Langsung ke konten utama

Review Antalogi


Refleksi Bacaan yang Sempat Tertunda
By Dewar Alhafiz
Pagi November. Memori kusam saya mulai sempat bertamu kembali dengan mengecam segelas teh hangat di pagi hari. Rasanya begitu nikmat, tatkala setiap tegukan mulai menghangatkan sekujur tubuh. Walaupun sangat jelas, hal itu hanya ada di dalam imajinasi.
Beberapa bulan yang lalu, saya sempat sedikit menengok salah satu buku yang diterbikan oleh IAIN Tulungagung Press. Nampaknya tidak perlu saya sebutkan secara lantang kalau buku tersebut berjudul “Di ujung Selatan Kota Partia”. Tidak perlu pula saya memojokkannya dengan gaya yang sarkas, tatkala mengatakan bahwa buku tersebut berisi catatan refleksi Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa IAIN TUlungagung 2017 di Kabupaten Blitar. Dan tatkala itu saya baru mengetahui, bahwa kota yang dulu pernah saya kencani dikala KKN tersebut memiliki julukan kota Patria. Helloo kemana saja ya???. Padahal hampir sebulan lebih saya nunut tidur di sana. Lebih tepatnya empat puluh lima hari saya meratap di kampung orang. Ngomel sana-sini, ikut nimbrung ini-itu dan yang lebih parah, saya merasa menjadi penguntit handal di setiap aktivitas masyarakat sekitar. Ah, tapi sayang, semua itu tidak tercover dalam buku antalogi secanggih sekarang.
Buku antalogi yang berisikan tulisan pengalaman selama KKN ini, menuangkan buah tangan Ibu Anin Nurhidayanti dan kawan-kawan. Tidak terlupakan pula, penyunting buku ini adalah mas dosen kece yang sebentar lagi dirumorkan akan melepas kelajangannya. Ah, sssttt… rahasia, tidak usah disebutkan kalau itu adalah salah seorang staf di LP2M. Biarlah angin kebebasan yang membisikan nama tersebut ke dalam batin anda. Uniknya, setiap topik tulisan yang dipajang dibiarkan apa adanya. Tulisan alami, tanpa direka-reka. Bahkan pembawaan bahasanya pun mengalir apa adanya, mencitrakan catatan refleksi yang sesungguhnya.  
Pencitraan catatan refleksi tersbut semakin nyata, tatkala saya mulai melahap satu demi satu tulisan tersebut. Ada banyak varian rasa yang saya nikmati. Ada banyak sisipan pesan dan kesan yang menyentuh hati. Meneduhkan jiwa mencemburui waktu. Namun, ada pula “ideologi” khas sang orator handal yang sedikit mencekal kedua bibir saya untuk berhenti terkantup. Membungkam mulut dan menutup hidung, seakan-akan menghendaki pembaca untuk berhenti bernafas. Meskipun demikian, ada banyak poin penting yang dapat saya ambil dari buku tersebut.
Pertama, diterbitkannya buku antalogi tersebut setidaknya menjadi kebanggan tersediri bagi para penulis yang pengalamannya terpampang jelas di dalam buku. Ada kemungkinan, hal itu mengapresiasi dan menggeliatkan kesadarannya untuk mulai berkarya. Mentradisikan literasi dalam setiap jengkalan hidupnya. Menjadi pemantik yang menggelora untuk terus menuliskan refleksi pengalaman hidupnya, barang kali saja bisa seperti Thomas Stamford Raffles dengan karya The Hostory of Java –nya atau mungkin seperti Clifford Geertz dengan buku The Religion of Java yang menjadi tokoh yang bermakna dalam memberikan pengetahuan tentang segmentasi kehidupan berabad-abad. Atau mungkin menjadi peneliti muda yang lebih tampil kece. Ah, semoga demikian. Mendingan diamini saja.
Kedua, hadirnya buku yang berjudul “Di ujung Selatan Kota Patria” tersebut mampu menjadi parameter perihal sejauh mana tingkat keberhasilan aktivitas KKN mahasiswa. Sedalam apa proses internalisasi hubungan mereka dengan masyarakat sekitar. Sampai dengan seberapa larut peran mereka dalam mengatasi setiap permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat. Toh, setinggi apapun idelaisme itu pada akhirnya akan kembali pada identitasmu sebagai makhluk sosial bermasyarakat. Atau malah mungkin sebaliknya?. Ah, itu mah mungkin hanya pengalaman saya saja, yang dulu mampir ke rumah warga disuruh makan ya tidak menolak. Bahkan acap kali pulang membawa bingkisan. Eh, keceplosan.   Meskipun tidak dinapikan pula, hal itu hanya berlaku bagi sebagaian kelompok yang berinisiatif membingkainya dalam bentuk buku antalogi.
Ketiga,  mampu merepresentasikan sejauh mana kualitas tulisan mahasiswa tingkat akhir. Varian rasa dan corak yang saya nikmati tatkala membaca serangkaian tulisan dalam buku tersebut, nampaknya telah menjadi deskripsi yang cukup nyata bahwa hanya segelintir orang saja yang benar-benar menikmati essensi dari proses perkuliahan. Mampu mentradisikan membaca dan menulis. Tidak sekadar terbawa arus, tenggelam dalam kebiasaan yang sangat membosankan. Budak sistem yang menjadi kacung kepraksisan. Ah, terlalu idealis bahasa saya. Toh, buktinya sama-sama mendapatkan ijazah dan tidak tahu akan ke mana nasibnya. Bertransformasi dengan inovatifnya atau malah menambah tingkat pengangguran. Ya elah jangan ber-ethok-ethok lo bang, toh buktinya saman sendiripun masih betah dalam zona nyaman. Ighfirlana ya Rob  
Uraian poin penting  yang tertuangkan di atas hanya segelintir manfaat menurut saya semata. Bisa jadi, beda kepala yang menyampaikan akan jauh lebih luas dan lebih apik dalam memberikan komentar yang membangun. Ada hikmah hidup yang hendak ingin saya sampaikan dari kumpulan tulisan yang terdapat di dalam buku tersebut, bahwa “hidup adalah serangkaian proses mencari makna hidup. Tenggelam dalam mencari makna, hingga luput mendefiniskan proses adalah rangkain panjang hidup. Mulailah menghargai kesempatan. Pandai-pandailah menyikapi semua yang terjadi dengan penuh kelapangan. Berani melangkah berarti siap menerima akibat. Memutuskan pertimbangan dengan penuh kematangan adalah usaha pribadi untuk menjadi bijak”.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal