Sudah menjadi rahasia umum saya kira jika anggota komunitas literasi berbasis online ataupun media sosial tertentu jarang bersua. Persuaan dan interaksi via online mungkin kerapkali terjadi akan tetapi pertemuaan secara fisik sangat jarang ditemui. Terlebih anggota grup tersebar di berbagai kota, provinsi ataupun antarpulau.
Entah sejak kapan fakta ini dirumuskan, yang jelas fakta tersebut menegaskan bahwa menggeluti suatu hobi, kecintaan dan pengembangan diri melalui komunitas memang membutuhkan pengorbanan. Bentang jarak bukan hal yang harus dipermasalahkan. Jika perlu jarak jauh dilipat. Perjalanan gelap diterobos nekad. Intinya bagi orang yang bersungguh-sungguh dan memiliki tekad kuat, jauh dekat tentu bukanlah penghalang untuk terus berporses menimba ilmu.
Mungkin kita masih ingat bagaimana cendikiawan-intelektual--dari dunia Islam ataupun Barat--terdahulu berani melalang buana demi menengguk tetesan dari samudera ilmu yang ada di belahan dunia. Di mana pun mata air pengetahuan menyeruak di sanalah kita harus melepas dahaga keingintahuan. Sejauh itu pula pengorbanan upaya terbebas dari kebodohan harus dilakukan.
Melalui perjalanan intelektual panjang tersebut maka tak pelak jika seorang tokoh tertentu banyak menyandang gelar keilmuan. Serba bisa dalam banyak bidang ilmu. Satu keteladanan yang timbul dari penghayatan atas hadits: carilah ilmu hingga ke negeri China dan carilah ilmu mulai lahir hingga ke liang lahat. Perihal distingsi jarak dan perbedaan modus demografi akan diulas lebih lanjut di bagian selajutnya.
Interaksi anggota komunitas via media sosial dengan pertemuan fisik langsung tentu memiliki banyak perbedaan. Perbedaan mencolok itu, hemat saya, tertuang dalam kesan, pesan dan pelajaran yang didapatkan. Mengapa seperti itu? Karena memang setiap orang memiliki kemampuan pencitraan diri di media sosial. Melalui media sosial seseorang dapat membuat citra yang tidak linier dengan kenyataan.
Orang bisa saja asyik dan akrab di media sosial namun kikuk dalam realitas kehidupan. Orang bisa saja begitu familiar di media sosial namun sesungguhnya anti sosial. Begitu juga yang terjadi di grup komunitas literasi berbasis media sosial, antaranggota grup bisa saja mendadak sok akrab dan saling menyapa padahal sesungguhnya belum mengenal. Mengenal nama, karakter dan latar belakang hingga buah pemikiran.
Anggota komunitas ini pada dasarnya hanya bisa mengenal satu sama lain melalui nama yang tercantum di kontak WhatsApp, karya dan respon yang dilontarkan di grup. Prosesnya dapat dianalogikan seperti orang yang berbelanja di toko swalayan, lantas total harga belanjaan hanya dapat diketahui melalui scanning barcode di bungkus barang. Yang terpampang jelas di permukaan hanya banalitas pengetahuan tentang nama barang, merk dan nominal tanpa mengetahui kualitas dan rasa barang.
Secara intensif, seorang anggota bisa saja dikenal yang lain melalui jejak gagasan yang dituangkan ke dalam karya demi karya yang dipublikasikan. Dimungkinkan pula di antara pembaca dan penulis terjadi adu argumen. Adu argumen baik melalui balasan singkat di kolom komentar atau ditindaklanjuti serius dengan kelahiran karya anti tesis.
Tentu saja yang demikian itu adalah proses dan dampak positif dalam menulis. Kejadian yang sehat bagi penulis. Orang berintelek pada dasarnya akan memilih bertarung dalam jalan kesunyian: Menunggangi wawasan pengetahuan dalam karya daripada adu jotos mengandalkan fisik. Satu proses saling mendewasakan pemahaman dan kapasitas diri.
