Paradigma Verstehen Thinking
Iftitah
Sebelum saya
memaparkan apa dan bagaimana pembahasan yang akan dibicarakan. Alangkah
baiknya, pertama kita terlebih dahulu memahami, mengerti, dan mengetahui akan
makna serta arti dari judul pembahasan yang termaktub di atas. Dimana judul
pembahasan di atas tadi terdiri dari tiga kata maupun istilah, yakni : Pertama,
kata Paradigma. Kata ini mempunyai arti pola, cara, ataupun sistem. Ini
merupakan definisi dari kata tersebut bila kita lihat dari satu sudut pandang
yang simple. Akan tetapi definisi kata paradigma tersebut akan memiliki makna
atau arti lain bila kita pandang dari beberapa sudut pandang yang lain.
Misalnya saja kita lihat definisi kata tersebut dari Kamus Ilmiah Populer, maka
pastinya akan merespon, mengindikasikan yang different. Kedua, kata Verstehen.
Kata ini merupakan bahasa Jerman, sebuah istilah yang digunakan oleh seorang
filosof sekaligus seorang tokoh
Hermeneutik, yaitu Martin Heidegger dalam sebuah teori hasil berfilsafatnya
yang termaktub dalam sebuah karyanya. Kata verstehen ini dalam salah satu teori
yang dikemukakan oleh Martin Heidegger yaitu “Sein Und Zeit” memiliki
arti pemahaman atau proses pemahaman.
Ketiga, kata Thinking. Kata ini merupakan kata yang
diambil dari bahasa Inggris yang mempunyai arti berpikir.
Kemudian, jika kita
berbicara mengenai pola pemahaman berpikir, tentunya setiap kepala mempunyai
pola pemahaman berpikir yang differents. Dikarenakan hal ini berkorelasi
ataupun koheren dengan tingkat IQ dan sebuah rutinitas yang dimiliki oleh
seseorang. Entah itu mengenai kepribadiannya, lingkungan sosialnya, tingkat
ekonomi dan jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Sehingga masing-masing kepala
akan mempunyai paradigma verstehen think yang different mengenai something yang
menjadi problem dalam realitas kehidupannya. Dan adanya kecenderungan yang
menindikasikan different-nya paradigma verstehen think ini ialah bagaimana
seseorang itu melontarkan presfektif, interpretasi, argumen, respon atau sebuah
sanggahan yang mengindikasikan ketidaksetujuannya mengenai sesuatu presfektif
yang dilontarkan oleh mereka yang different verstehen-nya, dan bagaimana
seseorang itu memecahkan (mencari jalan keluar) dari suatu problem yang sedang
dihadapinya, yang pastinya akan berimbas pada sikap dan sifat yang
terindikasikan dalam sebuah kepribadiannya.
Something Tujuan yang ber-verstehen Ribuan
Terkadang dalam
sebuah tujuan yang telah terschedule dengan sebuah tujuan dan hasil yang pasti
dan menjanjikan, masih terdapat sebuah dan bahkan beberapa celah ataupun ruang
yang akan menghancurkan, membatalkan sebuah zeit, time (waktu) yang
telah dipastikan. Entah itu akan menjadi sebuah moment yang tidak terduga,
terprasangkakan menjadi sebuah hasil yang valid dengan kuantitas dan kualitas
yang sudah terklasifikasikan atau bahkan menjadi sebuah boomerang yang menjadi
ancaman dalam hasil yang tidak menjanjikan. Yang pastinya jikalau mereka yang
mengschedule-nya mempunyai sebuah standarisasi yang telah terdefinisikan dalam
sebuah paradigma verstehen think dalam merencanakan dan menduga ancaman yang
terindikasikan, baik itu dalam ruang lingkup yang mikro maupun makro serta
ancaman yang datang dari sudut internal maupun eksternal yang menyokong pada
timbulnya problem yang menjanjikan.
Sebab karena
itulah kita dituntut dan diharuskan memiliki kemampuan menafsirkan, menambah
wawasan baik itu secara teoritis maupun empiris yang akan berimbas pada riyadoh
verstehen think kita secara kritis. Yang pada akhirnya nanti akan membiasakan,
memfondasikan paradigma verstehen think dalam menghadapi dan memecahkan serta
merespon problem yang belum terindikasikan dan terdugakan.
Arus Balik Verstehen Think
Terkadang
paradigma verstehen think seseorang dengan mudah berbalik arus dengan yang
telah terschedule-kan sebelumnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh verstehen-nya
yang dengan mudah terkontaminasi oleh kondisi yang memperkosa think-nya
sehingga suatu presfektif, interpretasi yang awalnya ia (seseorang yang
berpresfektif tersebut) menjustifikasi hal tersebut dengan benar mampu berbelok
arah menuju ruang, sudut dan paradigma yang tidak terdugakan serta belum
terdefinisikan oleh think-nya.
Realitas mengenai hal ini kita bisa lihat, baca dan pelajari serta telaah sendiri dari pemikirannya seorang tokoh filosof terkemuka, misalnya saja mengenai pemikiran Ludwig Wittgenstein. Dimana pada pemikiran yang pertamanya atau lebih tepatnya pada periode Tractatus Logico Philosophicus, ia berpendapat bahwa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang mempunyai arti (meaning is picture), artinya bahasa akan berarti apabila dipakai untuk menggambarkan suatu keadaan faktual. Pemikiran yang pertamanya ini dikenal dengan istilah Witgenstein I. Yang kemudian pada pemikirannya yang kedua, yang tepatnya pada periode Philosophicus Investigation, pada periode ini ia berpendapat bahwa arti suatu pernyataan sangat bergantung pada pemakaian jenis bahasa tertentu, (meaning is use). Hal ini dikarenakan bahasa memiliki banyak fungsi, sedangkan kata-kata bagaikan alat-alat yang dapat dipakai dengan banyak cara, sehingga pemakain bahasa harus dialihkan dari bahasa logika menjadi bahasa biasa. Sesungguhnya bahasa mempunyai bermacam-macam dalam penggunaanya sehingga kita perlu menyelidiki bagaimana kata-kata kunci dan ekspresi-ekspresi yang berfungsi dalam bahasa sehari-hari (bahasa biasa). Sehingga dapat dikatakan makna sebuah kata bergantung pada penggunaannya dalam kalimat, sedangkan makna kalimat bergantung pada penggunaannya dalam bahasa yang selalu berkaitan dengan situasi, tempat dan waktu. Dan sebuah kalimat akan mendapatkan maknanya dalam kerangka acuan pada Language game (permainan bahasa). Pemikirannya yang kedua dikenal juga dengan istilah Wittgenstein II. Contoh yang lainya juga bisa kita lihat pada realita verstehen think-nya Martin Heidegger mengenai sebuah teori hasil pemikirannya tentang “Ada dan Waktu” (Sein und Zeit) yang kemudian berubah menjadi “Waktu dan Ada” (Zeit und Sein).
Realitas mengenai hal ini kita bisa lihat, baca dan pelajari serta telaah sendiri dari pemikirannya seorang tokoh filosof terkemuka, misalnya saja mengenai pemikiran Ludwig Wittgenstein. Dimana pada pemikiran yang pertamanya atau lebih tepatnya pada periode Tractatus Logico Philosophicus, ia berpendapat bahwa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang mempunyai arti (meaning is picture), artinya bahasa akan berarti apabila dipakai untuk menggambarkan suatu keadaan faktual. Pemikiran yang pertamanya ini dikenal dengan istilah Witgenstein I. Yang kemudian pada pemikirannya yang kedua, yang tepatnya pada periode Philosophicus Investigation, pada periode ini ia berpendapat bahwa arti suatu pernyataan sangat bergantung pada pemakaian jenis bahasa tertentu, (meaning is use). Hal ini dikarenakan bahasa memiliki banyak fungsi, sedangkan kata-kata bagaikan alat-alat yang dapat dipakai dengan banyak cara, sehingga pemakain bahasa harus dialihkan dari bahasa logika menjadi bahasa biasa. Sesungguhnya bahasa mempunyai bermacam-macam dalam penggunaanya sehingga kita perlu menyelidiki bagaimana kata-kata kunci dan ekspresi-ekspresi yang berfungsi dalam bahasa sehari-hari (bahasa biasa). Sehingga dapat dikatakan makna sebuah kata bergantung pada penggunaannya dalam kalimat, sedangkan makna kalimat bergantung pada penggunaannya dalam bahasa yang selalu berkaitan dengan situasi, tempat dan waktu. Dan sebuah kalimat akan mendapatkan maknanya dalam kerangka acuan pada Language game (permainan bahasa). Pemikirannya yang kedua dikenal juga dengan istilah Wittgenstein II. Contoh yang lainya juga bisa kita lihat pada realita verstehen think-nya Martin Heidegger mengenai sebuah teori hasil pemikirannya tentang “Ada dan Waktu” (Sein und Zeit) yang kemudian berubah menjadi “Waktu dan Ada” (Zeit und Sein).
Khotimah
Sebuah paradigma verstehen think
memang tak terpungkiri akan dengan mudah berbalik arus, ketika verstehen kita
terhadap sesuatu tersebut mulai terkontaminasi dengan dinamika something hal
yang bersifat entah itu hal yang bersumber dari internal maupun eksternal, yang
awalnya tidak bisa kita tafsirkan, duga dan bahkan terhitungkan entitasnya baik
itu dari kuantitas dan kualitasnya. Dan mungkin hanya sebuah komitmen dan
keloyalan verstehen think yang senantiasa bersikukuh dan bersimbaku pada sebuah
riyadoh dalam mensistemasikan think kritis dan secara jelas menberikan
sebuah reason yang tepat pada sebuah presfektif yang telah terlontarkan yang
pada akhirnya sebuah paradigma verstehen think akan terkendalikan.
Komentar
Posting Komentar