Berguru Pada
Pengalaman
Hampir tiga tahun lebih saya
tidak berjumpa dengan beliau. Namun malam kemarin adalah momentum yang tepat
untuk dipertemukan kembali. Ya, saya rindu bersua ria pada jam perkuliahan
dengan beliau. Salah seorang dosen tetap di kampus IAIN Tulungagung. Ibu Zulfa,
sapaan akrab saya kepadanya. Memang, baru akhir tahun kemarin beliau
rasa-rasanya telah kembali aktif di kampus tercinta, setelah lama
menyempurnakan jenjang studinya di Australia untuk gelar doktornya.
Tak disangka siasat keterlambatan
saya datang ke acara kongkow bareng bersama Forum Perempuan Filsafat dan
aktivis perempuan Tulungagung di Omah Asri Coffee (Omas Coffee, khalayak
menyebutnya) berbuah manis. Saya dapat berjumpa dan menyapa langsung Ibu Zulfa
tepat di parkiran café itu. “Bu…”, tukas saya sembari menuang senyum merekah
kepadanya. Masih saja terbayang betul bagaimana ekspresi beliau yang baru saja
turun dari motor dan dengan segera menyambut sapaan saya. “Roni, kan?” respon
cekatannya sembari sedikit mengangkat tangan kanannya. Lantas, ingatan beliau
yang masih saja kuat membuat rasa senang saya membuncah di ujung ubun. Dengan
refleks, saya langsung meraih tangan kanannya. Saya bersalaman dengan beliau.
Luar biasa rasanya. Meskipun telah lama tidak berjumpa, namun beliau masih
mengingat saya. Sikap beliau tetap hangat dan begitu arif, masih lekat seperti
waktu-waktu perkuliahan yang lalu. Dan itu kian mengimbuh kuantitas kagum dan
hormat saya terhadap beliau.
Tak lama setelah bu Zulfa
bernegosiasi dengan bu direktur FPF, (mak Dian saya menyebutnya), lantas beliau
langsung menuju tempat pemesanan. Sementara saya membuntutinya. Niat awalnya,
saya hendak memesan minuman yang mampu menghangatkan tubuh, namun ternyata
tekad itupun berhasil tergugurkan tatkala mak Dian membuang kata, “Bang ron,
saman minum minuman yang telah dipesankan FPF saja”. Sontak langkah kedua kaki
sayapun masih saja mengekor bu Zulfa dan mak Dian untuk menuju acara
perdiskusian itu dihelat.
Perhelatan diskusi malam kemarin
merupakan rangkaian acara peringatan International Woman Days yang beberapa
minggu lalu dirayakan. Begitu ringkas bu direktur FPF menegaskan. Dengan tajuk,
“Melawan Kejahatan Seksual melalui RUU Kekerasan Seksual”, pemateri tunggal, Dr.
Zulfatun Ni’mah, M. Hum, yang dimoderatori oleh mas Sulkhan Zuhdi berhasil
menjadi pusat perhatian untuk durasi waktu yang telah direncanakan. Meski
terkadang, celoteh usil lebih pekik mengumbar guyon dan mengalihkan perhatian.
Belum lagi ditambah dengan suara sound sistem yang acak kadut. Samar dan lebih mellow
bila dibandingkan dengan nyaring kicauan Love bird di samping kos.
Berbicara persoalan relasi hukum
dan perempuan adalah topik yang memang sangat dikuasai bu Zulfa. Dapat
dikatakan beliau pakar kapabelitas dibidangnya. Dirancangnya RUU kekerasan
seksual terhadap perempuan, akhir-akhir ini menjadi isu hangat yang memang
menarik pusat perhatian. Baik itu menjadi polemik yang terus digumamkan oleh
kalangan pembuat keputusan undang-undang itu sendiri, dalam lingkup DPR maupun
dalam bingkai pandangan khalayak aktivis yang mengatasnamakan suara perempuan.
Pro-kontra adalah hal yang lumrah
terjadi. Namun, yang pasti dirumuskannya RUU kekerasan seksual ini merupakan
salah satu upaya pemerintah untuk mencegah, mengatur dan melindungi mereka selaku
korban kekerasan seksual, yang umumnya menjadi korban selalu menyasar
perempuan. Namun nyatanya, rancangan RUU kekerasan seksual itupun mendapat
respon yang sengit dari pihak yang menentangnya. Menolak disahkannya RUU
kekerasan seksual tersebut. Alasannya memang selalu mencari celah yang
berbelit-belit. Mulai dari mempermasalahkan produk hukum kesetaraan gender itu
yang bermuara pada liberal. Logika terbalik yang digunakan. Legalisasi zina
sampai dengan istilah perbudakan seksual. Yang jelas penolakan yang dilakukan
salah satu parpol dalam tubuh pembuat perundangan-undangan tersebut hanya
sedang mencari perhatian dalam mengukuhkan eksistensinya.
Ah, sayang, sejauh ini hanya
sebatas itu yang membekas dalam ingat saya. Lagi-lagi, menumpahkan rasa rindu untuk
sekadar bercuap-cuap ria dan bersenda gurau dengan teman satu jurusan di
jenjang strata satu nyatanya lebih asyik dan mampu mengalihkan fokus pikiran
saya. Alhasil, buyarlah kosentrasi saya.
Namun tetap saja, bagi saya sang
pemateri pada perdiskusian malam kemarin sangat istimewa. Dan tetap menjadi
salah satu dosen favorit saya. Sebab dari beliau saya belajar banyak tentang
menghargai waktu. Belajar mendisiplinkan diri. Belajar menjadi pribadi yang
matang dalam menghadapi situasi. Dan yang sangat saya suka dari beliau adalah
konsistensi jejak rekamnya dalam persoalan menulis. Karakter menulisnya yang
beritme refleksi namun tetap bergizi dan memberi asupan nutrisi dengan sisipan
materi menjadi porsi yang porposional untuk dicicipi. Bahkan tak berujung pada
rasa bosan yang memilukan. Tak jarang
pula, saya menemui postingan tulisan renyahnya terkait kasus kekerasan atau
pelecehan seksual yang memang terjadi pada orang-orang sekitar. Dan beliau
menjadi konsultan handalnya.
Selain itu, saya suka pula dengan
gaya perkuliahannya yang ketat, profesional dan sangat disiplin. Dan yang
terpenting memiliki sistem dan metode perdiskusian yang sangat menghidupkan
suasana dalam perkuliahan. Mungkin iya, khalayak menilainya killer dan menakutkan.
Namun, bagi saya justru sistem itu mengasyikan dan mampu mendongkrak kualitas
diri secara sadar. Ah, alhasil saya rindu kuliah dengan beliau. Apalagi dengan
kuisnya, lima belas menit pertama sebelum sesi acara materi inti disampaikan.
Namun sayang seribu sayang, pendisiplinan
yang beliau berikan kepada kami mulai melemah kembali dan tersisihkan. Toh,
buktinya menghelat acara kongkow bareng saja tetap molor. Ternyata, praduga saya
tidak meleset, jam karet masih saja kebudayaan yang berlaku.
Komentar
Posting Komentar