Toh, perbedaan argumen itu menempatkan duduk perkara dalam kesalingan: saling mendorong untuk berkarya, introspeksi diri dan jangan pernah berhenti untuk terus belajar. Dengan catatan, asalkan, penyikapan saling sanggah itu bertumpu pada objektivitas pure pengetahuan, tidak merembet pada hal yang bersifat privasi dan privilage sang empu.
Dinamika yang demikian menegaskan wujud komunitas literasi yang bermutu. Ada khazanah pemikiran yang beragam. Ada pupuk organik yang dapat menggemburkan tanah dan menyuburkan tanaman di ladang yang digarap bersama. Di sanalah anggota penulis saling memengaruhi untuk tumbuh-kembang dan berproses.
Tak hanya itu, di lain sisi, khazanah pemikiran tersebut juga mengantarkan satu sama lain pada kondisi saling mengidolakan. Pengidolaan itu dimulai dari rasa kagum atas pemikiran, terpikat dengan cara menuangkan gagasan hingga idealitas yang konsistensi dibangun. Barang berharga yang langka ditemukan. Karena sifatnya langka maka perlu diteladani dan diikuti dalam ruang lingkup sepak terjang.
Proses keteladanan itu tentu tidak akan pernah cukup jika dilakukan di media sosial. Sebab interaksi di media sosial terbatas kuota dan sinyal. Terlebih lagi dalam hal keteladaan kita butuh petukaran pikiran, konfirmasi-afirmasi diri dan penanaman idealisme absah dalam persuaan fisik. Maka di sinilah letak urgensi pertemuaan dalam wajah kopdar dibutuhkan. Kopdar bukan sebatas pertemuan dan senang-senang melainkan menyambung sanad keilmuan literasi dan ukhuwah kekeluargaan.
Berkebalikan dengan interaksi di media sosial, melalui kopdar sejatinya kita akan jauh lebih dekat di hati dan fisik. Modal waktu dan kesempatan yang cukup leluasa untuk saling mengulik diri secara intensif. Persuaan yang dirindukan satu sama lain untuk mengidentifikasi antara nama dengan wajah; karya dengan karakter yang melekat kuat dalam diri secara personal.
Berbagai jenis kekeliruan dan kesalahpahaman yang bergejolak dalam komunitas dapat diminimalisir melalui kopdar. Proses tabayyun jauh efektif dalam persuaan fisik. Kesalahan menyebutkan nama terhadap seseorang dapat diluruskan. Penilaian brutal sepihak atas orang lain dapat dikonfirmasi dengan baik.
Dalam kopdar inilah idealisme, ilmu dan keteladaan itu ditularkan melalui akad. Tak jarang tokoh idola menyampaikan materi dengan senang hati. Dalam rangkaian prosesnya tentu ada proses qobiltu yang sah dan terang-terangan. Ada proses menengguk ilmu langsung dari ahlinya. Pemahaman yang selama ini kita serap setengah-setengah, dalam momentum spesial ini genap terlumat habis.
Tak hanya itu, disadari atau tidak, pada kenyataannya selama kopdar berlangsung semua anggota komunitas satu sama lain mengafirmasi diri saling membutuhkan dan menguatkan. Energi positif mengalir deras seiring berjalannya waktu. Bak menyingkap jawaban yang selama dicari dan dinantikan. Angin segar yang menjadi alasan seseorang menempuh jalan dengan berkomunitas.
Tibalah kita pada satu kesadaran bahwa, dalam komunitas kita tidak hanya belajar saling mengentaskan diri dari kebodohan namun saling mecukupi dahaga akan keingintahuan secara massif dan kolektif. Motivasi berproses yang dilahirkan secara tunggal tentu jauh lebih lemah jika dibandingkan dengan energi komunal yang satu frekuensi.
Bukankah ini adalah proses penempaan literasi diri yang mengasyikan? Pikiran kenyang akan pemahaman, ikatan kekeluargaan semakin tak terbatas jarak pandang. Lantas, nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan? Berkomunitas namun tak pernah berinisiatif--berkorban dan bertekad--berpartisipasi kopdar adalah hal yang sangat disayangkan.
Tulungagung, 15 Desember 2024
Keren dan mantab
BalasHapusMatur nuwun, Bah.
Hapus