AL-‘URF YANG MENGHEGEMONI
Iftitah
Mungkin kita sudah tahu apa yang dimaksud dengan istilah
Al-‘Urf, akan tetapi mungkin akan lebih afdhol lagi bila kita mengulas kembali sedikit
mengenai pengertian ‘urf terlebih dahulu, sebelum jauh melangkah kedepan
membahas suatu problematika dalam rutinitas realita kehidupan. Al-‘Urf menurut bahasa (etimologi) ialah
berasal dari bahasa arab yakni ‘arafa (عرف), yu’rifu (يعرف), yang sering diartikan dengan kata al-ma’ruf (المعرف) yang artinya sesuatu yang dikenal
atau berarti yang baik, (Totok Jumantoro, Kamus Islam Ushul Fikih, 2005 : 333). Sedangkan menurut istilah (terminologi) ‘urf ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan
menjadi kebiasaan manusia baik berupa
ucapan (qauli), perbuatan (fi’li) atau tidak melakukan sesuatu. Dalil
yang dijadikan dasar bagi ‘urf adalah :
خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَٰهِلِينَ
Artinya:
Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.(QS. al-A’raf : 199)
Kata ‘urf
dalam ayat di atas difahami oleh Ushuliyun, sebagai sesuatu yang
baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Maka ayat di atas menjadi landasan untuk mengerjakan sesuatu yang dianggap
baik yang menjadi tradisi dalam suatu masyarakat
Kemudian istilah yang
kedua ialah kata hegemoni. Sebenarnya kata ini pasti sangatlah populer atau
sudah tidak asing lagi ditelinga kita (sebagai mahasiswa), khususnya lagi bagi
para mahasiswa yang notabenenya sebagai aktivis kampus. Karena biasanya mereka
senantiasa berkoar-koar mengatakannya diatas podium, ketika masa kegiatan ospek
kampus berlangsung. Istilah hegemoni
ini memiliki arti belenggu, ikatan, tekanan dan paksaan. Mungkin kata ini akan sedikit tabu
bila kita yang notabenenya sebagai mahasiswa mengatakannya dimuka umum
(masyarakat umum).
Realita Al-‘Urf dalam Kehidupan Sosial
Dalam kehidupan
bermasyarakat kita sering melihat, mendengar dan bahkan melakukan beragam hal
yang sifatnya tradisi yang kemudian berevolusi menjadi sebuah kebiasaan (custom)
dalam rutinitas kehidupan. Misalnya saja dalam kebiasaan clan Sunda ialah
diantaranya acara tujuh bulanan, acara nurunkeun (menurunkan bayi
ketanah atau turun pertamanya seorang bayi ke area tanah), selametan,
tasyakuran, perkawinan, dsb. Mungkin kita juga tahu bahwa setiap daerah dan
clan (suku) pastinya mempunyai masing-masing tradisi yang berbeda, meskipun ada
sedikit ataupun beberapa tradisi yang memiliki kesamaan dengan tradisi daerah
(clan) yang lain.
Sebenarnya
dalam agama islam sendiri tidaklah melarang mengenai ‘urf yang sudah ada dan
berkembang dalam ranah sosial masyarakat, asalkan ‘urf tersebut tidaklah
bertolak belakang (kontradiksi) dengan sumber agama islam sendiri, yakni
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga dengan demikian menjadikan dan sekaligus
mengharuskan adanya suatu entitas pengklasifikasian
dalam malah ‘urf sendiri.
Klasifikasi ‘Urf
Pengklasifikasian
‘urf ini dapat dikategorikan berdasarkan beberapa sudut pandang. Pertama,
pengklasifikasian ‘urf bila dilihat dari segi obyeknya, ‘urf dibagi menjadi dua,
yaitu; a. ‘Urf Lafzy (menggunakan lafaz
tertentu dalam pengungkapan sesuatu).
