Iftitah
Terkadang kita tidak mampu merasakan
(lupa) atas suatu nikmat yang berada dalam diri sendiri, hal ini dikarenakan
hati dan pikiran tidak pernah mau merenungkan hakikat nikmat yang telah ada
dalam diri sendiri. Akan tetapi hal yang demikian itu baru akan terasa, timbul
dan menghampiri diri, ketika raga (jasmani) ini mulai merasakan nikmat
rutinitas yang telah dijalani tidak mampu terwujud dan tercapai seperti
biasanya. Dalam artian apabila nikmat tersebut berupa kesehatan, maka saat
sakit menghampiri dirilah baru kita akan
merasakan dan menyadari bahwa nikmat itu sederhana (simple).
Maka berlandaskan pada hal tersebut,
di sini penulis mencoba menganalogikannya pada suatu hal yang sederhana pula,
yang terkadang kita melupakannya bahwa hal tersebut adalah suatu nikmat yang
telah diberikan oleh sang Pencipta untuk mahluknya dan khususnya untuk umat
manusia yang semestinya tidak disia-siakan begitu saja bahkan selayaknya tidak untuk dilupakan. Baik itu karena nikmat
yang telah ada dalam hidupnya telah naik daun ataupun hati dan pikirannya hanya
sedang fokus pada proses pencarian nikmat kebahagiaan yang menurutnya mampu
menjamin kelangsungan hidupnya dimasa mendatang.
Refleksi Judul
Listening, ya
benar. Yang dalam bahasa indonesia kita kenal dengan istilah mendengarkan.
Mendengarkan merupakan suatu aktivitas indera pendengaran yaitu telinga.
Telinga sendiri mungkin bagi setiap orang sudah tidak asing lagi, karena secara
sadar sudah mengetahuinya, mulai dari definisi, manfaatnya (fungsi) dan susunan
atau sistem yang menjadikannya disebut dengan telinga.
Futhermore, menanggapi judul di atas
“THE POWER OF LISTENING”. Kekuatan dari mendengarkan, ya penulis mengambil
judul tersebut pastinya mempunyai sesuatu alasan mengapa hal tersebut perlu
dibahas, meskipun pada hakikatnya mungkin hal tersebut sesuatu yang sepele
bahkan dapat dianggap suatu pembahasan yang sia-sia belaka.
Akan tetapi meskipun sesuatu ini
merupakan hal yang sederhana saya pikir kita mesti mengetahuinya, dalam artian
bukan just to know but how to know aplication do it. Sehingga kita sendiri
mampu dengan jelas membedakan antara seseorang yang memang benar-benar
mendengarkan dan yang tidak. Baik itu dilihat dari sudut pandang semiotika dan terminologinya
ataupun dari gerak-geriknya.
Refresh Knowledge
Oke untuk sedikit
merefleksikan memori kita mengenai telinga (indera pendengaran) ini, saya akan
sedikit memaparkannya. Apa sih yang disebut dengan mendengarkan? Terus apa
perbedaannya dengan mendengar?
Pertama, yang
mesti kita ketahui adalah perbedaannya secara terminologi. Bila dilihat dan
diteliti secara terminologi antara istilah mendengar dan mendengarkan tentunya
berbeda. Mendengar sendiri berarti tertangkapnya sebuah pembicaraan atau suara
oleh telinga, baik itu disengaja ataupun tidak, serta tidak disertainya sifat
keseriusan dalam memperhatikan pembicaraan tersebut. Mendengar juga sering
diartikan hanya menyerap informasi dari lawan bicara atau bahkan dari diri kita
sendiri. Sedangkan mendengarkan berarti menangkapnya sebuah pembicaraan atau
obrolan yang disertai dengan perhatian yang serius terhadap apa yang
disampaikan oleh pembicara atau lawan bicara. Dan sikap mendengarkan ini juga
didorong dengan anggota tubuh yang teratur pada saat indera pendengar (telinga
bekerja).
Maka dari definisi
tersebut kita dapat mengetahui titik temu dan perbedaan yang mendasar antara
aktivitas mendengar dan mendengarkan. Dimana titik temunya adalah sama-sama
aktivitas indera telinga, sedangkan yang menjadi perbedaan mendasarnya ialah
pada disertai tidaknya keseriusan dalam memperhatikan pembicaraan tersebut.
Nah, setelah kita
mengetahui definisi dan perbedaan dari aktivitas mendengar dan mendengarkan,
maka alangkah baiknya juga kita mengetahui jenis-jenis dari aktivitas
mendengarkan. Adapun mengenai jenis-jenis mendengarkan Stephen R. Covey,
dalam karyanya The 7 Hobits of Highly Effective People, sebagaimana yang
telah dipaparkan oleh M. Ibrahim Al- Nughaimish dalam bukunya Terampil
Mendengarkan Rahasia Anda disukai siapa saja, ialah sebagai berikut:
1.
Mendengarkan
yang negatif, yakni mengabaikan semua pembicaraan. Jenis mendengarkan yang
sangat buruk.
2.
Mendengarkan
yang dibuat-buat, yakni berpura-pura mendengarkan atau mengikuti pembicaraan.
3.
Mendegarkan
yang selektif, yakni mendengarkan sesuai dengan keinginan atau memilih topik
pembicaraan yang sesuai dengan seleranya.
4.
Mendengar
yang efektif (jujur), yakni mendengarkan dengan niat tulus dan jujur untuk
mendapat pemahaman tanpa adanya tujuan yang menyimpang.
Furthermore, maka setelah kita
mengetahui beberapa jenis dari mendengarkan tersebut, selayaknya bagi kita untuk
senantiasa mengaplikasikan bentuk mendengarkan yang terbaik yakni mendengarkan
secara efektif.
Reason mengapa kita harus mendengarkan
Hems, reason????
Ya sebuah alasan. Lho kenapa harus ada alasan segala?? Emangnya ngerjain tugas
gitu!. Ya begitulah sikap seorang yang kritis dan hal ini yang mesti kita ikuti
dan ketahui, bahwa setiap orang itu seharusnya memiliki reason yang jelas
mengenai setiap gerak-geriknya yang ia lakukan. Entah itu sebuah reason yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan dirinya ataupun bersangkutan
dengan kebutuhan orang lain diluar dirinya. Begitu juga dengan aktivitas
mendengarkan, pastinya ada suatu reason yang transparan dan jelas meyakinkan
bagi si subyek (aktor) yang melakukan.
Oke, adapun
beberapa alasan mengapa seorang beraktivitas mendengarkan ialah sebagai
berikut:
Alasan pertama
ialah karena sang aktor ingin mengetahui atau membutuhkan suatu informasi,
entah itu informasi yang koheren dengan dirinya atau bukan. Dan entah itu
informasi yang lampau atau headline. Akan tetapi yang paling memungkinkan ialah
informasi yang headline dan tren yang mendaji topik hangat perbincangan.
Alasan yang kedua
ialah ingin memastikan suatu pengetahuan tertentu yang sekiranya tingkat
keyakinannya masih diragukan. Ya memang dalam hal ini seharusnya kita lebih
ekstra dalam memantapkan keabsahan suatu pengetahuan yang sekiranya sangat
dibutuhkan, tanpa harus menaggung malu ditertawakan karena suatu kebodohan dan
kemalasan untuk membenarkan keraguan.
Alasan yang ketiga
ialah adanya minat dan perhatian. Ya memang kita akui terkadang kita tidak
selalu memiliki perasaan yang sama dalam melakukan satu hal aktivitas. Jika
kita sekarang bahagia di saat duduk bisa jadi diwaktu lain kita sedih di saat
sedang duduk. Adanya suatu stimulus memang penting dalam merangsang setiap
pertumbuhan dan perkembangan, baik itu motivasi dalam diri pribadi ataupun arus
motivasi yang mengalir deras dari dalam diri orang lain.
Alasan yang
keempat ialah membangun hubungan antar sesama. Yups membangun hubungan antar
sesama itu pastinya membutuhkan proses koneksi dan dialogis sehingga dia yang
menjadi teman ataupun saudara tidak canggung dengan apa yang kita bicarakan
karena seringnya mendengarkan.
Alasan yang kelima
ialah rasa ingin tahu. Lho kok bisa??, ya pada dasarnya manusia selalu
menggunakan telinganya untuk mencari informasi yang ia butuhkan dalam rangka
memenuhi hasrat keingin tahuannya tersebut.
Alasan yang keenam
ialah takut terkena akibat buruk. Yah, pastinya dong setiap orang juga tahu,
karena siapa sih yang akan menghindar ketika ingin tahu tetang suatu hal yang
sekiranya akan sangat membantu dalam menghadapi tindakan buruk yang
menghampirinya. Makanya dia dengan serius mendengarkan.
Alasan yang
terakhir adalah saat menjadi lawan bicara. Ya, ya, ya begitulah jawabannya.
Setiap orang selayaknya merespon atau menanggapi setiap pembicaraan yang
dilemparkan oleh lawan bicaranya, selama hal itu masih ada dalam kuasanya.
Karena bis-bisa jika tidak, maka apa yang dibicarakan tidak akan relevan dengan
topik yang difokuskan.
Nah, demikianlah
beberapa reason yang sering digunakan dalam melgitimasi aktivitas mendengarkan.
Mengenai
pentingnya aktivitas mendengarkan ini, Rasulullah SAW. Pun pernah Bersabda :
“Termasuk sikap kesatriaadalah mendengarkan kata-kata saudaranya yang tengah
berbicara dengannya”.
Tips Menarik Pendengar Setia
Allright,
dalam pembahasan inilah yang seharusnya menjadi titik fokus kita, dan sekaligus
menjadi kultuminasi dari pembicaraan ini. Dikarenakan tidak jarang sebagian dari kita berbicara panjang lebar
tentang sesuatu hal, akan tetapi isinya hanyalah nihil besar. Yang akhirnya
sang pendengar hanya cukup melakukan satu hal atas apa yang telah ia dengarkan,
yakni menekan tobol delete dalam otaknya alias membuang jauh-jauh apa yang
telah dipaparkan oleh sang narrator. Lho Mengapa bisa demikian??, ya,, apa yang
dilakukan oleh sang pendengar itu tentunya memiliki alasan yang efesien dan
efektif. Dimana dalam pemaparan sang narrator tersebut dimungkinkan terdapat
beberapa kemungkinan yang menjadikan sang pendengar merasa bingung, tidak
paham, jenuh, bosan dan bahkan sampai mengabaikan apa yang disampaikan.
Nah, dari sana
seharusnya kita berusaha adaptasi dan introfeksi diri atas apa yang telah kita
ucapkan. Sebuah pertanyaan besar yang mungkin akan terlintas dalam pikiran kita
ketika menghadapi hal tersebut, yakni kenapa orang lain terkadang tidak mau
menyimak dan mendengarkan pembicaraan kita?, terus apa yang harus kita lakukan
supaya mereka mau mendegarkan apa yang kita bicarakan?.
Oke, untuk
menjawab pertanyaan tersebut sesungguhnya terdapat pada beberapa tips yang akan
dipaparkan sebagai berikut:
1.
Kejelasan
tujuan pembicaraan. Ya, memang benar kita sadari bahwa terkadang seseorang
berbicara tanpa mempunyai tujuan yang jelas, sehingga pada akhirnya pembicaraan
tidak terarah dan terfokus pada satu topik pembahasan.
2.
Pandangan
mata. Terkadang seorang pendengar tidak mau mendengarkan apa yang dibicarakan,
dengan alasan bahwa dirinya merasa tidak diperhatikan. Maka dengan menatap
setiap orang yang kita ajak bicara tersebut setidaknya mereka akan merasa
sedang berbicara hanya kepadanya, khusus untuknya, dan fokus pada dirinya,
sehingga menimbulkan hubungan batin atau psikis antara sang pembicara dan
pendengar.
3.
Perkataan
yang sopan dan mudah dipahami. Ya, harus kita sadari bahwa terkadang kita
berbicara tanpa memperhatikan bahasa yang kita gunakan, baik itu kata demi
kata, kalimat demi kalimat secara baku dan sesuai, serta tidak memperhatikan
dengan siapa kita bicara. Sehingga akibatnya pembicaraan kita lurus masuk lewat
telinga kiri dan keluar dari telinga kanan, tanpa ada yang terfilter sedikitpun
meskipun itu titik dan koma.
4.
Menyebut
nama pendengar sebagai perumpamaan. Tentunya hal ini merupakan jurus yang ampuh
untuk menarik fokus perhatian sang pendengar khususnya lagi bagi seseorang yang
namanya sering dijadikan perumpamaan. Dengan alasan bahwa yang dijadikan
perumpamaan selalu penasaran dengan apa yang akan dipaparkan, dan yang
berkaitan dengan dirinya.
5.
Mmulai
pembicaraan dengan fakta atau cerita. Sering kali kita merasa jenuh dan bosan
dengan apa yang dibicarakan meskipun pada dasarnya kita belum dan baru
mengetahui mengenai problem yang dibicarakan. Hal ini disebabkan karena sang
pembicara tidak pandai merakit, berkreasi dan berinovasi dalam mengawali sebuah
pembicaraan. Sehingga langsung to the point menuju topik pembicaraan.
6.
Mengulangi
kembali penyataan atau pemikiran. Seorang pembicara yang pandai adalah yang
mampu menarik perhatian lawan bicaranya atau sang pendengar. Ya, hal ini dapat dilakukan dengan cara
mengulangi kembali pernyataan atau pemikiran yang penting dalam suatu topik
pembicaraan.
7.
Mendorong
orang lain untuk berpartisipasi. Seorang pembicara yang baik tentunya harus
pandai mengetahui bagaimana situasi sang pendengar atau yang menjadi lawan
bicaranya. Harus mampu membagi dan membalancekan antara waktu ia berbicara dan
memberi kesempatan kepada sang pendengar untuk memberikan respon terhadap apa
yang telah dibicarakan.
8.
Menggunakan
tangan. Seorang pendengar biasa tertarik dan teringat dengan apa yang telah
dibicarakan atau disampaikan, ketika ia teringat dengan keunikan yang dimiliki
oleh sang pembicara tersebut. Diantara keunikan tersebut salah satunya ialah
gerakkan tangan. Dimana biasanya gerakkan yang digunakkan anggota tubuh tersebut
menjadi suatu ciri khas dari seorang pembicara tersebut.
Sudut
Pandang Psikologi
Seperti yang telah
kita ketahui, bahwa sesungguhnya sejak lahir kita telah dianugerahi kedua
telinga yang sempurna. Telinga yang berbeda dengan mahluk ciptaan Tuhan yang
lainnya. Bahkan kalimat yang pertama kali kita dengar adalah kalimat suci
pertanda mengagungkan Tuhan yang telah menciptakan, yakni berupa adzan. Hal
tersebut pada dasarnya mengukuhkan dan mengajarkan kepada diri kita untuk senantiasa
menggunakkan telinga hanya untuk kebaikan. Pada saat itulah kita mulai
menempatkan diri sebagai pendengar (mendengarkan semua yang diucapkan).
Kemudian ketika kita berada dalam lingkungan keluarga, kita mulai
diajak dan diajarkan bagaimana berbicara. Pada saat demikian kita tidak pernah memilih-memilah
dan bahkan tahu tentang apa yang dibicarakan. Yang perlu kita ketahui bahwa
pada saat itulah kita tengah fokus mendengarkan tentang apa yang dibicarakan,
sehingga kitapun hanya mampu membalasnya dengan senyuman dan suara yang penuh
dengan kegembiraan (gurauan yang ambigu).
Maka dari sanalah selayaknya kita berpijak membuat paradigma
pemikiran, bahwa memposisikan diri menjadi orang yang gemar dan kreatif
mendengarkan adalah suatu sikap yang sangat luar biasa tanpa merugikan, asalkan
yang didengarkan adalah sesuatu yang layak, pantas dan baik untuk kita
dengarkan. Sehingga pada akhirnya akan berimbas pada pengetahuan dan wawasan
yang terus berlimpah.
Akan tetapi sangat disayangkan ketika kita telah beranjak remaja,
dewasa, tua hingga lansia, terkadang kita suka lupa dengan kebiasaan kecil kita
yang sangat gemar mendengarkan tentang apa yang belum kita ketahui sebelumnya.
Bahkan diri kita sendiri terkadang suka menutup diri ataupun memberi distance
terhadap informasi apa saja yang seharusnya kita tangkap dan pahami. Padahal
diri kita sendiri mengetahui bahwa semakin kita menutup diri maka semakin
sedikit pula pengetahuan dan wawasan yang kita miliki.
Khotimah
Allright, demikianlah sedikit ulasan
yang penulis paparkan, semoga saja mampu memberikan manfaat dan kesadaran diri kepada
kita semua. Bahwa sesungguhnya sekecil dan sesederhana apapun nikmat yang telah
Alloh swt. berikan kepada kita semua selayaknya kita syukuri. Karena
sesungguhnya hakikat manusia tidak pernah puas dengan apa yang telah ada dalam
diri dan kehidupannya. Maka hanya dengan berintrofeksi dirilah (bertafakur)
manusia baru mampu membuka diri (peka), menerima dan mengakui bahwa dalam
hidupnya begitu banyak hal yang mesti disyukuri.
Komentar
Posting Komentar