Langsung ke konten utama

Refleksi Diri

Catatanku di Bulan Maret
Masih saja tersisa serpihan tugas di bulan Maret ini. Bahkan daku hampir dibuat kewalahan dengan beberapa tugas kecil yang belum terampungkan. Memang tugas itu tidak akan pernah nampak begitu berat, selama semuanya dikerjakan dengan penuh keriangan dan semangat yang terus menggebu-gebu. Namun justru sebaliknya, sikap meremehkan tersebut berujung pada penundaan. Bentuk halus dari sikap menyepelekan. Ya, sebab menyepelekan inilah akhirnya daku menjadi target bulan-bulanan malas senjata makantuan. Hingga sampai hati, mengandalkan pamungkas terakhir, the power of kepepet.
The power of kepepet ini pula yang sering daku payahkan tatkala hasrat malas lebih senang merangkul jari-jemari pincang. Sementara segenap ide terus memberontak, memberi perlawanan sengit dalam bentuk pening yang dibumbui keringat dingin dan terus menguap. Perlahan tapi pasti, ide itu mulai menguap terbawa suhu tubuh yang kian meningkat. Hembusan nafas panas dan aroma kecut itulah yang menjadi teman sejati di setiap detik.  Bahkan, hampir menjadi selimut bagi tubuh yang sedang sekarat. Ya, sakit itulah yang telah menanggalkan serentet rencana didua minggu bulan Maret ini.
Selama dua minggu itu pula, daku dibuat gelisah dan tidak karu-karuan. Teringat tugas yang terus melambai-lambai dan harus segera terselesaikan. Apa daya, maksud hati ingin memeluk gunung, namun apa daya tangan tak sampai. Sementara, sederet tanggal istimewa yang telah dilingkari harus tega terabaikan. Ya, tanggal-tanggal itu telah kuacuhkan sembari sinis mengoceh manis, “Sing penting waras awak disek, ben tugasku kabeh pada melu waras!”. Alasan, tetap saja alasan klasik diandalkan.
Ah, entahlah saat kuingat sederet tanggal yang telah kuacuhkan itu, yang tersisa hanyalah petuah Clifford Geertz mengenai peristiwa-peristiwa istimewa di tanah Jawa. Setiap kelahiran, khitanan, slametan, pernikahan, pindah atau bangun rumah, kematian dan kejadian-kejadian lain yang layak untuk dirayakan secara pasti teristimewakan. Hampir tanggal-tanggal tertentu yang memiliki peristiwa penting dalam hidup disakralkan. Itu berarti diistimewakan. Sampai di sini, ingatanku kambuh lagi. Dan sekarang yang terlintas dibenakku adalah tulisan lama yang berjudul “Takwim Islam Jawa”.
  Apa yang telah diutarakan Geertz rasa-rasanya akan genap semakin tersempurnakan oleh Andre Muller tatkala membicarakan tanggal istimewa di tanah Jawa. Muller dengan salah satu karya magnum opusnya yang berjudul “Ramadhan di tanah Jawa”, telah menyihir ingatan kusutku. Bahkan daku dibuatnya terus menyernyitkan dahi berulang-ulang. Muller menegaskan, sejatinya penanggalan dalam islam sendiri dikenal dengan istilah takwim. Sementara hari-hari dalam agama islam sendiri dipenuhi dengan makna ibadah (ritus). Misalnya saja, tanggal 12 Robiulawal yang dikenal sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Tanggal 17 Ramadhan yang sering disakralkan sebab turunnya Al-Qur’an, tersebutlah malam nuzulul qur’an.
Uniknya, takwim dalam islam itupun menjadi lentur tatkala berasimilasi dengan budaya dan bahasa Jawa. Misalnya saja perubahan penyebutan bulan dalam islam. Versi islamnya; Muharam, Safar, Rabiulawal, Rabiulakhir, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rajab, Sya’ban, Ramdhan, Syawal, Zulkhodah dan Zulhijah. Sementara versi islam Jawanya; Sura, Sapar, Mulud, Ba’da Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Sela dan Besar. Tidak hanya demikian, Takwim islam jawa pun menjadi sangat detail sampai menentukan hari pasaran. Misalnya dualisme libur dalam mingguan, puasa sunnah dipertengahan bulan, penentuan hari baik pernikahan sampai dengan kegiatan Yasinan rutin di hari Jum’at Kliwon. 
Ah, sial, bukan itu pula sejatinya yang hendak aku katakan. Melainkan hendak berkisah tentang perjalananku di minggu-minggu awal bulan Maret. Rencanya pada tanggal 3 Maret aku hendak ujian Toefl di Pare. Hingga akhirnya, tepat pada tanggal 2 Maret pukul 19.30 WIB aku harus menyusuri jembatan baru ngujang dua. Ini pertama kali perjalananku menyusuri jembatan baru itu menuju ke kota Patria, Blitar. Kodisi malam itu telah mengaburkan isi kepalaku mengenai arah. Hingga membuatku merasa bingung bukan main. Untuk menuju pondok Kunir saja, harus beberapa balik aku pontang-panting. hilir-mudik memastikan jalannya. “Maklum ini pertama kali ke Blitar melalui jembatan baru. Gelap pula”, ketusku dalam hati, sembari merasa bodoh diri.
