Hegemoni Isrof di Hari yang Fitri
Iftitah
Jika kita
berbicara mengenai kata hegemoni, maka kata ini mungkin tidak asing dan fresh
lagi khususnya ditelinga mahasiswa. Karena kita sebagai mahasiswa akan
senantiasa mendengarnya bila kita diskusi dalam problem filsafat dan disaat mereka
para (aktivis) kampus berkoar-koar dipodium moment ospek mapaba (masa
penerimaan mahasiswa baru) tiba berlangsung. Akan tetapi mungkin hal ini akan
kontradiksi dengan presfektif, situation dan verstehen masyarakat pada umumnya.
Tapi akan lebih afdhol lagi bila kita mengulas kembali defenisi dari
kata hegemoni tersebut, sehingga kita akan ada bayangan (shadow) mengenai kata
hegemoni tersebut. Kata ini memiliki pengertian belenggu, ikatan, tekanan dan
paksaan.
Kemudian kata
ataupun istilah Isrof. Istilah ini sering muncul dan diulas dalam mata
pelajaran aqidah akhlak kelas XI atau 2 MA (Madrasah Aliyah). Istilah ini dapat
dikategorikan pada suatu sikap tercela yang dimiliki dan berada pada nafsi
manusia, yang tidak mengenal usia atau age (baik muda maupun tua), gender
(baik pria maupun wanita) dan sikon (situasi dan kondisi). Untuk lebih
jelasnya mari kita memahami, menghayati dan merenungi paparkan defenisi dari
istilah Isrof terlebih dahulu.
Defenisi Isrof
Kata isrof ini
bila didefenisikan dari sudut bahasa (etimologi) berasal dari bahasa arab yakni
Asrofa (أسرف) – Yusrifu (يسرف) – Isroofun (إسراف) yang berarti bersuka ria sampai
melewati batas (berlebihan). Sedangkan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan melampui batas (berlebihan). Kemudian bila kita lihat defenisi isrof
dari sudut istilah (terminologi), kata isrof berarti melampui batas, diartikan
juga melakukan suatu tindakan yang diluar wewenang yang telah ditentukan
berdasarkan aturan (nilai) tertentu yang berlaku atau suatu kebiasaan yang dilakukan untuk memuaskan kesenangan diri
sendiri secara berlebihan.
Dalil
Tentang Isrof
كل, واشرب, والبس, وتصدّق في غير سرف, ولا محيلة (اخر جه أبو داود و
أحمد)
Artinya:
“Makanlah, minumlah, berpakainlah, dan bersedekahlah tanpa berlebihan dan
bersikap sombong” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Sedangkan dalil
aqliyahnya disandarkan kepada presfektifnya Imam Asy-Syatibi mengatakan bahwa
bahaya sikap melampui batas bekasnya dapat menghilangkan keteguhan dan
keseimbangan yang dituntut oleh agama dalam menjalankan berbagai tanggungjawab
hukum yang diembankan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap isrof
merupakan perilaku yang tercela dan tidak disenangi oleh Alloh SWT. Dan
pastinya sikap ini tentunya akan berdampak tidak baik (negatif) kepada diri
sendiri (dapat dikatakan aniaya ataupun tidak adil) karena tidak sesuai dengan
syarat dan standar secara proporsional sesuai dengan ketentuan yang semestinya.
Selanjutnya
mengenai hari yang fitri, di sini saya mencoba lebih mendiskursuskan pembahasan
isrof yang sering terjadi di hari yang fitri (hari besar), yaitu situasi dan
kondisi sekarang yang masih hangat-hangatnya dengan hari raya Idul Fitri (hari
raya umat muslim yang dilaksanakan setelah satu bulan penuh berpuasa).
Terkadang kita masing sering melihat, mendengar, dan bahkan melaksanakannya
secara tak disengaja karena khilaf akan tetapi rasanya sudah menjadi kebiasaan
yang disengaja.
Fenomena
Idul Fitri
Idul
Fitri merupakan salah satu hari raya besar umat islam. Pada hari ini pastinya
senantiasa dipenuhi dengan keberkahan, rahmat, karunia, dan pastinya kesucian
batin dan jiwa setiap orang yang notabenenya umat islam. Hal ini disebabkan
karena umat islam merasa senang telah
melaksanakan rukun islam yang keempat yakni puasa di bulan Ramadhan. Setelah
satu bulan lamanya jiwa dan raga terus melakukan Riyadhah melawan kebiasaan
yang buruk yang senantiasa diimplikasikan dalam realita kehidupan sehari-hari,
maka selama satu bulan full inilah saatnya melakukan perbuatan yang
terindikasikan baik dan terpuji (kontradiksi dari perbuatan yang sebelumnya),
yakni dengan membiasakan disiplin waktu, melaksanakan shalat fardu dengan
berjamaah dan tepat waktu, memelihara kitab suci dengan cara membaca, memahami,
menghayati, merenungi dan mengimplikasikannya dalam gerak-gerik kehidupan serta
Watawa shoubil haqqi watawa shoubil shobri dan wata ‘awanu ‘alal birri
wataqwa wata ‘awanu ‘alal ismi waludwan atau dapat dikatakan ta’awun. Yang
diakhiri dengan suatu kesempurnaan yang tercurahkan dari mushofahah, muajahah,
dan bermaaf-maafan dihari yang fitri dengan penuh ketulusan dan air mata yang
menggelinang tak terbendungkan sehingga pecah diatas pangkuan.
Isrof
dalam Ke-Fitrian
Meskipun
kefitrahan jiwa (batin) telah mengahmpiri, akan tetapi masih ada yang harus
disayangkan (masih ada yang harus diluruskan) untuk meneguhkan, menyeimbangkan,
merekontruksi kembali verstehen mereka yang menganggap bahwa hari raya yang
fitri harus ditebus dan disertai dengan kehedonisan, ketabziran, dan keisrofan
yang berlandaskan pada kebahagiaan dan kesenangan keluarga atau mungkinkah
untuk menunjukakan betapa glamour, elegant, dan anggunnya suatu keluarga yang
menjadi tempat hidup dan berlindungnya. Fakta realitasnya mungkin kita sendiri
juga sering melihatnya, mendengarnya dan bahkan melakukannya yaitu bila waktu
lebaran (hari yang fitri) akan tiba maka banyak sekali toko-toko, supermarket, butik,
pasar dsb. Dipenuhi oleh mereka yang ingin berbelanja untuk persiapan aneka
ragam pangan dan sandang untuk dinikmati dihari raya. Yang parahnya lagi mereka yang notabenenya
tidak mampu untuk berbelanjapun rela berikhtiar meminjam uang kesana-kemari
demi happy full day di hari yang fitri tanpa mempertimbangkan dengan beban yang
harus ditanggungnya di depan nanti. Dan yang paling kritisnya lagi ialah mereka
yang menyambut hari raya dengan petasan yang membawa kemudaratan pada dirinya,
yang ujung-ujung tiada faedah yang bermanfaat, yang ada hanyalah kesakitan yang
mengharuskan dibarternya melaksanakan sholat ied dan menikmati hari yang fitri
dengan berbaring di rumah sakit. Seakan-akan mereka yakin dan pasti benar
menjustifikasi perbuatannya, tanpa menengok bagaimana adab, tatacara, dan
aturan dalam memeriahkan hari raya yang fitri dalam islam sendiri. Dan semua
yang telah terpapar tadi sangatlah tidak mencerminkan bagaimana sikap seorang
muslim yang khauf akan ditinggalkannya (berakhirnya) bulan yang penuh berkah
tersebut.
Khotimah
Padahal bila kita mampu memahami,
merenungi dan menghayati arti dari kata fitri sendiri, pasti kita tidak akan
jauh-jauh menafsirkannya bahwa dihari yang fitri sangatlah tidak diharuskan
berpakaian yang serba baru, tersedianya makanan yang serba enak, dan
terpenuhinya semua keinginan demi kepuasan belaka yang tidak pernah ada
ujungnya. Karena arti dari kata fitri atau fitrah sendiri suci, yang berarti
suci hati dan raga setelah satu bulan lamanya berriyadhoh dan mengerjakan semua
yang bernotabene akhlaknya baik dihadapan sang kholik dan mahluknya
(sesama manusia). Yang dapat dikatakan balance antara Habblum Minalloh
Wa Habblum Minannas-nya.
Komentar
Posting Komentar