Contohnya ada seseorang berkata: “Demi Alloh, hari ini saya tidak akan makan
daging.” Ternyata kemudian dia memakan ikan, maka orang tersebut tidak dianggap
melanggar sumpah, dikarenakan kata ”daging” dalam kebiasaan
masyarakat kita, tidak dimaksudkan untuk daging
binatang yang hidupnya dilautan, akan tetapi untuk daging binatang yang hidupnya didaratan seperti kambing, sapi, dan lainnya. b. ‘Urf Amali (kebiasaan dalam perbuatan). Contohnya, dalam masyarakat tertentu ada ’urf bagi orang yang bekerja dalam
sepekan mendapat libur satu hari, yaitu pada hari Jum’at. Maka kalau ada seseorang yang melamar pekerjaan menjadi tukang
jaga toko dan kesepakatan dibayar setiap bulan sebesar Rp.500.000, maka pekerja
tersebut berhak berlibur setiap hari Jum’at dan tetap mendapatkan gaji
tersebut.
Kedua, pengklasifikasian ‘urf bila dilihat dari segi cakupannya atau
ruang lingkupnya, ‘urf dibagi menjadi dua yaitu; a. ‘Urf Amm (kebiasaan umum).
Contohnya, diberlakukannya suatu keharusan khitanan bagi bayi perempuan. b. ‘Urf
Khosh (kebiasaan khusus). Contohnya, di sebuah
daerah tertentu, ada seseorang yang menyuruh seorang makelar untuk menawarkan
tanahnya pada pembeli, dan ‘urf yang berlaku di daerah tersebut bahwa
nanti kalau tanah tersebut laku terjual, makelar tersebut akan mendapatkan 2%
dari harga tanah yang ditanggung antara
penjual dengan pembeli; maka inilah yang berlaku. Maka tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali kalau ada
perjanjian sebelumnya.
Dan ketiga,
pengklasifikasian ‘urf bila dilihat dari segi diterima atau ditolaknya ‘urf, ‘urf
dibagi menjadi dua yaitu; a. ‘Urf Shohih (tidak bertentangan dengan dalil syara
yakni Al-Qur’an dan Sunnah). Contohnya, mengadakan pertunangan (peng-khitbahan)
sebelum melangsungkan akad pernikahan. Hal ini dipandang baik, dan telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat serta tidak kontradiksi dengan syara’. b.
‘Urf Fasid atau bathil (tidak diterima dikarenakan bertentangan dengan dalil
syara). Contohnya, kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang
dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan
ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.
Kehujjahan ‘Urf
Mengenai
kehujjahan ‘urf ini beberapa golongan ulama mempunyai interpretasi yang
berbeda-beda diantaranya sebagi berikut. Pertama, argumennya golongan
Hanafiyah dan Malikiyah menyatakan bahwa ‘urf itu bisa menjadi hujjah dalam
menetapkan hukum syara’. Hal ini merujuk pada sabda Rosulullah SAW yang
artinya; “sesuatu yang menurut umatku baik, maka baik pula menurut Alloh dan
sesuatu yang dinilai buruk oleh kaum muslimin adalah buruk di sisi Allah”.
Kedua, argumennya golongan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, yang tidak menganggap
‘urf sebagai hujjah atau dalil hukum syara’.
Ulama Hanafiyyah berpendapat
bahwasannya, ‘urf itu didahulukan atas qiyâs khafî (qiyâs yang
tidak ditemukannya ‘illah secara jelas) dan juga didahulukan atas nash yang
umum, dalam arti ‘urf itu men-takhshîs nash yang umum. Ulama
Malikiyyah juga demikian, menjadikan ‘urf yang hidup di kalangan
penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Ulama Syâfi`iyyah banyak
menggunakan ‘urf dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan
dalamsyara` maupun dalam penggunaan bahasa. Berikut ini beberapa contoh
penerapan ‘urf dalam hukum Islam:
Pendapat ulama hanafiyyah yang
menyatakan bahwa sesorang yang bersumpah tidak akan makan daging, kemudian dia
makan ikan maka tidaklah dianggap seorang itu melanggar sumpahnya. Karena
berdasarkan kebiasaan ‘urf, kata daging (لَحْمٌ) tidak diartikan dengan kata ikan (سَمَكٌ).
Khotimah
Maka dari paparan
di atas kita bisa menarik sebuah kesimpulan, bahwa kita boleh melestarikan
sebuah kebiasaan yang telah menjadi tradisi dan melekat kuat dalam rutinitas
kehidupan masyarakat. Sehingga hal tersebut menjadi suatu entitas yang otonom
bagi daerah atau clan tertentu, selama hal tersebut tidaklah bertentangan atau
kontradiksi dengan Al-Qur’an dan As-sunnah.
Komentar
Posting Komentar