Tak lama, akupun menyisih ke pinggir jalan. Kuraihlah hp di saku kanan celana. Berbekal paket data, dengan segera aku chat salah seorang teman kuliah yang memang benar-benar orang Blitar asli.  Waktu itu, chatku singkat, jelas dan padat. “Dari jembatan baru, ke mana arah menuju ke pondok kunir?”. Beberapa saat kemudian, chatku dibalas. Dan ternyata akupun harus berbalik arah. Sebab, perputaran roda sepeda motorku ternyata telah terlalu jauh tersesat.
Hampir dengan kecepatan 80 km/jam akupun mengejar keterlambatan. Hingga akhirnya sampai di depan asrama pondok kunir. Namun yang menyambut hangat hanyalah kesunyian dan angin malam. Kurogoh, hp di saku celana. Dengan cepat kukirim pesan, pada salah seorang teman yang memang telah direncanakan hendak berangkat bersama menuju Pare esok hari. Tatkala itu, daku dibuatnya mematung sekadar menunggu kepastian. Hingga akhir, seorang lelaki paruh baya sembari membawa kitab dipelukannya menyapa. “Ngerantos sinten mas?” gumamnya kepadaku. “Mas Sanusi”, jawabku singkat. “Owh, nggih. jenengan langsung teng lor mawon mas”, tukasnya mengarahkan. Tak lama, kuraih kunci motor di saku, kukendarai motor maticku menuju tempat yang di maksud.
Sesampai di tempat. Nampak jelas, plakat nama di atas gerbang itu, “asrama putri pondok kunir”. “Loooh, kok perempuan?” tanyaku dalam kepala. Namun, rasa penasaran itupun akhirnya terjawab, dikala lelaki paruh baya itu hadir kembali di belakangku, sembari menegur, “jenengan mlebet manwon mas”. Lelaki itu berjalan dan dengan bergegas memanggilkan temanku yang bernama lengkap Imam Sanusi. Kebetulan Sanusi merupakan salah seorang ustadz di pondok Kunir. Dan ternyata setelah aku ngobrol ngalor-ngidul, yang tadi menyapa dan mengarahkan aku adalah pengasuh pondok kunir. Oh my god. Untung tidak bicara macam-macam.
  Tanpa berbekal malu, akupun dipaksa ikut berbaur dengan para ustadz dan para pengasuh pondok Kunir di ruangan aula putri. Kebetulan, di malam itu sedang berlangsung rapat dan agenda foto bersama. Ditariklah diriku di tengah-tengah prasmanan. Kebetulan juga acara rapat telah berakhir. Tatkala itu, yang sedang berlangsung adalah makan malam. Sontak, akupun langsung disodori piring yang berisikan nasi dan bothok lele. Masih terbayang bagaimana rasanya. Sebenarnya, aku telah berusaha menolak sebab kondisi perut memang masih kenyang. Namun, apa daya, katanya kalau disuruh sama kyai tidak boleh menolak. Akhirnya, selepas bersalaman dengan beberapa ustadz, kulahaplah hidangan yang tersedia dengan gaya malu-malu kucing. Segelas bubur kacang yang masih hangatpun menjadi pencucui mulut yang sempurna.
Satu persatu para ustadzpun sirna dalam pandangan. Yang tersisa, hanyalah aku, kang Sanusi, Mikho dan adiknya, Kowi. Ketiga ustadz itu memang kukenal baik. Beberapa saat sebelum memutuskan diri untuk pulang, karpet yang masih terhamparpun digulung terlebih dahulu. Jendela dan pintu dipastikan telah terkunci rapat. Sampai dengan bersalaman terlebih dahulu kepada para pengasuh pondok yang memang sedang berbincang ria sembari sesekali mengisap rokok yang ajeg diapit jarinya.
Pandanganpun kubuang ke arah parkiran. Dan tatkala itu yang tersisa hanyalah sepeda motorku yang kesepian. Kang Sanusi pun membisik, “motor.e dituntun wae kang”. Malam telah menjamu, nyaringpun diangap sembrono jikalau membuat kegundahan. Untuk beberapa meter, motor maticpun kutuntun. Hingga akhirnya, sudah merasa berjarak dan dirasa tidak membuat kebisingan, kunyalakanlah mesinnya. Kukendarai menuju asrama pondok putra. Oh iya, tatakala malam itu, kami gagal berangkat pulang ke Kediri. Padahal niat dan rencananya, malam itu bermalam di rumah kang Sanusi di Kediri. Namun, karena ada pekerjaan mendadak, kang Sanusi harus membatalkannya. Dan merencanakan paginya untuk menuju ke Kediri.  Tak kusangka, aku harus bermalam di kamar pondok Kunir. Dan itu memancing rindu dengan panggilan untuk mondok lagi.
Paginya, sekitar pukul enam seperempat, kami bergegas menuju rumah Kang Sanusi terlebih dahulu. Setelah itu, barulah kami berangkat menuju kota Pare. Perjalanan itupun nampak begitu alot. Hingga rasanya, hampir dibuat keram sekujur tubuh. Ditambah pulang-pergi aku harus mengendarai sepeda motor sendirian. Tanpa gandengan tanpa bergantian. Namun, ini adalah pengalaman yang luar biasa, mengendarai sepeda motor dengan jarak yang paling jauh selama ini. Meskipun, selama perjalanan pulang, harus tersesat beberapa kali. Maklumlah kami tersesat, wong yang mengendarai motor tidak ada yang asli Kediri. Yang satu, temanku asal Kalimatan membonceng temannya asal Trenggalek. Dan satunya lagi, aku orang Ciamis. Untuk satu hari satu malam tidak apa-apalah jadi single driver.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal