Langsung ke konten utama

Edisi Sinau


Terpesona di awal jumpa
Oleh:  Roni Ramlan
Keberuntungan telah menyapa saya, memberi warna dalam goresan asa yang belum sempat saya kira. Bersyukur pula, waktupun berkompromi santun dengan rundown tugas akhir kuliah saya di semester tua. Meskipun tidak dapat dipungkiri, bahwa Mr. Skripsi akan terus memaki saya, jika dalam sehari saja jemari mungil ini tidak membelainya. Menyapanya dengan secangkir teh hangat di kala fajar tiba. Meruwatnya di kala siang bolong menganga. Memberi senyum manis dikala senja sampai menjadi teman akrabnya tatkala rembulan sinarnya tiada dua. Mungkin hampir semua perhatian saya tercurah halus kepadanya, apalagi mengingat teman-teman sejurusan saya yang telah menuai keringat dingin dengan gelar sarjana.
  Sabtu sore 21 Mei 2017, saya pun berangkat dengan tekad yang bulat ke Surabaya. Masih teringat betul dimemori saya, tatkala itu pun hanya kesungguhan niat untuk menghadiri acara kopdar IV Sahabat Pena Nusantara (SPN). Memang saya bukan siapa-siapa, bukan pula anggota aktif, sang literator yang bergelut di dalamnya. Melainkan hanya penikmat tulisan-tulisan luar biasa SPN yang tahu betul di mana posisinya berada. Bisa dibilang penguntit kali ya?    
Perjalanan malam pun bukanlah suatu pengorbanan yang berarti apa-apa, karena diesok hari akan berjumpa mereka yang luar biasa. Tidak perlu diceritakan kalau saya sampai di Surabaya pukul 21: 30 WIB, menunggu teman ITS (Institut Teknologi Sepuluh November) satu jam di Stasiun gubeng baru, makan malam 23: 01 WIB sampai tidur di mushola. Cukuplah saya sendiri yang menyimpan rapat kenangan masih itu dimemori kepala.
Sang fajar begitu santun menyapa dunia, dan saya pun luput akan kumandang adzan subuh yang mengetuk pintu mushola. Tidak mengapa, beruntunglah sang mentari belum genap menyingkap gelap di Surabaya.
Bergegas disertai rasa gembira, saya bersama seorang teman menuju tempat terselengaranya acara. Mengejar waktupun menjadi bagian penting dari seberapa cepat irama langkah kaki saya. Namun Rektorat ITS pun yang menjadi tempat bergemanya acara belum terbuka. Akhirnya kami harus menunggu sebentar di gazebo, hingga beberapa saat nampak para peserta kopdar yang berpakai khas batik menuju rektorat. Dengan bergegas kami menuju rektorat, dan di sana pun telah berjajar beberapa orang menyambut hngat kehadiran kami. Tentu tatkala itu, mereka masih sangat asing bagi saya. Ya, ini memang pertama kalinya saya mengikuti acara kopdar SPN, jadi maklumlah kalau saya belum kenal mereka semua. Mungkin yang saya kenal hanya Pak Ngainun Naim dan Mas Mustamsikin saja, tapi tidak apalah, insya Allah nanti kalau diperkenankan bergabung dengan sahabat pena nusantara, pasti dengan cakap akan mudah mengenali panjengan semua.
Sangat mengagumkan, luar biasa, kesan yang saya dapatkan di kopdar IV kali ini. Mungkin bila dijabarkan, dua kalimat itu akan beranak-pinak dalam lembaran panjang tidak terhingga. Sungguh top markotop, para narasumber membingkai wawasan materi yang disuguhkan. Mulai dari Pak Ngainun Naim yang hampir tidak akan menemukan rasa bosan bila menghayati betul tentang “Menyunting Naskah: Catatan Berbasis Pengalaman” yang beliau sampaikan. Memang telah berkali-kali saya mengikuti seminar dan talk show yang dinarasumberi oleh beliau, namun hasilnya tetap positif ashli mengasyikkan. Bahkan menggugah qalbu dan menginstruksikan jemari saya untuk secepat mungkin menggoreskan pena dikertas tabula rasa.
Pak Hernowo Hasim dengan materi “Demonstrasi Latihan: Menulis Mengalir Bebas” yang tidak ada matinya. Meskipun secara jujur saya harus mengakui, telah berkenalan lebih dahulu dengan ruh model free writing-nya melalui kata pengantar yang termaktub dalam buku “Proses Kreatif Penulisan Akademik Panduan untuk Mahasiswa” Pak Ngainun Naim. Tidak terlupakan pula, salam kenal juga ti abdi nu sami-sami urang sunda.  
Narasumber ketiga, Pak Much. Khoiri melalui materi “Menulis Buku untuk Warisan: Jangan Mati sebelum menulis” yang membuat saya terbelalak akan pentingnya literasi. Sinkronisasi efektivitas dan efesiensi kesempatan-literasi menjadi penting dalam menitih makna kehidupan di dunia ini.
Semuanya tersampaikan dari muara mengalir ke hulu, sungguh memantik spirit menulis saya yang telah lama menurun drastis. Entah itu di blog, facebook, dibulletin dan sebagainya. Ketara pula,  gejolak literasi terpancar cerah diraut wajah bahagia anggota SPN. Terlebih-lebih panjengan yang berhasil mempromosikan produktivitas buah keringat menulisnya. Sungguh saya berharap besar bisa berada didekapan hangat panjengan semua. Belajar banyak prihal menulis dari panjengan semua. Ikut berkontribusi dalam menggemakan wacana pentingnya menulis di Nusantara. Saya pun terpikat dengan pesona SPN di awal jumpa.     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Koleksi Buku sebagai Pemantik

Dokpri buku solo ke-10 Saya kira transaksi literasi saya dengan Qadira akan usai seiring tuntasnya koleksi komik yang dibaca namun ternyata tidak. Di luar prediksi, transaksi literasi itu terus berlangsung hingga kini. Kini dalam konteks ini berarti berlangsung hingga detik-detik akhir pelaksanaan Sumatif Akhir Semester genap.  Keberlangsungan ini, jika boleh menerka, hemat saya tak lain karena provokasi dan motivasi yang saya berikan. Tepatnya saat mengembalikan buku terakhir yang saya pinjam. "Besok, koleksi komiknya ditambah ya. Nanti ustadz pinjam lagi. Bilang sama ibu, mau beli komik lagi supaya bisa dipinjamkan ke teman-teman sekolah", seloroh saya setelah menyerahkan komik. Qadira menganggukan kepala pertanda memahami apa yang saya katakan.  Motivasi itu saya berikan bukan karena saya ketagihan membaca komik gratisan, sungguh bukan seperti itu, melainkan dalam rangka memantik geliat memiliki koleksi buku mandiri. Motifnya sederhana, dengan memiliki koleksi buku mandiri...