrol. Ghibah, namimah, bully, julid dan lain sebagainya berhamburan keluar dari mulutnya yang terus menganga. Bahkan pada tataran yang kronis puasanya hanya bersifat fleksibelitas semata. Mengaku puasa jika berada di hadapan orang lain. Sebaliknya, jika sendirian diam-diam menghabiskan makanan. Sementara jika waktu ngabuburit tiba ia sibuk bereuforia dengan mencari takjil gratisan.

Entah apa pun itu alasannya. Stang motor yang belok sendiri, salah share google maps, terkena bujuk rayuan teman sejawat dan lainnya. Yang perlu digarisbawahi dalam menyikapi kasus ini adalah rentetan peristiwa tersebut mengindentifikasi tidak adanya sifat Ihsan (merasa terus diawasi oleh Allah SWT sehingga harus berbuat kebaikan) dalam diri perlakunya. Satu indikasi yang menunjukkan lemahnya iman. 

Lain halnya dengan menjalankan puasa Ramadan secara optimal. Orang yang berusaha menjalankan ibadah puasa Ramadan secara optimal memiliki prinsip dasar kehadiran bulan suci Ramadan sebagai anugerah dan berkah sehingga harus disyukuri sekaligus dijalankan dengan penuh suka cita. Hal itu terjadi karena syukur dan bahagia dipandang sebagai dua sisi mata uang. Syukur akan melahirkan kebahagiaan, termasuk berkah di dalamnya, (Suprianto, 2023: v). Siapa yang berpuasa dengan penuh khidmat maka kelak akan menuai kebahagiaan dunia wal akhirah.

Kesadaran atas puasa Ramadan itu juga muncul sebagai bentuk penghayatan dari hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari no. 2014. Bahwa barangsiapa yang puasa Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Karena itu pula kelompok kedua ini tidak ingin menghabiskan waktu puasa yang ada hanya dengan hal yang sia-sia semata. Ibadah mahdhoh dan kesadaran sosial dengan berbagai kebaikan kepada sesama dikencangkan. 

Puasa Ramadan sebagai dimensi penempaan diri banyak berkorelasi dengan upaya meningkatkan kesalehan spiritual diri melalui berbagai tradisi fastabiqul khoirot yang tumbuh-kembang khusus di bulan suci Ramadan. Salah satu di antaranya adalah tradisi ngaji pasan.

Ngaji Pasan atau Pasaran adalah tradisi mengkaji--bahkan mengejar khatam--kitab kuning tertentu selama bulan suci Ramadan. Tradisi yang menjadi budaya akar rumput eksklusif kalangan santri di pondok pesantren. Ngaji Pasan mulanya hanya dapat diakses dan dinikmati manakala datang langsung atau mengikuti agenda pesantren kilat di lembaga yang bersangkutan. 

Berbagai jenis kitab kuning--meski terbatas dalam pilihan dan tergantung siapa pengampunya--dikaji dalam ngaji Pasan. Mulai dari kitab fiqih, tauhid, tafsir, akhlak, hadits dan tasawuf menjadi sajian yang ditawarkan. Kitab-kitab kuning dengan genre itu dipilih karena dipandang lebih mudah untuk dicerna dan diamalkan. 

Jika kita menengok tradisi ngaji Pasan di dua tahun terakhir, tatkala pademi covid-19 mendekonstruksi tatanan berbasis yang sudah ada, budaya ngaji Pasan di pesantren-pesantren pada kenyataannya juga mengalami imbasnya. Ngaji Pasan yang awalnya disetting secara klasikal (face to face) mulai dihelat via online. Tersebutkanlah bentuk baru itu dengan istilah ngaji online. KH. Ulil Abshar Abdalla merupakan salah satu contoh representatif ulama yang gayeng melanggengkan tradisi ngaji online berbasis kitab tasawuf.

Menyeruaknya ngaji online di media sosial tentu memberikan dampak positif dalam kerangka kerja memberdayakan intelektual ala Buya Syafi'i Ma'arif, Allah yarham. Terlebih lagi tak jarang pengampu membagikan kitab kuning virtual secara cuma-cuma. Tentu hal itu tidak semata-mata menunjukkan upaya adaptatif kalangan pesantren terhadap sarana yang ada sebagai gelanggang kontestasi keilmuan, namun juga menegaskan pentingnya tradisi melek literasi: membaca, memahami, menafsirkan dan mengamalkannya.

Tradisi ngaji Pasan secara implisit sedang menegaskan bahwa nenek moyang kita dahulu merupakan seorang penulis. Melalui kitab-kitab klasik yang dipelajari tersebut sejatinya kesadaran literasi kita sedang ditempa, dibelalakan dan dilejitkan. Kita tak hanya didikte untuk memahami gagasan materi yang dituangkan pengarang, namun pengarang juga mengajari secara langsung cara untuk berpikir, menyikapi persoalan, memberikan solusi hingga menuangkan keresahan zaman sesuai konteks dalam bentuk karya. Ngaji Pasan menegaskan betapa pentingnya asupan gizi untuk otak dan kalbu. Bukan melulu terpusat pada urusan perut.

Sementara puasa Ramadan sebagai dimensi transformasi diri adalah kulminasi yang akan diraih (postulat) manakala seseorang telah berusaha menjalankan sekaligus mengisi ibadah puasa dengan berbagai hal kemanfaatan dan melakukan proses penempaan diri semaksimal mungkin. Dalam hal ini saya sepakat dengan pandangan Prof. Ngainun Naim dalam buku Jejak Intelektual Terserak (2023: 6-7) yang mengutip Turner dan Asad (1994) bahwa ibadah puasa pada hakikatnya adalah ajang mendisiplinkan diri. Pola konsumtif yang terkontrol, hasrat biologis dan psikologis yang ditempa selama sebulan penuh selaiknya merekonstruksi kepribadian yang sarat dengan nilai kedisiplinan. 

Kedisiplinan dalam segala aspek kehidupan. Menjalankan ibadah mahdhoh tepat waktu, makan yang porposional (tidak isrof dan tabdir), disiplin terhadap waktu, pandai dalam menempatkan diri (adaptatif) sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan sekitar. 

Maka tak ayal jika kemudian parameter dari proses panjang menjalankan ibadah puasa dan meraih malam Lailatul Qadar adalah menjadi pribadi yang lebih baik dari keadaan sebelumnya. Dari pribadi infantil dalam ritus keseharian menjadi insan kamil dan Muttaqin dalam melanggengkan kesalehan spiritual dan sosial. Inilah yang disebut puasa sebagai ajang pemberdayaan diri.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal