Manakah
yang Lebih penting?
Kehidupan
adalah proses pergulatan waktu dan kesempatan yang terus berulang-ulang. Perjumpaan
dua dimensi yang kian hari ketara nyata sikut-menyikut, saling mengunggulkan. Dialog
panjang yang tak pernah usai selama ada
nafas yang masih berhembus. Apabila dianalogikan sebagai tunggangan, ibarat
kuda sembrani yang harus kita kontrol dan kendalikan untuk sampai pada tujuan. Tentu
ini bukan sekadar kultusan takdir yang hanya cukup disumpal dengan sikap nrima
ing pandum tanpa ikhtiar, layaknya qadariah mengasumsikan. Mengapa demikian?
Sebab proses gejolak hidup terus berjalan. Rentetan masalah terus datang silih
bergantian. Bak detakan waktu yang terus berputar menenteng berjubel
problematika dalam wujudnya yang kasat mata sebagai ujian.
Dalam
menyikapi hal yang demikian, nampaknya bukan lagi suatu hal yang mengherankan
apabila Rene Descartes meretaskan diri dengan cogito ergo sum yang
menggebu-gebu. Bukan waktu yang menjadi supir handal dalam memaknai proses
kehidupan, melainkan karena “aku berpikir, maka aku ada”. Hilir mudiknya kesempatan
dan waktu terlumat habis dengan
signifikan melalui proses Claire et distinct, secara jelas dan
terpilah-pilah.
Begitu
halnya usaha yang dilakukan oleh Martin Heidegger. Konseptualnya tentang “Sein
und Zeit” (ada dan waktu) yang diproyeksikan berbalik arah menjadi “Zeit
und Sein ” merupakan hasil dari pergolakan waktu dan kesempatan yang terus
mengitari proses kehidupan. Keterikatan ada dan waktu yang menghasilkan tahapan
yang berlaku dalam proses kehidupan. Masa lalu, periodisasi yang sedang terjadi
dan masa depan yang diproyeksikan. Jika demikian manakah yang lebih penting?
Nampaknya
menjadi sah pula, apabila saya menyadur kategorisasi hal penting yang
dilontarkan oleh Stephen R. Covey. Dimana dalam perspektifnya terdapat empat
hal penting yang berhierarki sesuai dengan hasil yang akan dituai. Pertama, hal
penting dan mendesak. Umumnya kondisi ini selalu dilakukan dengan keadaan
tergesa-gesa dan terpaksa. Seperti halnya kita kebelet buang hajat tatkala berada
di tengah-tengah hutan tanpa adanya toilet. Untuk penganalogian yang lebih
valid, hampir sama dengan sks, sistem kebut semalam yang sering dilakukan
mahasiswa tatkala mengerjakan tugas kuliah.
Kedua,
hal penting dan tidak mendesak. Kategori
hal penting ini sangat matang dalam proses perencanaan, sehingga hasilnya pun
dapat dituai secara maksimal. Layak belajar berjalan. Bermula dari merangkak, berdiri pada sandaran, berjalan menggunakan media
perantara sampai dengan berlari secepat kijang. Asalkan bukan lari secepat
kilat dari kenyataan. Begitu halnya tatkala kita belajar membaca dan menulis. Tatakala
usia imut, belajar dengan gugup terbata-bata. membaca dan menulis perponem. Atau
bahkan sesekali merengek untuk sekadar mengalihkan kesusahan yang sedang dihadapi.
Beranjak usia sekolah, membaca dan menulis adalah rutinitas yang digetoli. Hingga
akhirnya, hampir setiap buku kosong dijejali ukiran kaligrafi yang agat rumit
untuk dipahami. Namun sayang, tatkala usia dewasa tiba, membaca dan menulispun menjadi
alergi akut yang menampakkan diri dalam kesatruan. Bukan lagi diproyeksikan
sebagai kebutuhan, melainkan hanya bubuhan penyedap rasa terhadap proses
kehidupan. luntur seiring berakhirnya seragam yang ditanggalkan. Sirna dalam salahkaprah
rentetan kepentingan.
Ketiga,
hal tidak penting dan mendesak. Tidak dapat dipungkiri, terkadang justru saya
pribadi sering mempraktekan kategori ini. Lebih mengutamakan ajakan best
friends yang sedikit memaksa untuk menyeruput secangkir kopi hangat sembari
bermain gadget di café, warung kopi dan sejenisnya. Padahal di saat yang
berbarengan tugas kuliah sedang menumpuk. Nyatanya hal tidak penting dan
mendesak ini lambat-laun membentuk kebiasaan dan meracuni proses kehidupan.
Sementara
yang keempat ialah hal tidak penting dan tidak mendesak. Acapkali saya pun
sering melakukan hal ini, misalnya saja bermain game. Namun maaf beribu maaf,
saya tidak pandai bermain game online layaknya COC dan ML yang jengah digandrungi.
(Katro lo bang!, duh). Dengan ng-game, sejatinya akan memakan banyak kesempatan
dan waktu yang terlewatkan. Sehingga pada akhirnya, akan menjadi candu akut
yang tidak bisa ditahan. Padahal efeknya sama dengan kategori yang ketiga,
membentuk kebiasaan yang meracuni proses kehidupan.
Untuk
mencapai tujuan hidup yang lebih bermakna, sudah barang tentu kita harus
melewati fase kategorisasi kedua yang telah disebutkkan oleh Stephen R. Covey. Dimana
dalam implementasinya kita meminjam pula Claire et distinct Descartes
untuk mengutamakan hal penting dan tidak mendesak. Serta membubuhkan sein
und zeit yang Heidegger dalam proses memahami alur menuju makna kehidupan.
Komentar
Posting Komentar